20. NYANYIAN SENJA DI RIMBA TANPA NAMA

1 1 0
                                    


Di sebuah dunia yang tersembunyi dari jejak-jejak manusia, terhampar Rimba Tanpa Nama, sebuah negeri di mana bayang-bayang tak mengenal batas, dan cahaya hanya berani menyelinap di sela-sela dedaunan rapuh. Di sana, waktu seolah berhenti, berputar dalam pusaran melankolia yang tak terjelaskan. Di tengah rimba itu, seekor Griffon tua duduk di atas batu purba, kepaknya yang megah terkulai, lusuh oleh musim-musim tanpa henti.

Namanya Altherion, penjaga gerbang waktu, makhluk yang telah hidup lebih lama dari bintang yang redup di langit. Ia membawa di paruhnya sebuah lagu—melodi yang tidak pernah selesai dinyanyikan, sebuah nyanyian yang katanya mampu membangkitkan harapan, atau menghancurkan dunia yang mendengarkannya. Tetapi, malam ini, ia hanya duduk diam, merenungi bayangannya sendiri di permukaan danau yang jernih.

Sementara itu, di sudut lain rimba, seekor Kitsune bernama Lyra melangkah dengan kehati-hatian seorang pencuri. Ekor-ekornya yang berkilauan seperti sinar bulan memantulkan cahaya aneh, membuat bayangannya terlihat seperti tarian kabut yang enggan hilang. Lyra bukan sekadar Kitsune biasa; ia adalah pemilik kunci misteri yang tak seorang pun berani menyebut namanya.

Ia telah lama mendengar tentang Altherion, sang penyanyi senja. Dan kini, ia datang dengan sebuah pertanyaan yang bahkan langit pun tak punya jawaban.

"Jika aku menemukan dia," pikir Lyra, "akankah ia bernyanyi untukku? Ataukah aku akan menjadi abu, seperti yang diceritakan legenda?"

Langkah Lyra membawa gemerisik yang terdengar seperti bisikan lembut daun-daun tua. Ketika ia akhirnya tiba di tepi danau, ia melihat sosok Altherion, bersanding dengan kesunyian yang begitu kental hingga rasanya bisa disentuh. Lyra tidak menyapa, hanya menunggu, karena ia tahu, nyanyian waktu hanya datang pada mereka yang cukup sabar untuk mendengar.

Griffon itu membuka mata, menatap Lyra seolah ia adalah mimpi yang datang terlalu dini.

"Lyra," suaranya berat, seperti riak-riak air yang memecah kebekuan. "Aku tahu kenapa kau datang. Tetapi, apakah kau yakin ingin mendengar jawabannya?"

Kitsune itu tersenyum, senyuman yang lebih rapuh dari cahaya fajar. "Apa gunanya hidup jika tidak untuk mencari jawaban, Altherion?"

Malam itu, Rimba Tanpa Nama menjadi saksi sebuah pertemuan yang hanya terjadi sekali dalam seribu tahun. Mereka berbicara, bukan dengan kata-kata, melainkan melalui gema pikiran dan cahaya yang menari di udara. Lyra menceritakan perjalanannya: tentang gunung yang ia daki, sungai yang ia arungi, dan rahasia-rahasia yang ia kumpulkan di sepanjang jalan. Namun, di balik setiap kisah yang ia ungkapkan, terselip luka-luka yang tak pernah ia sembuhkan.

"Aku lelah," katanya akhirnya. "Lelah menjadi penjaga rahasia yang tak pernah kumengerti. Aku ingin tahu, Altherion. Apa yang ada di ujung waktu? Apa yang kau lihat di sana?"

Altherion diam lama, sangat lama hingga angin malam terasa berhenti. Kemudian, ia berkata, "Di ujung waktu, kau akan menemukan dirimu sendiri. Tetapi, kau tidak akan mengenali siapa dirimu ketika kau sampai di sana."

Kata-kata itu menggantung seperti awan berat yang menolak jatuh sebagai hujan. Lyra tidak puas. Ia merasa jawaban itu terlalu samar, terlalu abu-abu untuk seorang pencari seperti dirinya. Tetapi sebelum ia sempat berbicara lagi, Altherion mulai bernyanyi.

Nyanyiannya adalah harmoni yang tidak pernah didengar dunia. Melodi itu menembus langit, membuat bintang-bintang bersinar lebih terang, dan membuat air danau memantulkan cahaya seperti cermin. Lyra merasakan dirinya ditarik, bukan oleh suara itu, tetapi oleh kekuatan yang jauh lebih besar. Ia melihat bayangan dirinya, memudar, menyatu dengan nyanyian itu.

Dan ketika melodi mencapai puncaknya, Lyra terjatuh. Ia membuka mata, tetapi yang ia lihat bukan lagi dirinya.

Ia melihat seekor Kitsune kecil, dengan ekor yang masih pendek dan pandangan mata yang penuh rasa ingin tahu. Kitsune itu berada di tengah-tengah rimba yang sama, tetapi berbeda. Pohon-pohon lebih tinggi, udara lebih segar, dan suara tawa terdengar dari mana-mana. Kitsune kecil itu tidak sendiri. Ada banyak lainnya, Kitsune lain, yang bermain dan tertawa dengannya.

Lyra mengenali dirinya yang dulu—dirinya sebelum beban rahasia menghancurkan hatinya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia menangis.

Ketika ia kembali ke dunia nyata, nyanyian Altherion telah berhenti. Ia menatap Griffon itu dengan mata yang masih basah, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak perlu. Altherion mengangguk pelan, tanda bahwa ia telah mengerti.

"Jawaban yang kau cari," kata Altherion, "bukanlah tentang apa yang ada di ujung waktu, tetapi tentang bagaimana kau memilih untuk berjalan ke sana."

Dan dengan itu, Griffon tua itu mengepakkan sayapnya, terbang ke dalam malam yang gelap. Lyra menatapnya hingga ia menghilang, merasa lebih ringan, meskipun ia tahu perjalanan yang sebenarnya baru saja dimulai.

Di Rimba Tanpa Nama, waktu terus berjalan, membawa cerita-cerita baru yang akan diceritakan di kemudian hari. Tetapi malam itu, satu nyanyian telah selesai, dan seorang pencari telah menemukan jawabannya, meskipun ia tidak menyadarinya. Dan di kejauhan, bintang-bintang bersinar lebih terang, seolah ikut merayakan sebuah kisah yang baru saja tercipta.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang