6. SEPATU TUA

3 1 0
                                    

Kulitnya mengelupas, warnanya memudar menjadi cokelat kelabu seperti daun-daun kering yang ditinggalkan musim gugur. Tali-tali yang dahulu erat kini longgar, berjumbai di ujung seperti jalinan cerita yang tak tuntas. Sepatu itu diam, bisu, namun tidak tanpa nyawa. Ia menyimpan kisah yang lebih panjang dari langkah-langkah yang pernah dilaluinya.

Hari-hari berlalu, debu menumpuk di permukaannya. Orang-orang yang melintas hanya sekilas menatap, lalu berpaling, seolah sepatu tua itu hanyalah serpihan masa lalu yang tak lagi berarti. Namun, pada suatu senja yang lembut, seorang pemuda bertubuh kurus berhenti di depan sepatu itu. Namanya Lazuardi, seorang pengelana yang lebih sering berbicara dengan kesendirian daripada manusia. Ia memungut sepatu itu, mengamatinya dengan sorot mata yang tajam, seperti sedang membaca huruf-huruf tak kasat mata di atas kulit yang retak.

"Berapa langkah yang telah kautempuh?" gumamnya.

Sepatu itu tak menjawab, tetapi di dalam keheningan, ada gemuruh yang samar. Lazuardi, dengan naluri seorang pengelana, tahu bahwa benda-benda tua tak pernah benar-benar diam. Ia membawa sepatu itu pulang, membersihkannya dengan hati-hati, seperti seorang arkeolog yang menemukan artefak berharga.

Masa Lalu yang Berbisik

Malam itu, saat Lazuardi tertidur, mimpi-mimpi aneh mendatanginya. Ia melihat jalan-jalan yang tak dikenalnya, wajah-wajah yang asing, dan suara langkah-langkah yang berat. Sepatu itu, dalam mimpinya, melangkah sendiri, melewati waktu dan ruang, membawa kenangan seorang lelaki tua bernama Tirta.

Tirta adalah seorang petani miskin yang hidup di sebuah desa terpencil. Sepatu tua itu adalah satu-satunya harta berharga yang ia miliki, pemberian mendiang istrinya sebelum ia pergi untuk selama-lamanya. Sepatu itu bukan hanya alas kaki, tetapi penopang semangat, saksi bisu dari perjuangan yang tak pernah usai.

Dalam mimpinya, Lazuardi melihat Tirta berjalan di atas tanah berlumpur, di bawah terik matahari yang membakar. Ia membawa karung-karung berisi hasil panen dengan punggung yang melengkung oleh beban. Setiap langkah yang diambilnya adalah sebuah doa, sebuah harapan bahwa ia bisa membawa kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Namun, kehidupan tidak selalu berpihak pada Tirta. Kemiskinan, kegagalan panen, dan penyakit datang silih berganti, seperti badai yang tak pernah reda. Pada akhirnya, Tirta harus menjual sepatunya untuk membeli obat bagi anak bungsunya yang sakit keras. Tetapi, uang yang ia dapat tak cukup, dan sang anak tetap pergi meninggalkannya. Sepatu itu pun hilang, bersama dengan harapan terakhirnya.

Kembali ke Masa Kini

Lazuardi terbangun dengan napas yang memburu. Ia memandangi sepatu tua itu, yang kini seolah memandang balik dengan mata tak terlihat. Ia merasakan dorongan aneh untuk melangkah, untuk membawa sepatu itu ke tempat-tempat yang pernah dilalui oleh Tirta.

Ia memutuskan untuk pergi ke desa yang muncul dalam mimpinya. Setelah mencari informasi, ia menemukan sebuah desa kecil di ujung bukit, dikelilingi sawah yang luas dan hutan yang sunyi. Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita tua bernama Nyi Laras, yang ternyata adalah cucu Tirta.

Ketika Lazuardi menunjukkan sepatu itu, mata Nyi Laras membesar, kemudian berkaca-kaca. "Ini... ini milik kakek saya," bisiknya. "Saya mengenali jahitan ini. Ibu saya yang menjahitnya kembali saat tali-tali ini hampir putus."

Nyi Laras kemudian menceritakan kisah Tirta yang lebih lengkap, tentang bagaimana ia akhirnya meninggal dalam kesendirian, meninggalkan warisan tak kasat mata berupa ketabahan dan cinta yang tak pernah pudar. Sepatu itu, katanya, adalah pengingat bahwa hidup adalah perjalanan yang tak selalu mudah, tetapi harus tetap dilalui, satu langkah demi satu langkah.

Sepatu Itu Melangkah Lagi

Setelah mendengar cerita itu, Lazuardi merasa seolah-olah ia telah menemukan tujuan baru dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk memperbaiki sepatu tua itu, meskipun kerusakannya sudah begitu parah. Ia membawa sepatu itu ke seorang pembuat sepatu di kota, yang bekerja dengan sabar dan penuh perhatian, seolah mengerti bahwa ini bukan sekadar benda mati.

Ketika sepatu itu selesai diperbaiki, Lazuardi memakainya untuk melanjutkan perjalanannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menapaki jejak Tirta, menghidupkan kembali semangat lelaki tua itu. Ia berjalan melintasi desa-desa, gunung-gunung, dan kota-kota, membawa cerita sepatu itu kepada orang-orang yang ia temui.

Sepatu tua itu, meskipun rapuh, tetap kokoh mendampingi Lazuardi. Dalam setiap goresan dan retakan, ada kisah perjuangan, harapan, dan cinta. Sepatu itu bukan hanya alas kaki, tetapi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara kenangan dan harapan.

Di akhir perjalanannya, Lazuardi menuliskan kisah sepatu tua itu dalam sebuah buku, yang kemudian ia berikan kepada Nyi Laras. "Kakekmu tidak pernah benar-benar pergi," katanya. "Ia hidup dalam setiap langkah, dalam setiap cerita yang kita bagikan."

Dan di sudut perpustakaan kecil di desa itu, sepatu tua itu ditempatkan di sebuah rak kaca, dihormati sebagai simbol perjalanan manusia yang penuh luka, tetapi juga penuh keajaiban. Sepatu tua itu, meskipun diam, terus berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mau mendengar.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang