Di antara simfoni angin yang menggerus tebing-tebing waktu, aku berdiri mematung di depan cermin tua. Permukaannya retak, seperti kenangan yang gagal terhapus dari catatan kepala. Cermin itu, saksi bisu dari riwayat sayapku yang patah.Dahulu, aku adalah burung malam yang mencumbu bulan dengan nyanyian sunyi. Langit adalah kanvas yang kulewati tanpa jejak, dan dunia hanyalah bayangan kelabu di bawahku. Namun, segalanya berubah ketika badai pertama datang—angin ganas yang mencabik harapan, meluluhlantakkan kepercayaan diri yang kupintal dari sutra mimpi.
Namanya Aurora. Seperti jingga fajar, ia hadir di hidupku dengan kehangatan yang hampir fana. Ia tidak pernah bertanya dari mana aku berasal, tidak pernah memaksa aku untuk membuka luka yang kubalut dengan malam. Ia hanya ada, seperti bayang-bayang yang setia di bawah cahaya.
"Kamu tahu," ucapnya suatu hari, "langit tidak pernah peduli siapa yang melintas. Entah itu burung dengan sayap sempurna, atau daun yang jatuh terseret angin."
Aku hanya tertawa kecil. Bagaimana mungkin ia memahami? Sayap patah ini bukan sekadar luka. Ia adalah pengingat bahwa aku pernah terbang, namun terhempas.
Waktu berjalan dengan langkah-langkah sunyi, seperti penari di atas panggung gelap. Aku dan Aurora menjadi dua titik dalam orbit yang saling tarik-menarik, namun tidak pernah bertabrakan. Ia membaca puisi dari buku-buku yang sudah lama berdebu, sementara aku mendengarkannya dengan mata yang selalu berlari ke cakrawala.
"Kenapa selalu menatap ke sana?" tanyanya suatu sore, saat langit berwarna tembaga.
"Karena di sanalah aku kehilangan sayapku," jawabku lirih.
Aurora terdiam, seolah kata-kataku adalah angin dingin yang menerpa jemarinya.
"Apa kamu ingin terbang lagi?" Ia menatapku dengan mata yang penuh teka-teki, seperti mencoba membaca buku yang halamannya sudah terhapus separuh.
Aku tidak menjawab. Karena dalam diamku, ada suara-suara yang terus bertanya: Apa artinya terbang jika aku harus mengingat rasa jatuh?
Hari itu datang seperti tamu tak diundang. Sebuah pesan singkat yang membawa kabar bahwa Aurora telah pergi, tanpa jejak, tanpa salam perpisahan. Ia meninggalkan hanya selembar kertas kecil di atas meja:
"Kau adalah burung malam yang melupakan nyanyiannya. Temukan kembali suaramu, maka langit akan menyambutmu dengan tangan terbuka."
Kertas itu seperti duri yang menyelinap ke dalam dadaku. Apa maksudnya? Mengapa ia meninggalkan aku dengan teka-teki, seperti malam tanpa bintang?
Namun, perlahan aku mulai menyadari bahwa kehilangan Aurora bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan yang harus kutempuh.
Aku melangkah ke hutan yang sunyi, tempat di mana ranting-ranting menciptakan simfoni dengan angin. Di sana, aku menemukan sayap-sayap yang lain—mereka yang pernah patah, namun memilih untuk bangkit. Ada burung camar dengan bulu yang koyak, elang dengan paruh yang retak, dan bahkan kupu-kupu dengan sayap yang tak lagi simetris.
Mereka semua terbang, meskipun tertatih.
Aku pun mulai belajar. Bukan untuk melupakan rasa sakit, tetapi untuk menjadikannya bagian dari nyanyianku. Aku melatih sayapku yang compang-camping, menantang angin yang dulu menjadi musuh.
Pada akhirnya, aku mengerti bahwa sayap yang patah tidak pernah benar-benar sembuh. Ia akan selalu membawa bekas, seperti puisi yang tergores di batu nisan waktu. Namun, bukan itu yang penting. Yang penting adalah bagaimana aku memilih untuk terbang, meskipun dengan luka yang masih berdarah.
Dan di suatu senja, ketika angin kembali mengusik, aku terbang lagi—tidak ke langit yang dulu, tetapi ke tempat di mana sayap patah menjadi bagian dari orkestra semesta.
Aurora benar. Aku adalah burung malam yang melupakan nyanyiannya. Namun kini, aku bernyanyi lagi, untuk langit, untuk angin, dan untuk Aurora yang entah di mana.
Di cermin tua itu, aku melihat bayangan diriku—sayapku yang patah kini menjelma menjadi melodi. Setiap retak adalah harmoni, setiap luka adalah nada yang membentuk simfoni kehidupan.
Aku tidak lagi takut pada jatuh, karena aku tahu bahwa terbang bukanlah tentang ketinggian yang kucapai, tetapi tentang keberanian untuk meninggalkan tanah.
Dan malam pun datang, membawa aku kembali ke langit, ke tempat di mana burung malam bernyanyi untuk bintang-bintang

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...