Di suatu sudut dunia yang tak terjangkau oleh nalar manusia, tersembunyi sebuah negeri bernama Alathéa. Negeri itu adalah rumah para faerie, makhluk cahaya yang hidup di antara dedaunan berkilau dan embun yang bercahaya bagai berlian. Setiap senja, mereka akan berkumpul di padang luas bernama Aerion, tempat bunga-bunga abadi bermekaran tanpa mengenal musim.
Di tengah kerumunan faerie, ada seorang gadis bernama Sylvara. Ia tidak seperti faerie lain yang bersinar penuh warna; cahayanya redup, seperti nyala lilin yang terancam padam oleh angin. Sayapnya tidak gemerlap, hanya selaput tipis yang nyaris tak terlihat. Sylvara selalu duduk di tepi Aerion, menonton tarian senja dengan mata yang sendu.
Malam itu, seperti biasa, Sylvara duduk sendirian di atas batu kecil yang dingin. Faerie lain melayang-layang, menari di udara dengan cahaya yang membentuk pola indah, sementara suara nyanyian mereka menggetarkan daun-daun. Ia meremas-remas ujung gaunnya, merasa kecil di tengah kilauan gemilang.
"Apa yang kau pikirkan, wahai Sylvara?"
Suara lembut itu datang dari belakangnya. Sylvara menoleh dan mendapati Aelith, pemimpin faerie, berdiri dengan anggun. Rambut Aelith seperti benang perak yang berkilau di bawah cahaya rembulan. Ia memandang Sylvara dengan senyum penuh kasih, tetapi matanya menyiratkan keingintahuan yang dalam.
"Aku hanya... berpikir, Aelith," jawab Sylvara dengan suara kecil.
"Memikirkan apa?"
"Mengapa aku berbeda?"
Aelith menghela napas dan duduk di sampingnya. Ia menatap langit senja yang berwarna merah keemasan. "Setiap faerie memiliki cahayanya sendiri, Sylvara. Tidak ada dua faerie yang sama."
"Tapi cahayaku tak seindah mereka," Sylvara berkata, menunjuk pada faerie lain yang tengah menari. "Aku tak bercahaya. Aku hanya bayangan di antara mereka."
Aelith tersenyum tipis. "Cahaya bukanlah satu-satunya yang membuat faerie istimewa. Kadang, justru dalam kegelapanlah kita menemukan makna sejati dari keberadaan kita."
Sylvara mengernyit, tidak sepenuhnya memahami kata-kata Aelith. Tetapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Aelith telah berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan Sylvara sendiri dalam kebingungannya.
Malam itu, ketika semua faerie tertidur, Sylvara berjalan menjauh dari Aerion. Ia melangkah ke hutan tua yang tak pernah dimasuki faerie lain. Konon, hutan itu adalah tempat tinggal makhluk-makhluk yang telah dilupakan, bayangan yang pernah ada tetapi tak lagi diingat.
Sylvara menembus kabut yang pekat, dan setiap langkahnya membawa suara gemerisik dedaunan kering di bawah kakinya. Pohon-pohon tua berdiri seperti penjaga bisu, dengan akar-akar yang menjulur seperti cakar. Di tengah kegelapan, Sylvara mendengar bisikan lembut, seperti suara angin yang berbisik di telinganya.
"Siapa yang datang ke tempat ini?"
Sylvara tertegun. Suara itu dingin, tetapi anehnya tidak menakutkan. Ia mencoba mencari asal suara, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan.
"Aku... Sylvara," ia menjawab, suaranya gemetar. "Aku datang untuk mencari jawaban."
"Jawaban tentang apa?"
"Mengapa aku berbeda dari yang lain."
Bayangan itu mendekat, membentuk wujud yang samar-seorang wanita dengan mata yang berkilauan seperti bintang, tetapi tubuhnya seperti kabut. Ia mengamati Sylvara dengan penuh minat.
"Perbedaan bukanlah sebuah kutukan," kata wanita itu. "Kadang, perbedaan adalah kekuatan yang tersembunyi."
"Tapi aku tak punya apa-apa. Aku bahkan tidak bersinar seperti mereka."
