Di bawah kubah langit yang muram, di sebuah lembah terpencil yang tak pernah dijamah manusia, hiduplah sebatang pohon tua. Pohon itu tidak seperti pohon-pohon lain yang meranggas atau mekar mengikuti musim. Ia diam, namun tidak sepenuhnya bisu. Ranting-rantingnya yang melingkar seperti gulungan ular purba mengeluarkan suara samar setiap kali angin menyelinap. Suara itu, seperti bisikan rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa-jiwa yang tersesat.
Pohon itu bernama Askar. Begitulah ia menamai dirinya sendiri, sebab tak ada makhluk lain yang peduli untuk memberi nama pada sesuatu yang abadi.
Askar telah berdiri di sana sejak dunia belum mengenal peradaban. Akarnya menjalar dalam-dalam, menembus lapisan tanah yang menyimpan ribuan kenangan yang tak terucapkan. Setiap butir tanah menyimpan nyawa, setiap akar adalah peta menuju cerita lama yang terlupakan.
Tetapi Askar, meski berakar kokoh, tidak pernah benar-benar merasa utuh. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak ia mengerti. Angin yang bertiup sering membisikkan kepadanya dongeng tentang langit di atas, tentang burung-burung yang melayang bebas, dan tentang hujan yang membawa aroma kehidupan. Tetapi semua itu adalah cerita yang hanya bisa ia dengar, bukan rasakan.
"Aku ingin tahu bagaimana rasanya terbang," bisiknya suatu kali kepada angin.
Angin hanya tertawa, menerbangkan dedaunan mati dari ranting-rantingnya. "Kau milik bumi, Askar. Terbang hanya untuk mereka yang melawan gravitasi."
Namun, di dasar hati kayunya, Askar tetap bermimpi.
Pada suatu pagi yang kelabu, ketika kabut menyelimuti lembah seperti selimut rahasia, seorang musafir datang. Ia bukan manusia, tetapi seekor burung hantu tua dengan bulu-bulu kelabu yang tampak seperti awan mendung yang lelah. Matanya kuning seperti sinar bulan, penuh kebijaksanaan yang tak tergambarkan.
Burung itu hinggap di salah satu cabang Askar dan berkata, "Aku mendengar suaramu, pohon tua. Kau ingin terbang?"
Askar terkejut. Selama ini ia berpikir mimpinya hanya gema dalam sunyi. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku adalah penjaga langit malam. Aku tahu banyak hal yang disembunyikan dunia ini," jawab burung itu sambil membersihkan bulunya. "Tetapi aku datang bukan untuk memberimu sayap. Aku datang untuk menawarkan pilihan."
"Pilihan?"
"Kau bisa tetap di sini, menjadi saksi bisu dunia yang terus berubah. Atau kau bisa membakar akarmu sendiri dan menjadi abu yang diterbangkan angin."
Askar terdiam. Pilihan itu seperti pedang bermata dua. Ia mencintai akarnya, setiap serat yang menghubungkannya dengan tanah. Tetapi mimpi tentang kebebasan menari di antara angin begitu menggoda.
"Aku akan memberimu waktu untuk berpikir," kata burung itu sebelum mengepakkan sayapnya dan menghilang dalam kabut.
Hari-hari berlalu, dan Askar semakin larut dalam pikirannya. Ia mulai merasakan keheningan sebagai beban, bukan kedamaian. Setiap angin yang berhembus seolah mengingatkan bahwa ia hanya sebuah pohon yang diam. Setiap tetes hujan yang jatuh pada daunnya membawa pesan tentang perjalanan jauh yang tak pernah bisa ia lakukan.
"Apakah aku hanya akan menjadi penonton?" tanyanya kepada bintang-bintang yang muncul malu-malu di balik awan.
Tetapi bintang-bintang tidak menjawab. Mereka terlalu jauh, terlalu sibuk bersinar untuk mendengar keluh kesah pohon yang tidak bergerak.
Dalam sunyi itu, Askar menemukan keputusan. Jika hidup adalah menunggu, maka ia lebih baik memilih untuk menjadi sesuatu yang bergerak, meski hanya sekali.
Pada malam yang gelap, tanpa bulan atau bintang, burung hantu kembali. "Kau sudah memutuskan?" tanyanya.
"Ya," jawab Askar. "Aku ingin terbang, meski hanya sekali. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari angin."
Burung itu menatapnya dengan mata yang penuh iba. "Maka bersiaplah. Ini akan menjadi akhir sekaligus awal."
Dengan paruhnya yang tajam, burung itu mematuk salah satu cabang Askar. Sebuah percikan api muncul, kecil namun ganas, seperti ular api yang lapar. Percikan itu menjalar ke seluruh tubuh Askar, membakar kulit kayunya yang keras dan akar-akarnya yang selama ini ia cintai.
Nyeri itu tak terlukiskan, tetapi di dalam api itu, Askar merasa ringan. Ia bisa merasakan tubuhnya yang berubah menjadi abu, diterbangkan oleh angin ke segala arah. Setiap serpihan abunya adalah mimpi yang terwujud, perjalanan yang akhirnya ia lakukan.
Askar kini adalah bagian dari dunia yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita. Ia menyusuri lembah-lembah, melintasi samudra, dan mendaki gunung. Ia menjadi debu yang menyatu dengan udara, menjadi bagian dari segalanya.
Tetapi, dalam kebebasan itu, ia juga menyadari sesuatu. Ia merindukan akarnya. Ia merindukan rasa kokoh dan aman yang hanya bisa diberikan oleh tanah.
Ketika akhirnya abunya mendarat di suatu tempat, ia tidak lagi hanya debu yang beterbangan. Ia menjadi benih, kecil dan tak berarti, tetapi penuh potensi.
Dan di tempat itu, Askar mulai tumbuh kembali. Ia bukan lagi pohon tua yang terkekang oleh akarnya sendiri. Ia adalah pohon baru, dengan mimpi yang telah terwujud, dan dengan akar yang masih menari di antara kenangan serta harapan.
Hingga suatu hari, angin berbisik kepada pohon muda itu, "Apa kau ingin terbang lagi?"
Askar tersenyum dalam diam, mengetahui bahwa hidup adalah siklus dari memilih dan merindukan. Dan di bawah langit berkabut, ia menunggu, tidak lagi sebagai saksi bisu, tetapi sebagai penjaga mimpi yang abadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...