Konon, terhampar hutan yang tak terpetakan, di mana bayang-bayang malam bergulir seperti ombak di atas lembah, hiduplah seorang gadis dengan mahkota bunga yang tidak pernah gugur. Namanya Irawati, seindah gema angin yang menyusup di sela dedaunan. Konon, setiap kelopak di mahkotanya adalah penjara bagi bisikan dewa-dewi yang dulu berseteru di langit, kini terkunci dalam harmoni.
Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, bagaimana ia bisa hidup di antara akar-akar yang menjulur seperti tangan gelap dari tanah yang lapar. Yang pasti, keberadaannya telah menjadi dongeng yang menyulut harapan dan ketakutan bagi penduduk desa di bawah kaki bukit.
Setiap pagi, Irawati berjalan melintasi padang ilalang, tempat embun menggantung seperti mutiara di benang-benang rumput. Langkahnya tidak pernah menginjakkan jejak. Seolah bumi terlalu gentar menerima tapak gadis yang wajahnya ditenun dari sinar bulan. Ia hanya muncul pada fajar, ketika kabut menyelimuti dunia, dan menghilang ketika matahari mulai mencubit puncak pepohonan.
Namun, kisah ini tidak dimulai di pagi yang lembut, melainkan di malam yang menggigil.
Angin malam berhembus seperti serigala lapar, menggigit apa pun yang dilewatinya. Di pinggir desa, seorang pemuda bernama Baskara duduk di tepi sumur tua. Hatinya bergemuruh, dipenuhi keraguan yang melilit seperti akar yang tumbuh di dalam gelap. Ia mendengar cerita tentang gadis bermahkota bunga itu sejak kecil. Ibunya berkata, "Barang siapa yang bisa merebut mahkota itu akan membawa keberuntungan seumur hidup."
Namun, Baskara tidak mengejar keberuntungan. Ia mengejar jawaban—jawaban atas mimpi-mimpi aneh yang membayanginya setiap malam. Dalam mimpinya, ia melihat gadis itu berjalan di atas danau yang membeku, menatapnya dengan mata yang memancarkan keheningan abadi.
Tanpa berpikir panjang, ia melangkah ke arah hutan.
Ketika malam menjelma menjadi beludru hitam yang dihiasi berlian langit, Baskara menemukan dirinya berdiri di hadapan sebuah padang. Di tengahnya, seperti bunga tunggal di ladang kosong, berdirilah Irawati.
Mahkota bunganya memancarkan cahaya redup, seperti pelita yang hampir padam, namun tetap hidup melawan gelap. Setiap kelopak seolah bernapas, bergerak perlahan seperti dada yang sedang menghirup udara.
"Siapa kau?" tanya Irawati tanpa menoleh, suaranya selembut hujan yang jatuh di malam sunyi.
"Baskara," jawab pemuda itu. "Aku datang untuk memahami mimpi-mimpiku."
Irawati tertawa kecil, suara itu seperti riak air yang pecah di atas batu. "Mimpi adalah jendela ke dunia yang tak pernah bisa kau jamah. Mengapa kau ingin memahaminya?"
Baskara terdiam. Ia tidak tahu jawaban yang tepat. Hanya ada sesuatu di dalam dirinya yang berkata bahwa ia harus berada di sini, di depan gadis ini.
"Mahkota itu," katanya akhirnya, menunjuk pada bunga-bunga di kepala Irawati. "Mengapa bunga-bunga itu tidak pernah layu?"
Irawati memandangnya, dan dalam tatapan itu terdapat rahasia yang beratnya lebih besar dari dunia. "Karena mereka meminum luka," katanya pelan.
"Luka?"
"Ya," jawab Irawati, berjalan mendekatinya. "Setiap kelopak adalah sebuah kisah penderitaan yang abadi. Mahkota ini bukanlah hiasan, melainkan penjara bagi tangis yang tak pernah selesai."
Baskara menelan ludah. Ia memandang lebih dekat ke mahkota itu, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang aneh. Bunga-bunga itu, meskipun indah, memiliki duri-duri kecil yang hampir tak terlihat, seperti luka yang tersembunyi di balik senyum.
"Apa kau ingin memakainya?" tanya Irawati tiba-tiba.
Pemuda itu tertegun. "Apa yang akan terjadi jika aku memakainya?"
"Kau akan tahu apa artinya memikul beban dunia. Kau akan mendengar tangis yang tidak pernah kau dengar sebelumnya. Tapi ingat, tidak semua yang mengetahui kebenaran mampu bertahan hidup di bawah beratnya."
Baskara tidak menjawab, tapi matanya tetap terpaku pada mahkota itu. Ia tahu bahwa ia telah berjalan terlalu jauh untuk berbalik. Dengan tangan yang gemetar, ia mengulurkan tangannya, meraih mahkota bunga yang memancarkan cahaya lembut itu.
Saat mahkota menyentuh kulitnya, dunia di sekitarnya berubah. Langit malam terbelah, memperlihatkan ribuan bintang yang jatuh seperti hujan api. Suara tangis, jeritan, dan tawa bercampur menjadi simfoni yang mengguncang jiwanya.
Baskara melihat bayangan dirinya berdiri di tengah kota yang terbakar, tangan-tangan yang terulur meminta pertolongan. Ia melihat ibu-ibu menangis di tepi sungai yang mengalirkan darah, dan anak-anak yang memanggil nama ayah mereka yang tidak pernah kembali.
Namun, di antara semua itu, ia juga melihat keindahan. Ia melihat seorang gadis kecil yang tertawa meskipun tubuhnya penuh luka. Ia melihat seorang pria tua yang menanam pohon meskipun tahu ia tidak akan hidup cukup lama untuk menikmati buahnya.
Mahkota itu tidak hanya menunjukkan penderitaan, tapi juga harapan yang tumbuh di atas tanah derita.
Ketika Baskara akhirnya melepaskan mahkota itu, ia terjatuh ke tanah, napasnya tersengal-sengal. Irawati berdiri di depannya, tersenyum kecil.
"Bagaimana rasanya?" tanyanya.
"Berat," jawab Baskara. "Tapi juga... indah."
Irawati mengangguk. "Begitulah dunia. Berat, penuh luka, tapi juga penuh keajaiban. Mahkota ini mengingatkan kita bahwa keindahan sejati tidak pernah lahir dari kesempurnaan, melainkan dari keberanian untuk bertahan."
Baskara memandangnya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Irawati bukan sebagai gadis misterius, melainkan sebagai penjaga rahasia dunia.
"Kenapa kau membiarkan aku memakainya?" tanya Baskara.
"Karena aku tahu kau tidak akan mengambilnya untuk dirimu sendiri," jawab Irawati. "Kau hanya ingin memahami, bukan menguasai. Dan itu adalah kunci untuk memikul beban tanpa menjadi hancur."
Baskara meninggalkan hutan itu dengan hati yang lebih ringan, meskipun pikirannya dipenuhi bayangan yang tidak akan pernah hilang. Ia tidak pernah kembali, dan Irawati terus tinggal di sana, menjadi penjaga rahasia yang tidak dimengerti oleh dunia.
Namun, setiap kali Baskara melihat bunga bermekaran, ia teringat pada gadis itu—pada mahkota bunga yang tak pernah layu, dan pada keindahan yang lahir dari luka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Historia CortaAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...