Di sudut kota yang terbungkus kabut pagi, seorang pria berdiri tegak di bawah cahaya remang sebuah lampu jalan. Jaket hitamnya melambai ringan tersapu angin November. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan topi yang ia kenakan, dan hanya tangannya yang bergerak, menggenggam secarik kertas kecil. Ia tampak seperti sosok biasa, tak menonjol, namun ada sesuatu dari aura dingin yang memancar darinya—sesuatu yang membuat orang tak ingin menatap terlalu lama.
Sebuah dentingan jam dinding dari kafe terdekat memecah sunyi. Ia melipat kertas itu hati-hati, menyelipkannya ke dalam kantong jaket. Langkahnya pelan namun pasti, meninggalkan jejak sepatu di trotoar yang basah oleh embun. Ia tahu, jaket hitam itu lebih dari sekadar kain yang membalut tubuhnya; ia adalah wadah rahasia, saksi bisu kisah-kisah yang tak terungkapkan.
Namanya Esha. Jaket itu adalah warisan dari seseorang yang pernah ia hormati melebihi hidupnya sendiri—ayahnya. Namun, bukan kenangan hangat yang melekat pada jaket itu, melainkan luka, dendam, dan penyesalan. Ketika Esha masih kecil, ia kerap melihat ayahnya mengenakan jaket tersebut setiap kali keluar rumah di malam hari. Jaket itu membawa ayahnya pergi, dan ketika pagi menjelang, hanya keheningan yang menyambutnya.
Suatu malam, ayahnya tak pernah kembali.
"Jaket ini harus kau jaga, Esha," ibunya pernah berbisik dengan nada bergetar saat menyerahkan benda itu padanya. "Ia menyimpan jawaban atas semua pertanyaanmu."
Esha saat itu tak mengerti. Jaket hitam itu hanyalah pakaian usang yang berbau tembakau dan debu. Ia memutuskan menggantungnya di lemari, membiarkannya terlupakan oleh waktu. Namun, bertahun-tahun kemudian, setelah ibunya meninggal dan ia hidup sendirian di kamar kecil di pinggiran kota, jaket itu menarik perhatiannya lagi. Bukan karena ia mencari jawaban, melainkan karena ia butuh sesuatu untuk melindunginya dari dingin.
Malam itu, ketika ia pertama kali mengenakan jaket hitam itu, sebuah amplop kecil jatuh dari salah satu kantongnya. Ia membukanya dengan ragu. Di dalamnya terdapat peta tua yang warnanya mulai memudar, bersama secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.
"Jalan Seruni No. 12," gumamnya, membaca tulisan tangan yang tampak tergesa-gesa namun tegas.
Ia merasa tubuhnya bergetar, bukan oleh angin malam, tetapi oleh sesuatu yang lebih dalam. Alamat itu adalah petunjuk. Sebuah awal dari misteri yang selama ini bersemayam di masa lalunya. Namun, apa yang akan ia temukan? Adakah sesuatu yang lebih mengerikan daripada ketiadaan jawaban?
Keesokan harinya, Esha berdiri di depan sebuah rumah tua di Jalan Seruni. Rumah itu tampak terlantar, dengan dinding penuh lumut dan jendela yang pecah sebagian. Namun, di tengah kehancurannya, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling—seperti ada mata tak kasat yang mengintip dari balik tirai yang sobek.
Ia mengetuk pintu.
Tak ada jawaban.
Esha memutar kenop, dan pintu itu terbuka dengan mudah. Suara deritnya seperti jerit kesakitan, menggema di lorong gelap yang berbau apak. Langkahnya tertahan sejenak di ambang pintu, lalu ia memaksa dirinya masuk.
Di dalam, rumah itu dipenuhi benda-benda aneh—foto hitam putih yang tergantung tanpa pola di dinding, buku-buku berdebu dengan huruf yang hampir tak terbaca, dan meja penuh catatan berserakan. Di atas meja itu, ada satu benda yang menarik perhatian Esha: sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran bunga mawar.
Ketika ia membuka kotak itu, ia menemukan benda yang tak pernah ia bayangkan: sebuah peluru berkarat, dengan inisial "R.A." terukir di permukaannya. Jantungnya berdebar keras. Peluru itu terasa berat di tangannya, seolah membawa beban cerita yang tak terucapkan. Ia tak tahu apa artinya, tetapi ia yakin bahwa peluru itu adalah kunci untuk membuka pintu masa lalu yang terkunci rapat.
Hari-hari berikutnya, Esha dihantui oleh bayang-bayang jaket hitam itu. Setiap kali ia memakainya, ia merasa seperti ada sosok lain yang berjalan di sampingnya. Sosok itu tak terlihat, namun kehadirannya begitu nyata. Dan semakin lama ia mengenakan jaket itu, semakin jelas ia mendengar suara-suara aneh di telinganya—bisikan yang terdengar seperti perintah.
"Esha, temukan aku."
Ia mencoba mengabaikannya, tetapi suara itu semakin keras. Hingga suatu malam, ia bermimpi. Dalam mimpi itu, ia melihat ayahnya berdiri di bawah pohon besar di tengah hutan, mengenakan jaket hitam yang sama. Wajahnya tampak lelah, tetapi matanya menyimpan harapan.
"Jangan takut, Esha," kata ayahnya dalam mimpi itu. "Jaket ini akan membawamu pulang."
Esha terbangun dengan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah pesan.
Petunjuk terakhir membawanya ke sebuah gudang tua di pinggiran kota. Gudang itu tampak tak terawat, namun di salah satu sudutnya, Esha menemukan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang: sebuah peti kayu besar yang penuh dengan dokumen, foto, dan benda-benda kecil seperti jam tangan dan kalung. Di salah satu foto, ia melihat wajah ayahnya berdiri bersama seorang pria lain yang mengenakan jaket hitam serupa.
Di balik foto itu, ada tulisan: "Kebenaran terletak di antara peluru pertama dan terakhir."
Ia mengeluarkan peluru berkarat dari kantong jaketnya dan menyadari bahwa inisial "R.A." adalah nama pria dalam foto itu: Raden Armand, teman ayahnya. Mereka pernah menjadi bagian dari sebuah organisasi rahasia yang bergerak dalam bayangan, membongkar kebusukan para penguasa. Jaket hitam itu adalah simbol keanggotaan mereka, sebuah perisai yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada perlindungan.
Namun, Esha juga menemukan surat terakhir ayahnya, yang ditulis beberapa jam sebelum ia menghilang:
"Esha, jika kau membaca ini, aku mungkin sudah pergi. Jangan salahkan siapa pun atas kepergianku. Rahasia ini terlalu besar untuk aku bawa sendirian. Jaket hitam ini adalah warisan yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Gunakanlah dengan bijak, dan jangan pernah berhenti mencari kebenaran, bahkan jika itu berarti melawan dunia."
Air mata mengalir di wajah Esha. Ia akhirnya memahami bahwa jaket hitam ini bukan hanya sekadar pakaian. Ia adalah simbol perjuangan, pengorbanan, dan harapan.
Di luar gudang, matahari mulai terbit. Esha mengenakan jaket hitam itu dengan penuh kebanggaan. Ia tahu bahwa hidupnya tak lagi sama. Rahasia di balik jaket itu telah membawanya pada sebuah tujuan, dan kini ia siap untuk melanjutkan perjalanan ayahnya—mencari kebenaran, apa pun yang terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Cerita PendekAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...