14. BISIKAN SAYAP MERPATI

1 1 0
                                    

Di sudut kota yang menua, seorang pemuda bernama Aruna tinggal di sebuah rumah mungil yang beratapkan genting tua. Ia hidup seorang diri, ditemani sunyi dan buku-buku berdebu yang ia warisi dari kakeknya. Hari-harinya dihabiskan menulis puisi, mengabadikan keindahan yang tak pernah ia temui dalam kehidupan nyata. Ia percaya, dalam setiap bait puisinya, ada keabadian kecil yang ia tawarkan kepada dunia yang kerap melupakan.

Namun, hidupnya berubah pada suatu sore yang basah, ketika hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah yang bercampur dengan dingin senja. Saat itu, dari jendela kamarnya yang menghadap taman, Aruna melihat seekor merpati bertengger di ranting pohon beringin. Tubuh burung itu putih bersih, seakan setiap bulunya dipahat dari salju. Namun, ada yang aneh pada merpati itu—sayap kanannya seolah-olah tergores tinta hitam, membentuk pola menyerupai tulisan.

Merasa terpesona, Aruna membuka jendela dan mendekati burung itu dengan hati-hati. Tanpa ia sangka, merpati itu menatapnya dalam-dalam, seakan memahami setiap gerak langkahnya. Dalam keterkejutan, Aruna menyadari bahwa tulisan di sayap burung itu berbunyi:

"Untukmu yang merindukan akhir tanpa jawaban."

Aruna terpaku. Ia tahu tulisan itu bukan sembarang kebetulan. Ia pun mencoba mendekati merpati tersebut, namun burung itu terbang, meninggalkan jejak bayangan di bawah langit yang mulai berwarna jingga.

Keesokan harinya, Aruna memutuskan untuk mencari burung itu. Ia membawa kamera tua milik kakeknya, berharap dapat menangkap keajaiban yang dilihatnya. Ia berjalan menyusuri gang-gang sempit, melintasi pasar yang penuh hiruk-pikuk, dan menembus lapangan yang kini ditumbuhi rerumputan liar. Namun, burung itu tak juga ia temukan.

Hingga di sebuah taman yang sepi, Aruna mendengar kicauan lembut. Ia mendongak, dan di atas salah satu dahan pohon jambu, merpati itu bertengger. Kali ini, tulisan di sayapnya berbeda:

"Jawaban ada di ujung jalan, namun apakah kau berani menapak?"

Aruna merasa hatinya bergetar. Kata-kata itu seperti membangkitkan sesuatu yang telah lama terkubur di dalam dirinya—sebuah kegelisahan yang selama ini ia abaikan.

"Siapa kau?" bisiknya pelan. Namun merpati itu hanya menatapnya sekilas sebelum kembali terbang, meninggalkan kepingan teka-teki di udara.

Hari demi hari, Aruna terus mencari burung itu. Setiap kali ia menemukannya, tulisan di sayap merpati itu selalu berbeda.

"Apa arti kesunyian bagimu?"
"Bisakah cinta bertahan tanpa wujud?"
"Mengapa kau menulis, jika tak pernah ada yang membaca?"

Pertanyaan-pertanyaan itu mengguncang Aruna. Ia merasa seperti sedang diuji oleh makhluk yang lebih tahu tentang dirinya daripada ia sendiri. Semakin lama, ia menyadari bahwa keberadaan merpati itu bukan sekadar kebetulan.

Pada suatu malam, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah padang luas yang diterangi cahaya bulan. Di hadapannya, merpati itu bertengger di sebuah batu besar. Kali ini, sayapnya tak hanya bertuliskan kata-kata, tetapi penuh dengan simbol-simbol yang sulit ia pahami.

Dalam mimpi itu, merpati itu berbicara. Suaranya lembut namun penuh wibawa, seolah datang dari kedalaman dunia yang tak terlihat.

"Aruna, apa yang kau cari? Dalam tulisanmu, dalam hidupmu, apa yang sebenarnya kau kejar?"

Aruna terbangun dengan peluh dingin membasahi dahinya. Ia merasa seperti sedang dihadapkan pada cermin besar yang memperlihatkan seluruh isi hatinya.

Keesokan harinya, Aruna memutuskan untuk mengikuti kata-kata di mimpi itu. Ia berhenti menulis untuk sementara waktu dan mengalihkan perhatiannya pada dunia di sekitarnya. Ia mulai berbicara dengan orang-orang yang selama ini ia abaikan—tetangga yang kesepian, anak-anak kecil yang bermain di jalanan, hingga seorang penjual bunga tua yang sering duduk di depan toko kecilnya.

Dari mereka, Aruna belajar tentang cerita-cerita yang selama ini tak pernah ia dengar. Ia menemukan bahwa setiap manusia menyimpan luka, harapan, dan kerinduan mereka sendiri. Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa tulisan-tulisan di sayap merpati itu mulai masuk akal.

Pada suatu sore, ia kembali melihat burung itu. Kali ini, merpati itu berdiri di pagar rumahnya, menatapnya dengan mata yang penuh arti. Tulisan di sayapnya berbunyi:

"Kau telah menemukan sebagian jawaban, tetapi jalanmu masih panjang."

Aruna mendekati burung itu dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, merpati itu terbang sekali lagi, menghilang ke arah matahari terbenam.

Hari-hari berikutnya, Aruna tak lagi melihat burung itu. Namun, ia merasa hidupnya berubah. Ia tak lagi menulis untuk keabadian, melainkan untuk merangkul kefanaan. Puisi-puisinya kini dipenuhi cerita tentang manusia, tentang dunia yang penuh ketidaksempurnaan, namun begitu hidup.

Di suatu pagi, saat ia membuka jendela, ia menemukan sehelai bulu putih di atas meja kamarnya. Bulu itu bersih, tanpa noda tinta, tetapi terasa hangat di tangannya.

Dan di saat itulah ia menyadari, mungkin ia tak akan pernah melihat merpati itu lagi. Namun, bisikannya tetap hidup, tersembunyi dalam setiap bait puisi yang ia tulis.

Di sayap merpati, ia menemukan dunia. Namun di hatinya, ia menemukan dirinya sendiri.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang