Pada tepian kota, di sebuah gedung tua yang kini tak lebih dari sebuah kerangka zaman, terdapat sebuah panggung yang dahulu bersinar seperti bintang. Lantai kayunya telah retak, tirai beludru merahnya lapuk oleh waktu, namun di tempat itulah seorang penari pernah membiarkan jiwanya melayang, menciptakan keajaiban yang hanya mampu disentuh oleh jiwa-jiwa yang memahami tarian sebagai bahasa hati.Namanya adalah Suri, seorang penari yang tak pernah mencari gemerlap, melainkan keheningan yang melahirkan harmoni. Tubuhnya bergerak bak desiran angin di antara dedaunan, setiap lekuk langkahnya seolah membawa kisah yang tak terkatakan. Namun, malam ini, ia berdiri di hadapan panggung itu untuk terakhir kalinya.
Hening menyelimuti ruangan. Suri memandang ke arah deretan kursi kosong yang pernah menjadi saksi tepuk tangan meriah. Dalam diam, ia membuka sebuah peti kecil yang dibawanya—berisi sepasang sepatu tari yang telah usang. Sepatu itu menghitam pada ujungnya, tetapi baginya, itu adalah saksi bisu dari ribuan langkah yang ia ukir.
"Mereka bilang tarianmu adalah kutukan, Suri," sebuah suara menggema dari kegelapan.
Suri mendongak, mencari asal suara itu. Bayangan seorang pria muncul di antara tirai usang. Rambutnya hitam seperti malam tanpa bulan, dan matanya menyorot tajam, membawa kehadiran yang seolah-olah membekukan waktu.
"Siapa kau?" tanya Suri, suaranya tegas meski tubuhnya bergetar.
"Aku adalah apa yang engkau hindari," jawab pria itu, suaranya bergetar bagai gema di dinding kosong.
Suri mengernyit. "Aku tidak memahami maksudmu."
Pria itu melangkah maju, membiarkan dirinya diterangi oleh cahaya rembulan yang mengintip dari celah jendela. "Kau menari untuk melarikan diri, bukan untuk menemukan dirimu."
Kata-kata itu mengguncang Suri seperti petir di tengah badai. Selama bertahun-tahun, ia menari dengan keyakinan bahwa setiap gerakannya adalah caranya untuk menjelajahi dirinya sendiri, menemukan makna di tengah kekosongan. Namun, ucapan pria itu memaksanya mengingat sesuatu yang telah lama ia pendam.
"Kenapa kau bicara seolah kau tahu segalanya tentangku?" Suri menatap pria itu dengan tajam.
"Aku adalah bayangan yang selalu mengikutimu," pria itu berbisik. "Aku adalah luka yang kau sembunyikan di balik langkah-langkahmu."
Suri terdiam. Wajahnya memucat, seperti mendengar kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk diterima.
"Setiap gerakanmu, setiap pirouette, adalah sebuah doa yang tidak pernah kau panjatkan dengan suara," lanjut pria itu. "Namun, doa itu tak pernah sampai karena kau sendiri tak ingin mendengarnya."
Malam terasa semakin dingin. Suri menutup peti kecil itu dan memeluknya erat, seperti seorang anak yang mencari perlindungan. Ia mengingat masa kecilnya, ketika ia pertama kali mengenal tarian. Ibunya, seorang wanita sederhana yang penuh kasih, pernah berkata bahwa tarian adalah cara terbaik untuk berbicara dengan semesta. Namun, kematian ibunya yang tiba-tiba membuat Suri menari bukan untuk berbicara, melainkan untuk melupakan.
"Aku tidak ingin mendengar ini," Suri berkata dengan suara yang nyaris berbisik.
"Tapi kau harus mendengarnya," pria itu berkata dengan nada yang lebih lembut. "Karena inilah malam terakhirmu berdiri di sini. Jika kau tidak menerima kebenaran malam ini, kau akan kehilangan dirimu sepenuhnya."
Suri berdiri dalam kebisuan. Kata-kata pria itu menyeruak ke dalam hatinya seperti angin dingin yang menusuk. Ia tahu, di lubuk hatinya yang terdalam, ada kebenaran yang tak dapat ia sangkal. Namun, menerima kebenaran itu berarti menghadapi rasa sakit yang selama ini ia hindari.
Dengan tangan gemetar, ia membuka peti itu kembali dan mengenakan sepatu tari yang telah menemaninya melewati ribuan malam. Ia melangkah ke tengah panggung, membiarkan cahaya rembulan menjadi satu-satunya penerangnya.
"Apa yang kau ingin aku lakukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti seorang prajurit yang siap menghadapi pertempuran terakhir.
"Menarilah," jawab pria itu, kali ini dengan kelembutan yang hampir menyerupai doa.
Suri memejamkan mata. Ia menghirup napas panjang, membiarkan udara malam yang dingin memenuhi paru-parunya. Ketika ia mulai bergerak, seluruh ruangan seolah hidup kembali.
Ia menari dengan gerakan yang lembut namun penuh tenaga, setiap langkahnya adalah pengakuan atas luka-luka yang selama ini ia sembunyikan. Ia memutar tubuhnya, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya, seolah membisikkan kata-kata penghiburan.
Setiap gerakannya bercerita tentang kehilangan, kerinduan, dan penerimaan. Ia menari untuk ibunya, untuk dirinya sendiri, dan untuk semua kenangan yang pernah membuatnya merasa hidup.
Pria itu berdiri di sudut panggung, mengamati dengan diam. Tatapannya penuh keharuan, seperti menyaksikan seseorang yang akhirnya menemukan jalannya kembali.
Ketika tarian Suri mencapai puncaknya, air mata mengalir di pipinya. Namun, ia tidak berhenti. Ia terus menari, hingga akhirnya ia terjatuh ke lantai, tubuhnya terkulai dalam kelelahan yang penuh makna.
Pria itu melangkah mendekat, lalu berlutut di hadapannya. "Sekarang kau telah mendengar doamu sendiri," katanya.
Suri membuka matanya perlahan, menatap pria itu dengan pandangan yang penuh kelegaan. "Siapa sebenarnya kau?"
Pria itu tersenyum tipis. "Aku hanyalah pantulan dari dirimu sendiri, bayangan yang selama ini kau abaikan."
Suri memejamkan mata lagi, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya. Ketika ia membuka matanya kembali, pria itu telah menghilang, meninggalkan panggung yang kembali hening.
Sepatu tari di kakinya kini tampak seperti baru, bersinar dalam cahaya rembulan. Suri berdiri, memandang sekelilingnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bebas.
Ia melangkah keluar dari gedung tua itu, meninggalkan panggung yang pernah menjadi saksi dari semua pergulatannya. Di luar, fajar mulai menyingsing, membawa harapan baru. Suri tahu, ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan yang sesungguhnya.
Ia berjalan menuju dunia yang menantinya, membawa serta tarian yang kini bukan lagi pelarian, melainkan sebuah pesan cinta yang ia temukan untuk dirinya sendiri.
Kini sang penari memahami bahwa perjalanan menemukan diri sendiri sering kali membutuhkan keberanian untuk menghadapi bayangan yang kita hindari. Sang penari telah menemukan jiwanya di balik tirai bayang, dan setiap langkahnya menjadi sebuah langkah menuju kebebasan sejati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...