Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi bukit dan ladang jagung, hiduplah seorang gadis kecil bernama Lila. Usianya delapan tahun, tetapi pikirannya sering melampaui umurnya. Orang-orang desa memandangnya dengan heran karena ia jarang bermain dengan anak-anak lain. Sebaliknya, Lila lebih sering menghabiskan waktu di bengkel ayahnya, mengamati jemarinya yang kasar mengukir kayu.
Ayah Lila, Pak Hasan, dikenal sebagai pengrajin boneka terbaik di desa itu. Boneka-boneka buatannya, meskipun sederhana, memiliki daya tarik misterius. Orang-orang berkata boneka itu seperti memiliki jiwa—mereka seolah dapat tersenyum, menangis, bahkan berbicara jika diperhatikan lama-lama. Tapi, ada satu boneka yang tak pernah dijual Pak Hasan: sebuah boneka laki-laki setinggi lutut orang dewasa, dengan rambut hitam pekat dari benang wol, mata bundar hitam mengilap, dan bibir yang sedikit melengkung seperti tengah menyimpan rahasia.
Boneka itu selalu duduk di kursi kayu di sudut bengkel. Ayah Lila menyebutnya "Boneka Ayah."
Hari itu, Lila mendapati ayahnya sedang menatap boneka itu dengan sorot mata yang aneh. Cahaya lampu minyak di bengkel memperlihatkan garis-garis wajah Pak Hasan yang kian menua.
"Kenapa Ayah sering memandanginya?" tanya Lila polos.
Pak Hasan tersenyum samar. "Boneka ini istimewa, Lila. Dia menyimpan kenangan yang tidak bisa Ayah lepaskan."
Lila memiringkan kepalanya. "Kenangan apa?"
Pak Hasan menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pandangannya dari boneka itu. "Mungkin suatu hari nanti kamu akan mengerti."
Malam itu, Lila tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan boneka itu. Apa yang membuatnya begitu istimewa hingga ayahnya tak pernah menjualnya? Penasaran, ia menyelinap ke bengkel. Dalam gelap, hanya dengan bantuan senter kecil, ia mendekati boneka itu.
Wajah boneka itu tampak hidup dalam keremangan. Lila merasa seakan-akan mata boneka itu menatap balik ke arahnya. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, seperti angin yang bertiup terlalu kencang di malam yang sunyi. Namun, rasa takut itu kalah oleh rasa ingin tahunya. Ia menyentuh wajah kayu boneka itu, kasar tetapi hangat, seperti kulit manusia.
Tiba-tiba, Lila mendengar suara lembut, hampir seperti bisikan. "Lila..."
Ia terperanjat, menarik tangannya. "Siapa itu?" gumamnya, suaranya bergetar.
Boneka itu tidak bergerak, tapi Lila merasa suara itu berasal darinya. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. "Aku ingin bercerita..."
Lila ingin lari, tetapi kakinya seperti terpaku di lantai. Rasa takutnya bercampur dengan rasa penasaran yang membakar. Akhirnya, ia bertanya dengan suara pelan, "Cerita apa?"
Boneka itu mulai berbicara, namun bukan dengan mulutnya. Suaranya seperti muncul dari udara, memenuhi kepala Lila. Ia menceritakan kisah seorang pemuda bernama Hasan—ayah Lila sendiri—yang dulunya adalah seorang pemahat boneka keliling. Hasan muda penuh ambisi, tetapi hidupnya keras. Ia kehilangan keluarganya saat masih kecil, hanya ditemani oleh bayangan masa lalu yang menyakitkan.
Suatu hari, Hasan bertemu seorang perempuan bernama Amira. Ia adalah seorang gadis desa yang lembut dan penuh kasih. Amira melihat sesuatu dalam diri Hasan yang tak dilihat orang lain: kesedihan yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Mereka saling jatuh cinta dan menikah. Kehidupan mereka sederhana, tetapi penuh kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ketika Lila baru lahir, Amira jatuh sakit dan meninggal dunia. Hasan hancur, tetapi ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya di depan Lila. Ia mencurahkan seluruh cintanya pada putri kecilnya dan boneka-boneka yang ia buat. Namun, di dalam hatinya, ada luka yang tidak pernah sembuh.
Boneka Ayah adalah boneka pertama yang Hasan buat setelah kematian Amira. Ia mengukirnya dengan hati yang penuh luka, seolah menuangkan seluruh kesedihannya ke dalam kayu. Boneka itu menjadi saksi bisu dari cinta dan kehilangan Hasan. Setiap kali ia memandang boneka itu, ia merasa Amira masih ada di sisinya.
Lila terdiam, air mata mengalir di pipinya. Ia memandang boneka itu dengan perasaan baru, campuran antara rasa haru dan duka. "Jadi, kau... menyimpan perasaan Ayah?"
Boneka itu tidak menjawab. Hanya keheningan yang menyelimuti bengkel itu. Lila merasa seperti baru saja berbicara dengan bayangan masa lalu yang hidup di sudut gelap hati ayahnya.
Pagi harinya, Lila mendapati ayahnya duduk di kursi bengkel, memandang boneka itu seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot matanya lebih tenang, seperti telah melepaskan beban yang lama ia pikul.
"Ayah," panggil Lila pelan.
Pak Hasan menoleh, tersenyum. "Ada apa, Nak?"
Lila ragu sejenak, lalu berkata, "Aku tahu tentang Boneka Ayah."
Pak Hasan membeku, matanya membelalak. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu kenapa boneka itu istimewa," ujar Lila, air mata mulai menggenang di matanya. "Boneka itu... menyimpan kenangan tentang Ibu, kan?"
Pak Hasan terdiam lama. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Iya, Lila. Boneka ini adalah cara Ayah mengenang Ibumu. Ia adalah satu-satunya hal yang membuat Ayah merasa tidak benar-benar kehilangan."
Lila mendekati ayahnya, lalu memeluknya erat. "Kita tidak akan pernah kehilangan Ibu, Ayah. Karena Ibu selalu ada di hati kita."
Pak Hasan tersenyum, tetapi matanya basah. "Kamu benar, Nak. Kamu benar."
Hari itu, untuk pertama kalinya, boneka itu dipindahkan dari bengkel ke ruang tamu rumah mereka. Pak Hasan tidak lagi memandangnya dengan kesedihan, tetapi dengan rasa syukur. Boneka Ayah tidak lagi hanya menjadi simbol kehilangan, tetapi juga cinta yang abadi.
Dan di malam yang sunyi, ketika Lila kembali melihat boneka itu, ia merasa wajah kayu itu tersenyum. Seperti menyetujui akhir dari kisah yang telah lama terpendam di dalamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka - Antologi Cerpen
Short StoryAsmaraloka adalah sebuah antologi cerpen yang menelusuri labirin hati dan perasaan manusia dalam wujud kisah-kisah yang mendalam dan menyentuh. Melalui rangkaian cerpen yang ditulis dengan cermat, pembaca diajak untuk menyelami berbagai dimensi cint...