17. PENULIS BAYANGAN

1 1 0
                                    

Di sudut perpustakaan tua, terselip di antara berjilid-jilid kitab berdebu, ada sebuah kotak kayu mahoni yang seakan tidak mengenal waktu. Ukirannya berbentuk cabang-cabang pohon dengan daun yang tak sempurna, seperti lukisan seorang pemula yang ragu. Kotak itu tidak terkunci, namun tampak seperti mengintimidasi siapa pun yang hendak membukanya. Hanya orang-orang yang didorong oleh rasa ingin tahu berlapis keberanian yang mungkin berani menyentuhnya.

Di dalamnya terbaring sebuah pena. Tidak ada ukiran, tidak ada perhiasan, hanya batang perak polos dengan ujung berkilauan seperti tetesan embun pertama. Tapi pena itu memancarkan aura aneh, semacam magnet yang menarik pandangan sekaligus membuat leher terasa dicekik oleh sesuatu yang tak terlihat.

Pena itu menunggu.

Erlangga menemukannya tanpa sengaja, seperti seorang musafir yang menyingkap oase di tengah gurun. Ia adalah seorang penulis gagal yang hidup dari bayang-bayang mimpi yang tak pernah terealisasi. Kertas-kertas penuh coretan berserakan di lantai kamarnya, seperti daun kering yang gugur tanpa makna. Setiap malam, ia memandangi layar komputernya, kursornya berkedip-kedip seperti jantung yang lelah, namun tidak ada kata-kata yang terwujud.

Hari itu, perpustakaan tua itu adalah pelariannya. Di sanalah, di balik debu dan kesunyian, ia menemukan kotak itu. Ketika ia menyentuh pena di dalamnya, sensasi dingin menjalar seperti serpihan es di bawah kulitnya. Ia merasakan sesuatu berdesir, seperti bisikan hampa dari celah waktu.

Malam itu, di bawah cahaya lampu temaram yang berpendar seperti kunang-kunang terakhir di dunia, Erlangga memutuskan untuk mencobanya. Ia meraih selembar kertas putih yang tak ternoda. Pena itu terasa hidup di tangannya, seperti seekor burung yang siap mengepakkan sayapnya.

Ketika ia mulai menulis, kata-kata mengalir seperti air sungai yang menghapus dahaga tanah kering. Setiap huruf seolah memiliki roh, setiap kalimat menari seperti api yang tertiup angin. Erlangga menulis tentang seorang gadis yang mampu berbicara dengan bintang-bintang, tentang seorang lelaki tua yang menyimpan rahasia hujan, tentang dunia-dunia yang hanya ada dalam mimpi.

Namun, ketika ia berhenti, ia menyadari sesuatu yang aneh. Tulisan itu tidak sekadar cerita. Tulisan itu hidup. Kata-kata yang ia tulis memantul kembali ke dalam pikirannya, seperti gema yang tak pernah berhenti. Ia merasa dirinya tenggelam dalam dunia yang baru saja ia ciptakan, seperti seorang nelayan yang terjerat oleh jala yang ia lemparkan sendiri.

Hari-hari berikutnya, Erlangga menjadi budak pena itu. Ia menulis dengan gairah yang meluap-luap, seperti seseorang yang telah menemukan obat dari segala rasa sakitnya. Setiap malam, ia menumpahkan imajinasinya ke atas kertas. Namun, setiap pagi, ia terbangun dengan rasa letih yang mengerikan, seolah-olah dirinya telah terkuras habis oleh sesuatu yang tak terlihat.

Tulisan-tulisannya menjadi buah bibir. Erlangga menjadi nama yang disebut-sebut di kafe-kafe sastra, di ruang-ruang diskusi, bahkan di media massa. Namun, semakin ia menulis, semakin ia merasa ada sesuatu yang hilang. Setiap cerita yang ia tulis terasa seperti serpihan dirinya yang terkoyak dan tak pernah kembali.

Hingga suatu malam, ketika ia memandangi bayangan dirinya di cermin, ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Bayangannya tampak kabur, seperti tinta yang luntur di atas kertas basah. Matanya tidak lagi memiliki kilau kehidupan, dan tubuhnya terasa seperti cangkang kosong.

Pena itu ternyata lebih dari sekadar alat. Ia adalah jembatan antara dunia nyata dan bayangan. Setiap kata yang ditulis Erlangga adalah jiwa yang ia tukarkan. Pena itu tidak hanya menulis cerita, tetapi juga mencuri bagian-bagian kecil dari penulisnya, menghisapnya seperti embun yang menguap di bawah sinar matahari.

Erlangga mencoba berhenti, namun ia tidak bisa. Tangannya gemetar setiap kali ia melihat pena itu, seperti seorang pecandu yang merindukan racun yang membunuhnya perlahan.

Pada suatu malam yang kelam, di bawah hujan deras yang mengguyur tanpa ampun, ia memutuskan untuk mengembalikan pena itu ke tempat asalnya. Namun, ketika ia tiba di perpustakaan tua itu, ia mendapati bahwa kotak kayu mahoni telah lenyap, seolah-olah tidak pernah ada.

Pena itu adalah bagian dari dirinya sekarang, seperti bayangan yang tak bisa dilepaskan.

Erlangga akhirnya menyadari bahwa hanya ada satu cara untuk bebas: ia harus menulis kisah terakhirnya. Sebuah kisah yang tidak hanya mengandung kehidupan, tetapi juga kematian. Ia menulis tentang seorang pria yang menemukan pena ajaib, tentang kegilaannya, tentang kehancurannya, dan tentang usahanya untuk melawan takdir.

Ketika ia menulis kalimat terakhir, ia merasakan sesuatu yang aneh. Pena itu tiba-tiba menjadi berat, seperti memikul dosa-dosa dari seribu generasi. Erlangga melihat bayangannya di cermin, yang kini sepenuhnya memudar.

Ketika pagi menjelang, Erlangga tidak lagi ada. Yang tersisa hanyalah pena itu, tergeletak di atas meja, dan kertas yang penuh dengan cerita terakhirnya.

Di sudut perpustakaan tua, sebuah kotak kayu mahoni kembali muncul. Pena itu kembali menunggu, menanti seseorang yang cukup bodoh untuk menyentuhnya.

Dan cerita itu pun terus berulang.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang