Pada sebuah senja yang merah membara, ketika matahari seolah ragu menanggalkan sinarnya, berdiri seorang lelaki tua di depan sebuah gereja tua. Rambutnya kelabu, tubuhnya ringkih, namun matanya menyimpan kilatan gelisah. Ia menggenggam sebuah rosario yang lusuh, seperti hendak merapal doa yang terlalu berat untuk bibirnya yang gemetar.
Namanya adalah Darma. Di usia senjanya, ia kerap berdiri di sana, memandangi bangunan tua yang usang, dengan hati yang tak pernah menemukan damai. Sepanjang hidupnya, ia berusaha melupakan sesuatu yang terus menghantui. Namun dosa, sebagaimana bayangan, tak pernah benar-benar meninggalkan sang pemilik.
Darma adalah seorang pedagang kaya pada masa mudanya. Ia memiliki segalanya: harta, kekuasaan, dan pengaruh. Namun, di balik wajah ramah dan ucapannya yang santun, ia adalah serigala berbulu domba. Ia hidup dari menipu, memanipulasi, dan mengorbankan orang lain demi ambisinya. Baginya, keberhasilan adalah dewa, dan ia siap menyembahnya dengan segala cara.
Pada suatu malam yang jauh di masa lalu, Darma berdiri di depan sebuah rumah sederhana di desa terpencil. Rumah itu milik seorang lelaki miskin bernama Gatra, seorang petani yang hidup hanya dari ladangnya yang sempit. Gatra adalah seorang yang jujur, terlalu jujur, sehingga ia tak pernah mengerti bagaimana bertahan di dunia yang kejam.
Darma datang dengan senyum lebar dan janji palsu. Ia menawarkan Gatra sebuah "kesempatan emas": ladang luas di tepi sungai, tanah subur yang menjanjikan kemakmuran. Tapi ada syarat: Gatra harus menjual tanahnya sekarang dengan harga murah. Darma berjanji akan mengurus semuanya, memberikan tanah baru, dan membantu Gatra memulai kehidupan baru.
Gatra, yang naif dan percaya pada kebaikan manusia, menyetujui tawaran itu. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan surat-surat tanahnya kepada Darma, tak menyadari bahwa ia baru saja menyerahkan seluruh hidupnya.
Namun, tak ada tanah baru, tak ada ladang subur. Darma menghilang dengan surat-surat itu, menjual tanah Gatra kepada seorang tuan tanah dengan harga tinggi, dan meninggalkan lelaki miskin itu dalam kehancuran. Tak lama setelah itu, Gatra ditemukan mati di ladangnya, tubuhnya kaku dan tangannya menggenggam erat sebatang cangkul, seolah ia ingin menggalikan kuburnya sendiri.
Sejak malam itu, bayangan Gatra tak pernah benar-benar pergi dari benak Darma. Wajah lelaki itu, dengan mata yang penuh kepercayaan, terus menghantui Darma di setiap langkahnya. Namun, ia menutup telinga dari suara hatinya, melanjutkan hidup seolah tak pernah ada yang terjadi.
Tahun demi tahun berlalu. Harta Darma semakin menumpuk, tapi kebahagiaan terasa seperti fatamorgana. Ia menikah, namun pernikahannya hancur. Ia memiliki anak, tapi mereka tumbuh menjauh, menganggapnya sebagai ayah yang dingin dan tak berperasaan.
Pada akhirnya, Darma hanya memiliki dirinya sendiri, serta dosa yang terus menggerogoti jiwanya. Ia mulai bermimpi buruk setiap malam. Dalam mimpi itu, ia selalu berada di sebuah ladang kosong, dikelilingi oleh pohon-pohon kering dan tanah yang retak. Dari kejauhan, ia melihat bayangan Gatra, berdiri memandangnya dengan mata yang tak berkedip.
"Kenapa kau lakukan ini?" suara Gatra bergema, mengguncang langit dalam mimpinya.
Darma selalu terbangun dengan keringat dingin, merasakan tenggorokannya kering seperti pasir. Ia mencoba mencari pelarian—dalam minuman, dalam kesibukan, bahkan dalam agama. Namun, bayangan itu tetap ada.
