Dalam labirin kelam yang menyesaki jiwa dan raga, Minotaur duduk bersandar pada dinding dingin yang berlumut. Tidak ada waktu di sini, hanya detak napasnya yang menggema dalam kehampaan. Ia adalah penguasa dalam sangkar ciptaan manusia, sebuah makhluk setengah manusia setengah banteng yang dipuja sekaligus ditakuti. Namun, di balik kekuatan fisiknya, hatinya rapuh, seperti kaca yang hampir retak oleh beban berat sebuah kesendirian.
Minotaur memandangi bayangan dirinya yang samar di genangan air di bawah kakinya. Wajah yang bercampur dua dunia itu telah lama ia benci, seperti kutukan yang diwariskan oleh para dewa. Sungguh ironi, pikirnya, menjadi monster yang tidak pernah diinginkan, tetapi tetap dicari oleh mereka yang ingin membuktikan keberanian. Mereka datang dengan pedang, dengan keberanian palsu yang diselimuti rasa takut. Dan ia, dalam peran yang ditakdirkan, harus menjadi ujian terakhir mereka.
Namun, Minotaur lelah. Ia lelah menjadi penjaga labirin, lelah menjadi bayangan dalam mimpi buruk manusia. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mendambakan kebebasan-bukan kebebasan dari dinding-dinding batu ini, tetapi dari beban eksistensi yang memenjarakannya lebih kuat daripada labirin itu sendiri.
Malam itu, angin yang jarang berembus di kedalaman labirin membawa aroma yang asing, seperti bunga liar yang tumbuh di tempat tak terjangkau. Minotaur mengendus, mengerutkan dahi. Aroma itu membawa kenangan yang tak pernah ia miliki, seperti bayangan akan padang rumput yang tak pernah diinjak oleh kuku-kuku kakinya.
Ia mengikuti aroma itu, kakinya yang kokoh menggema di sepanjang lorong-lorong sempit. Langkahnya membawa dia ke sebuah sudut yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya, sebuah celah kecil di antara batu-batu besar yang memancarkan cahaya remang. Dengan hati-hati, ia memasukkan kepalanya ke dalam celah itu dan melihat sesuatu yang tak ia duga-sebatang pohon kecil yang tumbuh di tengah kegelapan.
Daun-daunnya berkilauan, seperti terbuat dari perak, dan akar-akarnya menembus batu dengan kegigihan yang luar biasa. Pohon itu tidak seharusnya ada di sini, di tempat yang hanya mengenal kegelapan dan kematian. Namun, keberadaannya seperti sebuah pesan, sebuah harapan kecil yang berbisik di telinganya, "Kamu tidak sendiri."
Minotaur mengulurkan tangannya yang besar dan kasar, menyentuh salah satu daun yang berkilauan itu. Dalam sekejap, dunia di sekitarnya berubah. Ia tidak lagi berada di labirin, melainkan di padang rumput yang luas, di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang. Angin membelai bulu-bulu kasar di tubuhnya, membawa aroma bunga liar yang lebih kuat daripada sebelumnya.
Di tengah padang rumput itu, seorang perempuan berdiri. Rambutnya hitam pekat seperti malam tanpa bulan, dan matanya memancarkan cahaya lembut seperti lentera yang memandu para pelaut. Ia memandang Minotaur tanpa takut, tanpa jijik, tetapi dengan kehangatan yang membuat dada makhluk itu terasa sesak.
"Siapa kamu?" tanya Minotaur, suaranya serak, seperti batu yang bergesekan.
"Aku adalah penjaga jiwa-jiwa yang hilang," jawab perempuan itu, suaranya lembut seperti aliran sungai. "Dan kamu, wahai makhluk labirin, adalah jiwa yang telah lama terlupakan."
Minotaur merasakan sesuatu yang aneh di hatinya, seperti benih yang baru saja ditanam di tanah subur. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata itu seperti lumpur yang tersangkut di tenggorokannya.
"Kamu tidak perlu berbicara," kata perempuan itu, seolah-olah membaca pikirannya. "Aku tahu rasa sakitmu, rasa hausmu akan kebebasan. Aku tahu betapa beratnya membawa kutukan yang tidak pernah kamu pilih."
Mata Minotaur mulai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang melihatnya sebagai lebih dari sekadar monster.
"Tapi mengapa aku?" tanya Minotaur akhirnya. "Mengapa kamu peduli pada makhluk seperti aku?"
Perempuan itu tersenyum, senyum yang menghangatkan seperti matahari pertama setelah musim dingin yang panjang. "Karena kamu adalah bagian dari dunia ini, sama seperti bintang-bintang di langit dan bunga-bunga di padang rumput ini. Tidak ada yang terbuang di bawah naungan langit."
Minotaur ingin mempercayainya, tetapi ada suara kecil di dalam dirinya yang berkata bahwa ini hanyalah mimpi, ilusi yang akan hilang begitu ia membuka matanya.
"Aku bisa membantumu," kata perempuan itu tiba-tiba. "Aku bisa membawamu keluar dari labirin, tetapi hanya jika kamu percaya bahwa kamu layak untuk bebas."
Kata-kata itu menggema di kepala Minotaur. Layak untuk bebas? Bagaimana ia bisa percaya pada sesuatu yang bahkan ia ragukan dalam dirinya sendiri?
Namun, sebelum ia bisa menjawab, dunia di sekitarnya mulai memudar. Padang rumput itu perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh dinding-dinding batu yang dingin dan tak bersahabat. Pohon kecil itu masih ada, tetapi cahayanya meredup, seperti lilin yang hampir padam.
Minotaur terbangun dari mimpinya, napasnya tersengal. Ia memandangi pohon kecil itu, yang kini tampak seperti satu-satunya sumber harapan di dunia yang gelap ini. Ia tahu bahwa apa pun yang ia lihat tadi lebih dari sekadar mimpi. Itu adalah panggilan untuk berubah, untuk mencari jalan keluar dari labirin bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin.
Hari demi hari, Minotaur menjaga pohon itu, memberi perlindungan dari kegelapan yang mencoba menelannya. Dan perlahan-lahan, pohon itu tumbuh, akar-akarnya menyebar, daun-daunnya semakin bersinar.
Di dalam labirin itu, Minotaur menemukan makna baru dalam hidupnya. Ia tidak lagi menjadi penjaga yang menunggu akhir, tetapi menjadi pengasuh yang menumbuhkan harapan.
Dan suatu hari, ketika pohon itu telah tumbuh begitu besar sehingga akarnya menghancurkan dinding-dinding batu di sekitarnya, Minotaur melangkah keluar dari labirin. Ia berdiri di bawah langit terbuka, merasakan cahaya matahari yang hangat di kulitnya untuk pertama kalinya.
Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa takut. Ia adalah Minotaur, bukan hanya makhluk labirin, tetapi juga makhluk yang mampu tumbuh, mampu bermimpi, dan mampu bebas.
Di cakrawala, ia melihat sosok perempuan itu, berdiri di tengah padang rumput yang luas. Kali ini, ia tidak perlu bertanya siapa dia. Minotaur tahu bahwa ia adalah wujud dari harapan, sebuah harapan yang telah lama hilang tetapi kini kembali menemukannya.
Dan dengan langkah yang mantap, Minotaur berjalan menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan, meninggalkan labirin dan rindu yang tak berujung di belakangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...