Wanita itu tersenyum, sebuah senyuman yang terasa menusuk jiwa. "Cahaya adalah anugerah, tetapi bayangan adalah kekuatan. Kau hanya belum menemukannya."
Sebelum Sylvara sempat bertanya lebih jauh, wanita itu mengulurkan tangannya. Dari telapak tangannya, muncul sebuah batu kecil berwarna hitam, berkilau samar seperti obsidian.
"Ambillah ini, dan temukan dirimu," katanya.
Sylvara ragu-ragu, tetapi ia akhirnya mengambil batu itu. Saat batu itu menyentuh tangannya, ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya, seperti aliran air yang menyegarkan. Wanita itu menghilang bersama angin malam, meninggalkan Sylvara sendiri dalam kegelapan.
Saat ia kembali ke Aerion, malam telah berganti menjadi fajar. Sylvara menyembunyikan batu itu di balik gaunnya, merasa bahwa ia belum siap untuk berbicara kepada siapa pun tentang apa yang telah terjadi.
Hari-hari berlalu, dan Sylvara mulai menyadari sesuatu yang aneh. Cahaya redupnya tidak lagi tampak biasa. Ada kilauan kecil di sana, tetapi bukan kilauan cerah seperti faerie lainnya-kilauan itu seperti bintang yang bersinar di tengah malam pekat. Ia juga mulai mendengar bisikan angin, dan setiap kali ia menutup matanya, ia bisa merasakan denyut kehidupan di sekitarnya: pohon, rumput, bahkan tanah di bawah kakinya.
Ketika senja tiba, Aelith memanggil semua faerie ke Aerion. "Kita akan menyambut malam perayaan purnama," katanya dengan suara yang menggelegar tetapi lembut.
Semua faerie mulai menari, tetapi malam itu, sesuatu yang tak biasa terjadi. Langit tiba-tiba menjadi gelap, dan awan hitam menutupi bulan. Angin bertiup kencang, membawa suara gemuruh yang menyeramkan.
Dari kegelapan, muncul bayangan besar-makhluk hitam dengan mata merah menyala. Faerie-faerie berteriak dan melarikan diri, tetapi Aelith berdiri di depan mereka, mencoba melindungi dengan cahaya peraknya.
Namun, cahaya itu tidak cukup kuat untuk mengusir bayangan itu. Makhluk hitam itu mendekat, menggeram dengan suara yang membuat bumi bergetar. Aelith mulai goyah, dan faerie-faerie lainnya hanya bisa menonton dengan ketakutan.
Sylvara, yang berdiri di tepi kerumunan, merasakan sesuatu membakar di dalam dirinya. Ia meraih batu hitam itu, yang kini berkilau lebih terang dari sebelumnya.
Dengan keberanian yang tak pernah ia sadari, Sylvara melangkah maju. Ia mengangkat batu itu ke udara, dan dari dalamnya, muncul cahaya hitam yang aneh, tetapi indah. Cahaya itu melingkari Sylvara, membentuk perisai yang berkilauan seperti malam penuh bintang.
Makhluk hitam itu menghentikan langkahnya, tampak bingung. Sylvara melangkah lebih dekat, dan dengan suara yang tenang tetapi penuh kekuatan, ia berkata, "Pergilah. Tempat ini bukan milikmu."
Bayangan itu menggeram, tetapi akhirnya mundur, lenyap ke dalam kegelapan.
Ketika semuanya kembali tenang, faerie-faerie menatap Sylvara dengan takjub. Aelith mendekatinya, matanya penuh dengan rasa syukur dan kebanggaan.
"Kini kau tahu, Sylvara," katanya. "Cahayamu memang berbeda, tetapi justru itu yang membuatmu istimewa."
Sylvara tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu menjadi seperti faerie lain. Cahaya dalam dirinya, meskipun gelap, adalah cahaya yang menyelamatkan.
Malam itu, ketika tarian senja berakhir, Sylvara tidak lagi duduk di tepi padang Aerion. Ia berada di tengah-tengah mereka, menari dengan cahaya malamnya, menjadi bagian dari harmoni yang indah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...