Di ujung senja yang merah saga, desa Kawat memeluk sunyi dengan erat, seperti seorang ibu yang enggan melepas bayinya pada malam. Angin berdesir lirih, menyelipkan cerita-cerita lama ke dalam celah rumah bambu, dan gemerisik daun-daun pisang menyerupai percakapan rahasia yang hanya dipahami oleh mereka yang mencintai kesunyian. Namun, di tengah hening itu, ada satu suara yang menggelegar, bukan karena kerasnya, tetapi karena keberaniannya menantang keabadian: suara lidah yang bercabang dialek.
Lidah-lidah penduduk Kawat adalah jalan setapak yang bercabang tanpa peta. Kata-kata mereka berlari liar, bertabrakan dengan huruf-huruf asing, mencipta kekacauan yang indah seperti lukisan abstrak pada kanvas lusuh. Dialek di desa ini bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah pusaka, pedang yang terhunus, dan penjara sekaligus.
Di antara mereka yang terkurung dalam keruwetan bahasa itu, ada seorang pemuda bernama Ratmaji. Nama yang berat, seperti beban mitos yang dipaksakan ke pundaknya. Ratmaji dikenal dengan lidahnya yang "patah". Ia tidak mampu mengikuti alunan dialek Kawat yang berlekuk-lekuk seperti irama seruling bambu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah lelucon bagi penduduk desa.
"Bagaimana bisa kau berdarah Kawat jika kau tak mampu berbicara seperti tanah ini bernapas?" cibir seorang tetua desa suatu hari, suaranya bergema seperti tembang yang terseret angin.
Ratmaji menunduk, memeluk diamnya. Ia merasa seperti embun yang terperangkap di daun—lembut, rapuh, dan selalu di ambang jatuh.
Namun, Ratmaji punya rahasia. Di malam-malam ketika seluruh desa terlelap, ia melarikan diri ke hutan, menuju sebuah pohon beringin tua yang berdiri seperti penjaga zaman. Di bawah rindangnya, ia berbicara, bukan dengan dialek Kawat, tetapi dengan bahasanya sendiri—bahasa yang ia susun dari mimpi-mimpi dan rindu. Setiap kata yang keluar adalah doa tanpa agama, syair tanpa nada, dan luka tanpa darah.
"Aku tidak ingin menjadi lidahmu, Kawat," bisiknya pada angin. "Aku ingin menjadi suara yang kau simpan dalam sunyi."
Di pagi yang disapu kabut, datanglah seorang perempuan asing ke desa itu. Namanya Laras, dan lidahnya membawa harmoni yang belum pernah didengar oleh telinga Kawat. Kata-katanya adalah embusan angin dari dataran tinggi, lembut tetapi penuh daya, seperti hujan yang menghidupkan tanah kering.
Penduduk desa memandangnya dengan curiga, tetapi juga dengan kekaguman yang enggan mereka akui. Laras berbicara dengan Ratmaji, dan untuk pertama kalinya, pemuda itu merasa seperti mata air yang menemukan alirannya.
"Kata-katamu berbeda," ucap Laras suatu sore, ketika mereka duduk di bawah pohon beringin. "Bukan salah, hanya berbeda."
Ratmaji tersenyum, kecil tetapi penuh arti, seperti bunga liar yang berani mekar di antara bebatuan. Laras mendengarkan dia berbicara, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa lidahnya patah. Ia merasa utuh, seperti hujan pertama yang jatuh di musim kemarau.
Namun, desa Kawat tidak menyukai perbedaan. Bagi mereka, dialek adalah akar yang mengikat mereka pada tanah ini, dan siapa pun yang tidak berbicara dengan cara mereka adalah cabang yang harus dipangkas.
"Kau membiarkan lidah asing itu mencemari desa kita," tuduh seorang lelaki tua kepada Ratmaji. "Apakah kau ingin Kawat kehilangan nadinya?"
Ratmaji tidak menjawab. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa nadinya sendiri telah lama berhenti berdetak karena dialek yang memenjarakan?
Malam itu, Laras berbicara pada penduduk desa. Ia berdiri di tengah lingkaran orang-orang yang wajahnya keras seperti batu kali. Tetapi suaranya tetap lembut, seperti alunan seruling yang menembus hutan.
"Dialek adalah nyanyian tanah," katanya. "Tapi apakah kalian tidak mendengar bahwa setiap tanah punya harmoni yang berbeda? Mengapa kalian memaksa semua lidah bernyanyi dengan cara yang sama?"
Orang-orang terdiam, seperti debu yang terjebak dalam embusan angin. Kata-kata Laras menggema, menghantam dinding-dinding keyakinan mereka yang rapuh. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama.
"Kami tidak butuh harmoni yang berbeda!" seru seorang pria dengan suara seperti guruh. "Kami hanya butuh suara kami sendiri!"
Malam itu, Laras diusir dari desa Kawat. Ratmaji ingin pergi bersamanya, tetapi Laras menggenggam tangannya dengan lembut dan berkata, "Kau adalah suara yang akan mengubah desa ini, bukan aku. Tinggallah, dan bernyanyilah."
Sejak kepergian Laras, Ratmaji menjadi lebih sering berbicara. Ia berbicara di pasar, di sawah, bahkan di depan para tetua desa. Kata-katanya tidak lagi patah, tetapi melodi yang asing, menantang, dan menggugah.
Pada awalnya, orang-orang mencemoohnya, tetapi lama-kelamaan mereka mulai mendengarkan, meskipun dengan enggan. Lidah Ratmaji adalah hujan yang keras kepala, menembus tanah keras yang menolak berubah.
Hingga suatu hari, seorang anak kecil menirukan cara Ratmaji berbicara. Tidak ada cemooh, tidak ada tawa mengejek. Hanya kekaguman polos yang terpancar dari wajah anak itu. Dan saat itulah Ratmaji tahu bahwa ia telah menanam benih di tanah yang telah lama gersang.
Dialek Kawat tidak pernah hilang, tetapi ia mulai bercabang, seperti pohon yang tumbuh lebih tinggi, merangkul angin dari segala arah. Lidah-lidah di desa itu tidak lagi terbelenggu, tetapi menari bebas, menciptakan simfoni baru yang lebih kaya dan indah.
Dan di suatu senja, ketika angin membawa bisikan dari jauh, Ratmaji mendengar suara Laras dalam hatinya: "Aku tahu kau bisa, Ratmaji. Kau adalah nyanyian yang tak pernah selesai."

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...