Pada suatu hari yang muram, Darma memutuskan untuk kembali ke desa tempat semuanya bermula. Ia ingin mencari jawaban, atau mungkin sekadar kelegaan dari beban yang telah ia pikul terlalu lama. Desa itu telah berubah; rumah-rumah sederhana digantikan oleh bangunan beton, dan sawah-sawah yang dulu hijau kini menjadi tanah kering.
Ia menemukan gereja tua di ujung desa, berdiri seperti penjaga yang setia, meski catnya telah mengelupas dan kayunya mulai lapuk. Di sana, ia bertemu dengan seorang pastor tua bernama Pater Agung.
Pater Agung mendengarkan cerita Darma dengan sabar. Mata tuanya menyipit, namun sorotnya penuh pengertian. Ketika Darma selesai bercerita, ada jeda panjang sebelum Pater Agung berbicara.
"Anakku," katanya perlahan, "dosa adalah bayangan yang kita ciptakan sendiri. Semakin kita melarikan diri darinya, semakin besar ia tumbuh. Namun, dosa tidak hanya tentang kesalahan, tetapi tentang perjalanan kembali. Kau tidak akan menemukan damai hingga kau menghadapi bayangan itu, hingga kau meminta maaf, bukan hanya kepada Tuhan, tapi kepada mereka yang kau lukai."
Darma terdiam. Bagaimana ia bisa meminta maaf kepada Gatra yang telah lama mati? Bagaimana ia bisa memperbaiki sesuatu yang telah hancur tanpa sisa?
Malam itu, Darma kembali bermimpi. Ia berada di ladang kosong yang sama, tapi kali ini bayangan Gatra tidak hanya berdiri diam. Ia mendekat, langkahnya berat namun penuh tekad.
"Kau datang untuk apa?" suara Gatra dingin, menusuk seperti pisau.
"Aku... aku ingin meminta maaf," jawab Darma, suaranya bergetar.
"Maaf?" Gatra tertawa, tapi tawanya penuh kepedihan. "Apa artinya maaf bagi orang mati? Apa artinya maaf bagi keluarga yang kelaparan?"
Darma terjatuh di tanah, tangannya gemetar. Ia ingin berbicara, tapi lidahnya terasa kaku. Gatra menatapnya untuk waktu yang terasa seperti keabadian, sebelum akhirnya berkata, "Jika kau ingin menebus dosa, hidupkan kembali apa yang telah kau hancurkan. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan."
Darma terbangun dengan jantung berdegup kencang. Malam itu, ia membuat keputusan: ia akan mengabdikan sisa hidupnya untuk menebus dosa-dosanya.
Darma menjual seluruh hartanya dan kembali ke desa. Ia membeli ladang yang dulu ia curi dari Gatra, lalu mengubahnya menjadi kebun yang subur. Ia mengundang para petani miskin di sekitar desa untuk bekerja di sana, memberikan mereka upah yang layak dan hasil panen yang adil. Ia membangun sebuah rumah sederhana di tengah ladang itu, tempat ia tinggal dan bekerja bersama mereka.
Bagi Darma, itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju penebusan. Ia tahu bahwa ia tak akan pernah benar-benar menghapus dosa masa lalunya, tapi ia percaya bahwa setiap benih yang ia tanam, setiap keringat yang ia teteskan di ladang itu, adalah langkah kecil menuju cahaya.
Pada suatu sore, ketika Darma berdiri di tengah ladang, memandangi tanaman yang mulai berbuah, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: damai. Angin senja berhembus lembut, membawa harum tanah dan dedaunan.
Di kejauhan, seolah dalam bayang-bayang senja, ia melihat sosok Gatra berdiri, memandangnya dengan senyuman tipis. Tidak ada kata-kata, hanya keheningan yang penuh arti. Lalu bayangan itu perlahan memudar, menyatu dengan cahaya matahari yang tenggelam di ufuk barat.
Darma menutup matanya, membiarkan air mata mengalir. Ia tahu bahwa bayangan itu tidak akan benar-benar pergi, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak lagi sendirian.
Dosa, sebagaimana bayangan, mungkin tak pernah benar-benar lenyap. Namun, dalam setiap langkah menuju penebusan, kita menemukan kilasan cahaya yang membimbing kita kembali. Seperti senja yang meredup, selalu ada harapan akan fajar yang baru.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Kısa HikayeAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...