Di sebuah desa kecil yang terperangkap di antara hutan-hutan tua dan aliran sungai yang gemuruhnya menyerupai bisikan kuno, hiduplah seorang lelaki bernama Arlan. Hidupnya adalah sulaman kesunyian yang tenang, bagaikan permukaan danau di pagi hari sebelum disentuh angin.
Arlan adalah penjaga menara tua, menara yang tak lagi digunakan oleh siapa pun, kecuali oleh waktu yang terus menggerogotinya perlahan. Menara itu berdiri di atas bukit berbatu, dengan pemandangan yang menghamparkan cakrawala. Dari situ, ia dapat menyaksikan pergantian musim yang seolah berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh dirinya seorang.
Namun, ketenangan Arlan bukanlah ketenangan yang datang dari kehampaan. Ia berasal dari kehilangan yang tak pernah selesai. Di masa muda, ia mencintai seorang perempuan bernama Lira, yang kehadirannya seperti sepotong musim semi di tengah badai musim dingin. Lira adalah kekuatan dan kelembutan, api dan air. Namun, seperti bayang yang selalu menghilang ketika dikejar, Lira pun pergi tanpa sempat berpamitan.
Setelah kepergian Lira, Arlan menemukan ketenangan dalam ritme hidup yang sederhana. Setiap pagi, ia mendaki menara dengan sekeranjang buku dan tinta, mencatat angin, langit, dan segala keheningan di antaranya. Ia percaya bahwa dunia berbicara dalam bahasa yang halus, dan tugasnya adalah menjadi pendengar yang setia.
Pada suatu senja, ketika cahaya matahari melukis langit dengan warna keemasan, seorang musafir tiba di menara. Ia adalah perempuan muda dengan sorot mata yang seolah mengenali rahasia dunia. Ia menyebut dirinya sebagai Rana, seorang pencari cerita yang selalu mencari kediaman orang-orang yang hidupnya penuh bisikan misteri.
"Apakah kau penjaga waktu?" tanya Rana saat pertama kali melihat Arlan.
Arlan tersenyum samar. "Aku hanya penjaga menara. Waktu menjaga dirinya sendiri."
Rana tertawa kecil, namun di balik tawanya tersimpan rasa ingin tahu yang dalam. Ia merasa bahwa lelaki ini adalah penjaga sesuatu yang lebih besar daripada sekadar menara tua.
Malam itu, mereka duduk di bawah bintang-bintang, ditemani secangkir teh pahit dan suara jangkrik yang berirama. Arlan mulai bercerita tentang hidupnya, tentang hari-hari yang ia lalui dengan ketenangan yang menjadi tameng dari rasa kehilangan.
"Ada sesuatu yang indah dalam kesunyian," katanya pelan. "Seolah-olah dunia memberi ruang bagi kita untuk mendengar apa yang selama ini tak terdengar."
Rana mengangguk, namun matanya mengerjap penuh keingintahuan. "Tetapi, apakah kesunyian itu adalah teman, atau hanya selubung dari rasa takut?"
Pertanyaan itu menggema dalam hati Arlan seperti lonceng tua yang berdentang di kejauhan. Ia tak punya jawaban. Mungkin karena selama ini ia terlalu nyaman berada di dalam sunyinya, sehingga tak pernah berpikir untuk memahaminya.
Hari demi hari berlalu, dan Rana tetap tinggal di menara itu. Keberadaannya bagaikan aliran sungai yang perlahan mengikis batu-batu kesendirian Arlan. Mereka berbagi cerita, tawa, bahkan diam yang tak lagi terasa sepi.
Namun, di suatu pagi yang berkabut, Rana menemukan sebuah buku tua di sudut menara. Di dalamnya, tersimpan catatan-catatan Arlan tentang Lira. Tentang senyum yang meluruhkan segala ketakutan, tentang bayang yang tak pernah kembali.
"Lira adalah seseorang yang kau biarkan tinggal di dalam waktu, bukan?" tanya Rana, sambil memegang buku itu dengan hati-hati.
Arlan terdiam. Ada sesuatu yang perih dan hangat sekaligus mengalir dalam dadanya. "Dia adalah ketenanganku yang hilang. Dan ketenangan yang kuraih sekarang hanyalah bayangannya."
Rana menatap Arlan dengan kelembutan yang tak terucapkan. "Mungkin, sudah saatnya kau berhenti mencari bayang itu. Biarkan ia menjadi bagian dari langit, dari angin, dari segala yang tak bisa digenggam."
Hari itu, Arlan mendaki menara lebih tinggi dari biasanya. Ia berdiri di puncaknya, memandangi dunia yang tak bertepi. Dalam keheningan yang melingkupinya, ia merasa bahwa untuk pertama kalinya, ia benar-benar mendengar apa yang selama ini dibisikkan waktu.
Senja itu, Rana pergi seperti angin yang berubah arah. Ia meninggalkan secarik kertas di meja kayu, dengan tulisan tangan yang hampir seperti bisikan:
"Ketika kau menemukan ketenangan yang tak terikat pada apa pun, itulah kebebasan sejati."
Arlan membaca tulisan itu berulang kali, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa keheningan yang ia kenal selama ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru.
Menara tua itu tetap berdiri di atas bukit, namun di dalam hatinya, sebuah cahaya mulai menyala. Ketenangan yang ia rasakan kini bukan lagi bayang dari sesuatu yang hilang, melainkan cerminan dari dirinya sendiri.
Dan di balik bayang senja yang tak pernah usai, ia belajar bahwa ketenangan sejati bukanlah tentang melupakan, melainkan tentang menerima.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...