Langit jingga merekah di ufuk barat, seolah menumpahkan rahasia yang hanya dimengerti oleh burung-burung kenari yang melintas di atas hutan cemara. Di tengah heningnya lembah yang memeluk waktu, seorang lelaki berdiri di antara pepohonan tua. Namanya Ardan, seorang pemahat yang tak lagi percaya pada wujud sempurna.
Matahari tenggelam perlahan, dan cahaya kenari—lembut dan keemasan—melumuri segala yang disentuhnya. Cahaya itu seperti bisikan pelan, berusaha menghidupkan kembali segala yang telah mati di dalam dirinya. Tetapi bagi Ardan, cahaya itu bukan penghiburan; ia adalah pengingat atas luka yang tak kunjung memudar.
"Cahaya itu tidak membawa kehangatan," gumamnya pelan, sembari menatap jemari kasarnya yang berlumur serpihan kayu. Ia pernah berpikir, mungkin cahaya adalah jawaban atas gelap yang terus merangkul hatinya. Namun kini, ia tahu, cahaya hanyalah topeng bagi kegelapan yang lebih pekat.
Di masa lalunya, cahaya kenari adalah tanda kasih. Cahaya itu menyelimuti sebuah pondok kecil di tepian danau, tempat ia dan Kirana, wanita yang ia cintai, menenun mimpi-mimpi tentang kehidupan yang sederhana namun penuh makna. Kirana adalah perempuan yang membawa keheningan ke dalam dirinya, keheningan yang tak membuatnya takut, melainkan nyaman, seolah ia adalah bagian dari alam itu sendiri.
Namun, cahaya itu juga menjadi saksi saat segalanya runtuh. Kirana pergi pada suatu malam ketika badai datang tanpa peringatan, meninggalkan Ardan hanya dengan aroma kayu basah dan gema tawa yang tak lagi bisa ia genggam.
"Mengapa cahaya kenari tetap ada jika ia tak lagi melihatnya?" pikir Ardan.
Ardan menghabiskan tahun-tahun setelah kepergian Kirana dengan berkelana, mencari jawab atas pertanyaan yang bahkan tak mampu ia rangkai dalam kata-kata. Di setiap tempat ia menemukan cahaya kenari—di sela-sela dedaunan, di sela retakan dinding tua, bahkan di permukaan sungai yang tenang. Tetapi cahaya itu tak pernah memeluknya seperti dulu.
Hingga ia kembali ke lembah ini, tempat segalanya bermula. Ia merasa seolah lembah ini adalah ruang di antara mimpi dan kenyataan, sebuah batas di mana waktu hanya mengalir dalam lingkaran tanpa ujung. Di sana ia mulai memahat, bukan untuk mencipta keindahan, tetapi untuk menjerat waktu yang selalu menghindar.
Setiap pahatan adalah upaya untuk mengingat wajah Kirana, namun hasilnya selalu tampak asing. Kadang, ia merasa sedang memahat sosok dirinya sendiri, penuh cela dan ketidaksempurnaan.
Pada suatu malam, saat rembulan menggantung rendah di cakrawala, Ardan mendengar suara nyanyian lembut dari kejauhan. Ia mengikuti suara itu, langkahnya perlahan seperti seorang anak kecil yang takut mengganggu tidur dunia. Suara itu membawanya ke sebuah pohon kenari besar di tengah padang rumput.
Cahaya bulan berpendar di sela-sela daun, membentuk bayangan yang menari di tanah. Di bawah pohon itu, seorang perempuan berdiri. Rambutnya memantulkan cahaya seperti anyaman emas, dan matanya menyimpan keheningan malam. Ia bukan Kirana, tetapi entah bagaimana, ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkan Ardan pada cinta yang hilang.
"Siapa kau?" tanya Ardan dengan suara serak.
"Aku hanyalah gema dari apa yang kau cari," jawab perempuan itu dengan senyum samar.
Malam itu, perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Nara. Ia adalah penjaga cahaya kenari, katanya, meski Ardan tak mengerti apa yang dimaksud. Ia merasa perempuan itu adalah bagian dari mimpi, tetapi sentuhan angin dan kehangatan suaranya terasa nyata.
"Kenapa kau selalu mencari Kirana di setiap pahatanmu?" tanya Nara.
Ardan tak langsung menjawab. Kata-kata terasa berat, seperti batu yang tenggelam di dasar sungai. Akhirnya ia berkata, "Karena hanya dengan mengingatnya, aku merasa hidup."
Nara menggeleng pelan. "Kau hidup bukan untuk mengenang, tetapi untuk melangkah. Cahaya kenari yang kau lihat, ia bukan pengingat masa lalu, melainkan petunjuk akan jalan yang belum kau tempuh."
Kata-katanya menusuk hati Ardan seperti belati. Ia merasa marah, tetapi juga tersentuh.
"Mengapa kau peduli pada apa yang kulakukan?" tanya Ardan.
"Aku peduli karena kau telah menjadi bagian dari cahaya ini. Jika kau terus berjalan dengan mata tertutup, kau akan kehilangan arti dari apa yang telah diberikan."
Malam itu, Nara menghilang seiring dengan redupnya cahaya bulan, meninggalkan Ardan dengan pikiran yang kacau.
Hari-hari berikutnya, Ardan mulai melihat cahaya kenari dengan cara berbeda. Ia memperhatikan bagaimana cahaya itu menyusup di antara celah-celah, menyentuh hal-hal yang tersembunyi. Ia merasa cahaya itu seperti gema dari suara yang tak pernah ia dengar, sebuah gemuruh yang tertahan, menunggu untuk dilepaskan.
Ia kembali memahat, tetapi kali ini bukan wajah Kirana yang ia coba buat. Ia memahat sesuatu yang abstrak—gelombang, garis, dan bentuk yang mencerminkan perasaan yang tak mampu ia ungkapkan. Setiap serpihan kayu yang jatuh seperti serpihan masa lalu yang akhirnya bisa ia lepaskan.
Ketika ia menyelesaikan pahatan itu, ia melihatnya dengan mata yang baru. Karya itu bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang penerimaan. Cahaya kenari menyentuh permukaannya, menciptakan bayangan yang seolah-olah hidup, bergerak bersama angin.
"Kau telah menangkap gemuruh itu," katanya sambil tersenyum.
Ardan hanya mengangguk. Ia merasa tak perlu berkata apa-apa lagi. Dalam diam, ia tahu bahwa cahaya kenari bukanlah tentang apa yang hilang, melainkan tentang apa yang masih ada—harapan, keindahan, dan kemungkinan yang tak terbatas.
Di bawah pohon kenari yang sama, Ardan berdiri, merasakan cahaya yang membungkusnya. Ia tidak lagi mencari Kirana dalam setiap bayangan. Ia tahu, cinta yang pernah ia miliki tidak benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, menjadi bagian dari cahaya itu sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Historia CortaAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...