Matahari terbenam di ujung barat, perlahan ditelan cakrawala keemasan. Langit yang memerah di atas kota menjadi latar bagi siluet lelaki itu. Ia berdiri di tepi trotoar, tubuhnya lurus, seakan menjadi penjaga yang abadi. Di tangannya, sebuah payung hitam tergenggam erat, seperti perisai yang melindunginya dari dunia yang terlalu gamblang.
Kisahnya berawal di sebuah stasiun tua, di mana bunyi deru kereta bersahut dengan langkah-langkah tergesa para penumpang. Lelaki itu hadir tanpa nama, tanpa sejarah yang bisa ditelusuri. Payung hitamnya menjadi penanda, seperti bendera yang dikibarkan di tengah keriuhan. Orang-orang tak mengenalnya, tetapi keberadaannya menciptakan rasa ingin tahu yang tak terjelaskan.
"Siapa dia?" bisik seorang perempuan tua kepada anak kecil yang menggenggam tangannya.
"Entahlah," jawab si bocah polos, matanya terpaku pada payung hitam yang tampak asing di tengah terik matahari.
Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan, tidak mengakui tatapan, tidak pula menyapa siapa pun. Ia hanya berdiri, dengan pandangan yang terpaku pada sesuatu yang jauh melampaui batas pandangan mata manusia biasa.
Hari itu hujan datang mendadak. Tetesannya deras, menghantam tanah seperti palu yang memaku dunia pada porosnya. Orang-orang berlarian mencari tempat berlindung, kecuali lelaki itu. Ia tetap di tempatnya, membuka payung hitam yang selama ini hanya ia genggam. Payung itu tidak sekadar melindunginya dari hujan, tetapi seolah menjadi atap kecil bagi dunia yang ia ciptakan sendiri.
Seorang gadis muda, basah kuyup dan menggigil, berdiri di dekatnya. Matanya yang bening memohon perlindungan, namun ia terlalu malu untuk meminta. Lelaki itu, tanpa sepatah kata, mendekatinya, memayungi tubuh mungil gadis itu dengan payung hitamnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya pelan, suaranya seperti gemerisik dedaunan yang tertiup angin.
Gadis itu mengangguk, bibirnya membiru karena dingin. "Terima kasih," katanya lirih.
Mereka berjalan bersama di bawah payung hitam itu, menyusuri jalan-jalan yang kini dipenuhi genangan. Gadis itu memperhatikannya, mencoba memahami keheningan yang menyelimuti lelaki ini. Tidak ada pertanyaan yang ia lontarkan, tetapi ia merasa seolah lelaki itu membaca setiap pikirannya. Ada ketenangan dalam kehadirannya, seperti angin malam yang membelai lembut.
"Kemana kau akan pergi?" tanya gadis itu, mencoba memecah kesunyian.
"Ke tempat di mana aku seharusnya berada," jawab lelaki itu singkat.
Desas-desus tentang lelaki berpayung hitam segera menyebar ke seluruh penjuru kota. Ada yang bilang ia seorang pengelana yang mencari sesuatu yang hilang. Ada pula yang percaya ia bukan manusia, melainkan makhluk gaib yang sedang menjalani tugasnya di dunia fana.
Namun, tidak ada yang tahu cerita sesungguhnya. Tidak ada yang berani bertanya lebih jauh, kecuali gadis itu. Sejak hari hujan itu, ia kerap menemui lelaki tersebut di stasiun tua. Mereka tidak banyak bicara, tetapi kebersamaan mereka membentuk simpul-simpul kecil di hati si gadis. Ia mulai merasa bahwa lelaki itu membawa lebih dari sekadar payung hitam; ia membawa rahasia yang ingin sekali ia ungkap.
"Kenapa kau selalu membawa payung hitam itu, bahkan saat tidak hujan?" tanyanya suatu sore.
Lelaki itu menatapnya, matanya menyimpan kedalaman yang sulit diterjemahkan. "Payung ini bukan hanya untuk hujan," katanya. "Ia melindungi lebih dari sekadar tubuhku."
"Apa yang kau lindungi?" desak gadis itu.
Lelaki itu tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab. Hanya sekali itu ia menunjukkan ekspresi, dan gadis itu tahu ia tidak akan mendapatkan jawaban yang lebih dari itu.
Waktu berlalu, dan lelaki berpayung hitam menjadi bagian dari kehidupan kota. Ia seperti bayangan yang tak terpisahkan dari senja dan hujan, hadir tetapi tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari dunia. Orang-orang mulai menerimanya sebagai misteri yang tak perlu dijawab.
Namun, suatu malam, lelaki itu tidak muncul di stasiun tua. Gadis itu menunggu, berdiri di bawah lampu jalan yang berpendar lemah. Hujan turun lagi, lebih deras dari biasanya, tetapi lelaki itu tetap tidak datang. Perasaan aneh menyelinap di hatinya, seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar dimilikinya.
Esok paginya, ia menemukan lelaki itu di taman kota, duduk di bangku kayu yang basah. Payung hitamnya tergeletak di sampingnya, tidak terbuka. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya, dan ada kesedihan yang menggantung di udara di sekitarnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya gadis itu, duduk di sebelahnya tanpa peduli pada air yang merembes melalui pakaian.
Lelaki itu menggeleng pelan. "Aku telah selesai," katanya, suaranya berat.
"Selesai apa?" Gadis itu bingung.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia mengambil payung hitamnya, membuka lipatannya, dan menyerahkannya kepada gadis itu.
"Ini milikmu sekarang," katanya. "Kau akan mengerti pada waktunya."
Gadis itu memegang payung itu dengan ragu, mencoba membaca sesuatu dari wajah lelaki itu. Tetapi ia hanya tersenyum samar, lalu pergi, menghilang di balik kabut pagi.
Lelaki itu tidak pernah kembali. Payung hitam itu kini menjadi milik gadis itu, tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengannya. Kadang ia membawanya ke stasiun tua, berharap lelaki itu akan muncul lagi, tetapi harapannya selalu pupus.
Lambat laun, ia mulai menyadari sesuatu yang aneh. Setiap kali ia membawa payung itu, ia merasa terlindungi, bukan hanya dari hujan, tetapi juga dari beban-beban yang tidak terlihat. Ia merasa lebih kuat, lebih tenang, seolah lelaki itu telah meninggalkan sebagian dari jiwanya di dalam payung tersebut.
Di suatu sore yang dingin, gadis itu membuka payung hitam itu di tengah hujan. Ia memandang ke langit, membiarkan air hujan membasahi wajahnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa memahami lelaki itu. Payung hitam itu bukan sekadar pelindung; ia adalah simbol harapan, pelipur lara bagi jiwa-jiwa yang hilang.
Gadis itu tahu, lelaki itu telah memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Ia telah meninggalkan warisan yang tak terlihat, tetapi selalu hadir. Dan di bawah payung hitam itu, gadis itu menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya, dengan keyakinan bahwa ia selalu terlindungi, bahkan dari hal-hal yang tak ia pahami.
Payung hitam itu menjadi penanda, bukan hanya bagi hujan, tetapi bagi senja, harapan, dan misteri yang tak pernah sepenuhnya terjawab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Kısa HikayeAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...