Dunia telah menjelma simfoni yang memabukkan, di mana sang maestro, teknologi, memainkan nada-nada tanpa henti. Tak ada pagi tanpa dering notifikasi, tak ada malam tanpa cahaya layar yang menari di pupil-pupil manusia yang kian kelelahan. Ia bukan lagi sekadar alat, tetapi tuan yang menuntut pengabdian tanpa jeda.
Di kota bernama Auralis, tempat di mana gedung-gedung kaca menjilat langit dan jalanan penuh dengan bayangan sibuk, hidup seorang lelaki bernama Damar. Ia hanyalah seutas benang rapuh dalam tenunan megah sistem, bekerja di balik layar, mengelola kode-kode yang tak dimengerti oleh kebanyakan manusia. Damar adalah arsitek kecil dalam istana besar teknologi yang menopang Auralis.
Namun, di malam-malam sunyi, ketika semua algoritma sudah ia titipkan pada server-server tak berwajah, Damar duduk di pojok kamarnya yang temaram, ditemani kopi yang tak pernah habis dan buku-buku tua yang menguning. Ia merasa ada yang hilang. Bukan pekerjaan, bukan prestasi—tetapi sesuatu yang lebih purba, seperti angin yang lupa berhembus atau sungai yang terhenti alirannya.
"Apa yang telah kita bangun, sebenarnya?" tanya Damar pada dirinya sendiri, kata-katanya tenggelam dalam dengung AC dan desing kipas komputer. Ia tahu jawabannya, tetapi terlalu takut untuk mengucapkannya.
Suatu hari, di balik layar kantornya yang penuh dengan grafik dan tabel, Damar menerima undangan untuk menghadiri sebuah seminar bertajuk "Evolusi Teknologi dan Kehidupan Manusia." Ia tersenyum kecut membaca judul itu. Evolusi? Kehidupan? Seperti dua sisi mata uang yang tak pernah benar-benar bertemu.
Seminar itu diadakan di sebuah aula besar dengan lampu-lampu neon yang menyilaukan. Seorang pembicara muda dengan suara lantang berbicara tentang masa depan di mana teknologi akan menjadi "kesadaran baru" umat manusia. "Kita sedang menuju singularitas," katanya, matanya menyala seperti obor yang tak pernah padam. "Saat itulah mesin dan manusia bersatu, dan batas antara keduanya lenyap."
Damar hanya duduk diam di kursinya, seperti daun kering yang tersangkut di pinggir arus deras. Namun, dalam hatinya, badai kecil mulai menggulung. Ia teringat pada malam-malam ketika ia memandang bintang, sesuatu yang kini tak lagi bisa ia lihat karena polusi cahaya kota. Ia teringat pada suara jangkrik, pada embusan angin yang membawa wangi tanah basah. Semua itu terasa jauh, seperti mimpi yang pernah ia alami di kehidupan lain.
Sepulang dari seminar, Damar tak langsung menuju apartemennya. Ia berjalan tanpa tujuan di tengah kota yang gemerlap, di mana layar-layar raksasa memajang iklan dan berita tanpa henti. Wajah-wajah manusia yang berlalu-lalang di sekitarnya tampak kosong, seperti boneka yang digerakkan tali tak kasatmata.
Tiba-tiba, ia merasa ada yang mengikutinya. Bukan manusia, tetapi sesuatu yang lebih halus, lebih sunyi. Ia menoleh, namun hanya ada pantulan dirinya di kaca jendela toko elektronik. Dalam pantulan itu, ia melihat matanya sendiri yang lelah, tetapi ada sesuatu di belakangnya, bayangan samar yang berbentuk seperti rangkaian kabel.
Ia teringat akan kisah lama tentang makhluk mitologi yang menjelma dari dosa manusia—tetapi kali ini, dosa itu berbentuk kode biner dan chip silikon.
Seminggu setelah malam itu, Damar mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Setiap klik, setiap swipe di layar ponselnya terasa seperti rantai yang semakin mengikatnya. Ia merasa bahwa mesin-mesin di sekelilingnya tak lagi hanya melayani, tetapi mengamati, mencatat, bahkan mungkin memutuskan nasibnya.
Puncaknya terjadi ketika ia mencoba untuk keluar dari jaringan sosial yang selama ini mengikatnya. Ia ingin memutus akun-akun media sosialnya, berhenti dari riuh rendah kehidupan digital yang penuh dengan ilusi. Namun, setiap kali ia menghapus satu akun, muncul tiga notifikasi baru yang memintanya untuk kembali.
"Apakah aku masih manusia, atau hanya sekumpulan data dalam server entah di mana?" gumamnya.
Damar akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan kota Auralis. Ia ingin mencari tempat di mana ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri tanpa terganggu oleh suara teknologi. Ia menjual semua barangnya, meninggalkan apartemen, dan pergi ke sebuah desa kecil di kaki gunung.
Namun, bahkan di sana, jejak teknologi tetap ada. Antena-antena kecil mencuat di antara atap rumah-rumah tua, dan anak-anak bermain dengan gawai di pinggir sawah. Damar merasa putus asa. Ia duduk di tepi sungai, memandangi aliran air yang jernih, dan bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah kebuasan ini telah menelan seluruh dunia?"
Di tengah keputusasaannya, Damar bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Pak Raji, penjaga hutan setempat. Pak Raji adalah salah satu dari sedikit orang yang hidup tanpa teknologi. Ia mengandalkan alam untuk segala kebutuhannya dan memahami bahasa burung, angin, dan pohon.
Damar merasa iri sekaligus kagum pada kesederhanaan hidup Pak Raji. "Bagaimana kau bisa hidup tanpa mesin?" tanya Damar suatu hari.
Pak Raji tersenyum, kerut di wajahnya tampak seperti peta yang menggambarkan perjalanan panjang kehidupan. "Mesin tidak jahat, Nak," katanya. "Yang jahat adalah kita yang lupa bagaimana menjadi manusia."
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hati Damar. Ia menyadari bahwa teknologi bukanlah musuh; ia hanyalah cermin yang memperbesar kebuasan yang sudah ada dalam diri manusia.
Setelah beberapa bulan tinggal di desa, Damar memutuskan untuk kembali ke Auralis, tetapi bukan untuk menjadi budak mesin lagi. Ia ingin mengubah cara orang memandang teknologi. Ia mulai mengembangkan program-program kecil yang membantu manusia terhubung kembali dengan alam dan dengan satu sama lain, tanpa kehilangan kendali atas kehidupan mereka.
Damar tahu, melawan kebuasan teknologi bukan berarti menghancurkannya, tetapi menjinakkannya, mengubahnya dari tuan menjadi pelayan.
Di tengah kota yang gemerlap itu, ia menanam benih kecil kesadaran, berharap suatu hari nanti, simfoni sang mesin akan berganti nada, menjadi irama yang berpadu harmoni dengan detak hati manusia dan bisikan alam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
PovídkyAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...