8. BISIKAN RELUNG

1 1 0
                                    

Malam jatuh begitu kelam di atas bukit sunyi itu. Angin bertiup lirih, membawa aroma basah tanah yang belum sepenuhnya kering oleh hujan. Di puncak bukit, di tengah lautan batu nisan yang berdiri seperti penjaga abadi, seorang perempuan berdiri diam. Namanya Larasati. Sorot matanya redup, menyapu barisan batu yang seolah berbisik dalam bahasa yang hanya ia pahami.

Di tangannya, sebuah bunga mawar putih tergenggam erat, kelopaknya bergetar seirama dengan embusan angin. Batu nisan di hadapannya bertuliskan sebuah nama yang begitu ia kenal, nama yang tertanam tak hanya di batu dingin itu, tetapi juga di hatinya.

"Rahmat Wijaya, 1970 - 2024. Tidurlah dalam damai."

Namun, damai adalah kata yang terasa begitu jauh dari dirinya saat ini.

Larasati tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah seketika pada malam itu, malam ketika Rahmat—sosok yang selama ini menjadi tempatnya berpulang—menghembuskan napas terakhir. Ia masih ingat saat tangan Rahmat menggenggamnya erat, mengucapkan kata-kata terakhir yang terus menghantui.

"Laras... jangan biarkan aku sendirian..."

Kata-kata itu, lembut namun memukul, menggema di benaknya, terutama saat ia berdiri di depan nisan ini.

Namun, ada yang aneh malam ini. Bayang-bayang bulan membentuk sesuatu yang nyaris tak masuk akal. Bayangan itu tampak seperti sosok Rahmat, berdiri tegap di balik nisan, memandangnya dengan sorot mata penuh luka.

"Rahmat...?" bisiknya, nyaris tak terdengar.

Bayangan itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri, diam, dengan tatapan yang terasa menembus ke dasar jiwa Larasati.

Hari-hari setelah kepergian Rahmat adalah hari-hari yang penuh dengan keheningan yang menusuk. Namun, sejak malam di bukit itu, Larasati mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Ia sering mendengar bisikan-bisikan lirih di sekitarnya. Kadang, di tengah malam yang pekat, ia merasa seperti ada seseorang yang berdiri di sudut kamarnya, mengawasinya dalam hening.

Pada awalnya, ia mengabaikannya. Mungkin ini hanya dampak dari duka yang begitu mendalam, pikirnya. Namun, bisikan itu semakin sering muncul.

"Laras... jangan biarkan aku sendirian..."

Kata-kata itu terus terulang, sama seperti yang diucapkan Rahmat sebelum ajal menjemputnya. Larasati mulai kehilangan batas antara kenyataan dan ilusi.

Satu malam, Larasati memutuskan untuk kembali ke bukit itu. Hujan baru saja reda, dan langit malam dipenuhi awan yang menggantung berat. Dengan langkah gontai, ia menapaki jalan setapak yang licin, hingga tiba di depan nisan Rahmat.

Kali ini, ia tidak membawa bunga. Ia hanya membawa dirinya sendiri, dengan hati yang dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban.

"Rahmat," panggilnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menjawab. Namun, sesuatu terjadi. Cahaya bulan yang menyelinap di antara awan menciptakan bayangan aneh di atas nisan. Bayangan itu perlahan membentuk tulisan, seperti ukiran tak kasatmata yang muncul dari batu dingin itu.

"Kembalikan aku..."

Larasati tertegun. Apa maksudnya? Ia merasakan sesuatu yang asing merayap ke dalam dadanya—campuran rasa takut, bingung, dan... harapan?

Keesokan harinya, Larasati mulai mencari tahu. Ia menyusuri arsip-arsip tua, mencari jejak-jejak yang mungkin dapat menjelaskan apa yang terjadi. Dalam pencariannya, ia menemukan sebuah fakta mengejutkan. Ternyata, makam Rahmat tidak hanya sekadar tempat peristirahatan biasa. Tanah bukit itu dulunya adalah tanah kutukan, tempat di mana para pelaku dosa besar dihukum untuk selamanya.

Batu-batu nisan di sana konon menjadi penjara jiwa-jiwa yang tidak tenang, mengunci mereka dalam keabadian tanpa kedamaian.

Larasati merasa seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Apakah Rahmat terperangkap di sana? Apakah bisikan-bisikan yang selama ini ia dengar adalah panggilan minta tolong?

Ia memutuskan untuk kembali ke bukit itu malam harinya, membawa sebuah lilin dan segenggam tanah dari rumah Rahmat—tempat di mana ia percaya kenangan-kenangan indah mereka berdua masih tersimpan.

Malam itu, langit begitu gelap. Tidak ada bulan, hanya awan pekat yang menggantung seperti tirai kegelapan. Larasati menyalakan lilin, cahayanya bergetar di antara hembusan angin.

Ia berdiri di depan nisan Rahmat, memegang tanah yang ia bawa.

"Rahmat," panggilnya, kali ini dengan suara yang tegas. "Jika kau masih di sini, beri aku tanda. Apa yang harus kulakukan untuk membebaskanmu?"

Tiba-tiba, angin bertiup kencang, hampir memadamkan lilinnya. Bayangan yang muncul di atas nisan kini semakin jelas. Larasati melihat tulisan yang membakar dirinya dengan kepastian yang dingin.

"Buka kembali pintu yang telah tertutup."

Larasati tertegun. Apa maksudnya? Ia mencoba mencerna, namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara lirih terdengar di telinganya.

"Laras... pulanglah. Jawabannya ada di sana."

Esoknya, Larasati kembali ke rumah Rahmat, rumah yang telah lama ia tinggalkan karena terlalu penuh dengan kenangan. Ia menyisir setiap sudut, mencari sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk.

Akhirnya, di sebuah laci tua yang tersembunyi di bawah tempat tidur Rahmat, ia menemukan sebuah buku harian. Halaman-halamannya telah menguning, namun tulisan Rahmat masih terbaca jelas.

Dalam buku itu, Rahmat menulis tentang rahasia yang selama ini ia simpan. Ternyata, Rahmat pernah melakukan sebuah dosa besar—mengkhianati seorang sahabatnya demi mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sahabat itu, yang bernama Surya, tewas dalam keadaan tragis, dan Rahmat merasa bahwa arwah Surya selalu menghantuinya.

Di halaman terakhir, Rahmat menulis:

"Jika aku pergi sebelum sempat menebus dosaku, aku mohon kepada siapa pun yang membaca ini untuk menemukan batu nisan Surya dan membawakan bunga sebagai tanda permohonan maafku. Hanya dengan begitu aku bisa benar-benar pergi."

Dengan tekad yang bulat, Larasati mulai mencari makam Surya. Ia menyusuri bukit yang sama, memeriksa setiap batu nisan satu per satu. Hingga akhirnya, ia menemukannya—sebuah nisan tua yang hampir terkubur oleh lumut, dengan nama Surya terukir samar di atasnya.

Ia meletakkan bunga mawar putih di atas makam itu dan berdoa dalam diam.

Angin tiba-tiba berhenti, dan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, Larasati merasakan kedamaian yang aneh menyelimuti dirinya.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Rahmat pergi, Larasati tidur dengan nyenyak. Tidak ada lagi bisikan, tidak ada lagi bayangan. Rahmat telah pergi—benar-benar pergi.

Namun, di sudut hatinya, Larasati tahu bahwa ia tidak benar-benar kehilangan Rahmat. Sebuah bagian dari dirinya akan selalu hidup dalam kenangan, seperti bayangan lembut yang menyelubungi malam, abadi di balik batu nisan itu.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang