Kau lihat itu? Barisan pohon cemara yang hijau laksana sepasukan tentara negeri ini? Kau bahkan tak sempat merasakan indahnya gunung yang penuh misteri saat ia memperlihatkan kebolehannya menusuk awan kumulonimbus yang perkasa itu, tak dapat menikmati gemerecik aliran anak sungai tenang itu. Kau memang pengecut. Kau lari sebelum kita mulai berperang. Kau meninggalkanku bersama pena dan carik ini sebagai senjata. Ingin sekali aku memberi tahumu kalau medan perang yang kau janjikan tak seburuk itu. Paradise!. Tempat ini lebih mirip surga dari pada sebuah medan perang seperti ceritamu.
"Assalamualaikum ukhti...," Begitulah lawanku menyapa menghentikan langkahnya, badan yang setengah membungkuk, lantas tersenyum menunjukkan pipit di pipinya.
"Waalaikumsalam ukhti..." Tentu saja kujawab ia dengan cara yang sama.
Tapi terimakasih. Berkatmu, sekarang aku sadar. Jika bukan karena kau, tak mungkin aku bisa mengenal sebuah tempat yang mungkin baru saja tercatat di peta tahun-tahun belakangan ini karena eksistensi penghuninya. Tentu saja tempat itu adalah tempat yang biasa kau sebut medan perang. Dikelilingi oleh koloni ratusan pinus, diatas anak Sungai Nagasari, dan tepatnya di kaki Gunung Welirang. Hebat! Siapa yang tahu kalau ada tempat tersembunyi seperti ini.
"Akan kemana kau setelah ini?,"
Aku masih ingat pertanyaan itu. Siang hari saat surya menjilat bumi dengan teriknya. Ah, beruntung baling-baling di pojok kamarku itu berputar menghasilkan angin yang segera mengeringkan keringatku setelah berlarian bersama kawan-kawan. Siang itupun aku teringat untuk mengangkat telponmu, sesuai dengan apa yang kau pesankan pagi tadi. Aku tidak tahu kalau kau akan menanyakan hal itu sebagai awal dari topik pembicaraan kita di telpon.
"Entahlah, mungkin aku akan ke SMPN XXX. Sama seperti kakakku. Kau tahukan aku sangat mencintai pramuka. Kali ini aku akan benar-," Asal saja aku menjawabnya.
"Kau tidak mau ikut denganku?,"
Pertanyaan macam apa lagi itu? Ah, dia selalu membuatku berpikir. Siapa dia? Selalu saja ingin mengatur hidupku. Mau apa pula dia menawarkan agar aku ikut dengannya. Tapi jujur saja, untuk seukuran gadis yang selalu pesimis sepertiku, tentu saja aku akan mempertimbangkan tawarannya. Karena bagaimanapun aku merasa kalau aku lebih terbuka kepada sahabat laki-lakiku satu ini. Tak ada yang mengenal kepribadian burukku yang terlalu berambisi, lebih baik darinya. Begitu pula aku. Tidak ada yang mengenal keegoisannya lebih baik dari pada aku.
Dialah Ibrahim Jabbar Mukhtar, sahabat laki-laki yang berhasil menyadarkanku betapa bodohnya penilaianku selama ini terhadap kepercayaanku sendiri.
"Aku belum pernah berfikir untuk menginjak dunia pesantren Rot," Begitulah jawabanku pada Ibra yang biasa aku panggil Jarot, setelah ia mengatakan kalau ia akan pergi ke sebuah pondok pesantren. Medan perang yang selanjutnya.
Benar-benar menyebalkan, ia sama sekali tak ingin mencari lawan yang lain. Ia selalu berambisi untuk mengalahkanku. Padahal, selama delapan tahun dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar, ia tak pernah naik ke rangking tiga besar untuk mengalahkanku si rangking satu.
"Lagi nelpon sama siapa nak?,"
Terpaksa telpon itu kuputus tanpa berpamitan pada Ibra. Tanpa kujelaskan, Ibra juga paham setelah mendengar suara ayahku. Ya, inilah keluargaku yang penuh dengan aturan-aturan tanpa penjelasan sedikitpun.
***
"Kau tidak lihat kemarin ayah menegurku karna menelponmu? Bisa apa aku? Hanya alasan bahwa kita bekerja sama dalam pengurus kelas yang terpikirkan saat itu," Begitulah aku mengomel di hadapan Ibra yang hanya bisa mendengarkan menikmati mi instannya.
"Aku heran denganmu Hana,"Akunya menghentikan aktivitas makannya. "Kau ini dari golongan priyai, Kakekmu itu kyai yang cukul terkenal di desa kita bahkan desa-desa tetangga. Kenapa kau tak ingin mengenal agamu lebih dalam lagi?,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Cerita PendekAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...