Langit senja itu bagai kanvas tua yang koyak. Sebuah garis lembayung menebas cakrawala, merobeknya menjadi dua bagian—seperti luka yang tak kunjung sembuh, menganga di antara lapisan gelap dan terang. Kilat itu hadir tanpa peringatan, melesat di angkasa, lalu lenyap seperti hantu yang takut ketahuan.
Di bawahnya, di sebuah lembah sunyi yang dikepung bukit-bukit sepi, seorang pemuda berdiri. Namanya Aditya, seorang pelukis yang telah lama kehilangan warna. Matanya menatap kilatan itu dengan kekaguman yang ganjil—bukan pada keindahannya, tetapi pada ironi yang dibawanya. Kilat lembayung itu adalah perwujudan sesuatu yang tak bisa ia sentuh: keindahan yang hidup hanya dalam sekejap, sebelum dilahap oleh kegelapan.
Aditya menghela napas, berat seperti langit yang hendak runtuh. Di tangannya tergenggam sebuah kuas, namun kanvas di hadapannya masih kosong. Tak ada warna yang ingin ia tumpahkan. Semua paletnya terasa hampa, seperti dirinya. Sudah berbulan-bulan ia mencoba melukis senja itu, mencoba menangkap kilatan lembayung yang menghantui mimpi-mimpinya, namun setiap kali ia mendekati kanvas, ia justru menjauh dari kebenaran.
"Kenapa kau diam?" suara seorang perempuan tiba-tiba muncul dari belakangnya.
Aditya menoleh. Itu Sura, perempuan yang selalu datang tanpa diminta. Wajahnya pucat seperti bulan purnama, dan matanya membawa tatapan yang seolah tahu segala rahasia yang tersembunyi dalam hati manusia. Namun, Sura bukan hanya teman. Ia lebih dari itu—ia adalah cerminan dari luka terdalam Aditya, bayangan yang selalu hadir di tepi kesadarannya.
"Kilat itu... selalu seperti itu," jawab Aditya, suaranya penuh kelelahan. "Begitu indah, tapi begitu cepat. Aku tidak tahu bagaimana menangkapnya."
"Tidak semua keindahan harus ditangkap," balas Sura, mendekat. "Beberapa keindahan diciptakan untuk hilang. Mungkin itu tugasnya, untuk menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa memiliki segalanya."
Aditya mengerutkan kening. "Tapi aku seorang pelukis. Jika aku tidak bisa menangkap sesuatu yang indah, apa gunanya aku melukis?"
Sura tertawa kecil, suaranya seperti lonceng angin yang bergetar di tengah malam. "Aditya, kau salah. Melukis bukan tentang menangkap keindahan. Melukis adalah tentang menciptakan jiwa dari kehampaan. Kau takut pada kehampaan itu, dan itulah sebabnya kau berhenti."
Aditya terdiam. Kata-kata Sura menusuknya seperti duri yang tersembunyi di balik kelopak mawar. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu kebenarannya.
Malam datang perlahan, seperti tirai yang diturunkan di panggung kehidupan. Kilat lembayung itu sudah lama menghilang, namun bayangannya masih tertinggal di benak Aditya. Ia duduk di bawah pohon tua, memandangi bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit.
Sura duduk di sampingnya, membawa sebuah lilin kecil yang ia nyalakan tanpa berkata-kata. Nyala api itu menari, seolah mencoba meniru kilatan lembayung yang tadi melintasi langit.
"Kilat itu," kata Sura tiba-tiba, "bukankah seperti kenangan? Ia datang tanpa peringatan, menerangi kegelapan, tapi kemudian pergi, meninggalkan kehampaan yang lebih dalam."
Aditya mengangguk pelan. "Tapi kenangan juga bisa menyiksa. Seperti luka yang terus kau ingat, meski kau tahu ia tak akan sembuh."
Sura menatap Aditya dengan pandangan lembut. "Kau tidak harus menyembuhkannya. Beberapa luka diciptakan untuk dijaga, bukan disembuhkan. Mereka adalah bagian dari siapa dirimu."
Aditya memejamkan mata, membiarkan kata-kata itu meresap. Ia ingat hari itu, hari di mana ia kehilangan alasan untuk melukis. Senja yang sama, dengan kilat lembayung yang sama, namun kali itu ia tidak sendirian. Ada seseorang di sisinya—seseorang yang kini hanya hidup dalam bayang-bayang kenangan.
Namanya Lintang, perempuan yang membawa warna ke dalam hidup Aditya. Dialah yang pertama kali menunjukkan kilat lembayung itu padanya, menyebutnya sebagai "tanda bahwa langit juga bisa merasa." Tapi Lintang telah pergi, lenyap bersama senja, meninggalkan Aditya terperangkap dalam kehampaan.
Pagi itu, Aditya kembali ke kanvasnya. Udara dingin membekukan jemarinya, namun ia tetap menggenggam kuas. Di sekelilingnya, dunia terasa hening, seperti bernapas dalam ritme yang sama dengannya.
Ia menatap kanvas kosong itu, mencoba mengingat kilat lembayung yang ia lihat semalam. Tapi sesuatu berbeda kali ini. Alih-alih mencoba menangkap warna, ia membiarkan perasaannya mengalir. Kuasnya menari di atas kanvas, menciptakan garis-garis yang tidak sempurna, namun penuh dengan jiwa.
Warna lembayung itu akhirnya muncul, bukan sebagai tiruan dari kilat, tetapi sebagai cerminan dari luka yang ia simpan. Ada goresan tajam yang menunjukkan rasa kehilangan, ada guratan lembut yang mencerminkan kerinduan. Aditya tidak lagi mencoba melukis kilat itu; ia melukis apa yang ditinggalkannya di dalam hatinya.
Sura, yang berdiri di dekatnya, tersenyum samar. "Lihat? Kau akhirnya mengerti."
Aditya menatap hasil karyanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa damai. Kilat lembayung itu mungkin hanya hadir sekejap, namun ia telah meninggalkan sesuatu yang abadi—sebuah kisah yang tertulis dalam setiap goresan kuas.
"Terima kasih, Sura," bisiknya pelan.
Sura tersenyum, namun kali ini ada kesedihan dalam tatapannya. "Sudah saatnya aku pergi."
Aditya menoleh, terkejut. "Apa maksudmu?"
"Aku hanyalah bayangan dari luka yang kau simpan," jawab Sura. "Sekarang kau telah menemukan caramu, aku tidak dibutuhkan lagi."
Dan seperti kilat lembayung itu, Sura menghilang, meninggalkan Aditya dengan keheningan yang penuh makna.
Namun, kepergian Sura bukanlah akhir. Ia adalah awal dari perjalanan baru, sebuah perjalanan di mana Aditya tidak lagi melukis untuk menangkap keindahan, tetapi untuk menciptakan jiwa dari kehampaan. Kilat lembayung itu mungkin hanya sekejap, tetapi cahayanya akan hidup selamanya di dalam karya-karyanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...