26. NYANYIAN YANG TERKUBUR

0 0 0
                                    

Di bawah langit yang mengguratkan nuansa biru kelam, laut menyembunyikan rahasia terdalamnya. Ia adalah kisah tanpa penghujung, puisi tanpa syair, sebuah kekosongan yang menelan waktu dan suara. Di antara buih yang menggulung dan arus yang berkelindan, palung laut berbicara dalam bahasa diam yang hanya dipahami oleh mereka yang cukup berani untuk mendengar.

Di permukaan, laut tampak megah namun bersahaja, seperti seorang ratu tua yang menyembunyikan mahkotanya di balik selendang kabut. Namun di dasar terdalamnya, ia adalah medan perang abadi. Setiap molekul airnya menyimpan kenangan luka, amarah badai, dan jerit sepi kapal karam. Di sanalah, di palung yang bahkan cahaya tak mampu menembus, waktu berhenti dan melingkar seperti ular menggigit ekornya sendiri.

Ada seorang nelayan tua, Adikara, yang memuja laut seperti seorang penyair memuja hujan. Ia tinggal di sebuah pondok reyot di tepi karang, di mana debur ombak menjadi lagu pengantar tidurnya setiap malam. "Laut," katanya suatu hari kepada angin yang singgah di jendela, "adalah ibu sekaligus penjarah. Ia memberi kehidupan, namun juga mencuri tanpa ampun."

Adikara adalah penyelam ulung, tapi usianya telah merenggut banyak dari kekuatannya. Namun, kerinduannya kepada laut tak pernah pudar. Setiap fajar, ia berdiri di tepi dermaga dengan tatapan yang menerobos hingga ke cakrawala, seolah-olah ingin mengoyak tabir misteri yang tersembunyi di baliknya.

Suatu hari, ia mendengar bisikan dari kedalaman. Bukan suara yang nyata, melainkan sejenis getaran halus yang merambati tulang-tulangnya. Bisikan itu berkata tentang sebuah "nyanyian" yang terkubur di palung terdalam. "Nyanyian itu," begitu suara itu merayu, "mampu mengungkap rahasia semesta, sebuah harmoni yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang pernah hancur."

Adikara, yang telah kehilangan segalanya—istrinya yang hilang ditelan badai, anaknya yang mati di gendongan—merasa terpanggil. "Jika nyanyian itu sungguh ada," gumamnya, "maka aku akan menemukannya, atau aku akan menjadi bagian dari laut itu sendiri."

Dengan sebuah perahu kecil yang sudah tua seperti dirinya, Adikara berlayar menuju palung yang disebut-sebut sebagai titik terdalam di samudra. Hari itu, laut tampak seperti kaca yang memantulkan langit tanpa cela. Namun, bagi Adikara, laut selalu memiliki wajah kedua—yang tak kasat mata namun penuh tipu daya.

Malam pertama di laut terbuka, ia bermimpi tentang ikan-ikan yang bernyanyi. Mereka memiliki mata seperti bintang yang memandangnya tanpa berkedip, menuntunnya lebih dalam, lebih jauh. Ketika ia terbangun, bulan telah menghilang, dan langit penuh bintang terasa seperti kanvas yang dilukis oleh tangan dewa mabuk.

Hari demi hari berlalu. Makanan di perahunya mulai menipis, dan tubuh tuanya mulai protes terhadap kerasnya perjalanan. Namun, Adikara tetap teguh. Ia percaya bahwa laut memanggilnya bukan untuk menghukumnya, melainkan untuk memberinya jawaban.

Ketika ia akhirnya mencapai lokasi yang diyakininya sebagai mulut palung, laut berubah. Langit menjadi kelabu, dan ombak mulai mengombang-ambingkan perahunya seperti mainan. Namun, bukannya gentar, Adikara justru merasa lebih hidup. "Apakah ini sambutanmu, Laut?" teriaknya, suaranya tenggelam dalam deru angin. "Jika kau ingin menelanku, lakukanlah! Aku sudah lelah hidup setengah mati."

Ia mengenakan perlengkapan menyelamnya, yang sudah lusuh tapi tetap setia. Dengan satu tarikan napas panjang, ia terjun ke dalam air yang dinginnya menusuk seperti ribuan jarum. Di bawah permukaan, dunia berubah menjadi hening yang menyesakkan. Setiap gerakan sirip kakinya terasa seperti melawan kehendak gravitasi yang asing.

Semakin dalam ia menyelam, semakin gelap dan sunyi dunia sekitarnya. Warna biru berubah menjadi hitam pekat, dan tekanan air seolah-olah berusaha menghancurkannya dari segala arah. Namun, Adikara terus maju, mengikuti nalurinya yang mengatakan bahwa nyanyian itu semakin dekat.

Di kedalaman yang mustahil dijangkau manusia biasa, Adikara melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah kota kuno terbaring sunyi di dasar laut, dikelilingi oleh fosil-fosil raksasa yang menyerupai monster purba. Pilar-pilar batu yang dihiasi ukiran rumit menjulang, meski sebagian besar telah runtuh dan tertutup karang.

Di tengah kota itu, ia menemukan sebuah patung besar, seorang wanita dengan wajah yang tak terbaca. Patung itu memegang sebuah harpa yang terbuat dari logam yang berkilauan seperti bintang di malam tanpa awan. Adikara merasa ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam harpa itu, seolah-olah instrumen itu adalah sumber dari semua bisikan yang ia dengar.

Ketika ia menyentuh harpa itu, dunia di sekitarnya bergemuruh. Suara-suara mulai bermunculan, bukan dari telinganya, melainkan dari dalam jiwanya. Suara itu adalah nyanyian laut, sebuah simfoni yang terdiri dari semua jerit dan tawa, semua cinta dan kehilangan yang pernah dialami dunia ini. Adikara menangis, bukan karena ia sedih, tetapi karena ia akhirnya mengerti.

Nyanyian itu tidak hanya berbicara tentang laut, tetapi tentang dirinya sendiri. Setiap nada menceritakan kisah hidupnya, semua luka yang ia pikir telah terlupakan, semua cinta yang ia pikir telah mati. Ia melihat bayangan istrinya, anaknya, dan dirinya sendiri, semuanya bersatu dalam harmoni yang menyayat namun indah.

Namun, nyanyian itu juga membawa sebuah peringatan. "Jika kau mendengarkanku," bisiknya, "kau tidak akan kembali menjadi manusia. Kau akan menjadi bagian dari laut ini, selamanya."

Adikara tersenyum tipis. "Aku sudah lama merasa seperti milikmu, Laut. Ambillah aku."

Pagi berikutnya, perahu Adikara ditemukan terombang-ambing di laut terbuka. Penduduk desa yang menemukannya hanya menemukan pakaian menyelam yang tertinggal, tanpa tanda-tanda keberadaan pemiliknya. Mereka berkata bahwa laut telah mengambilnya, seperti laut mengambil semua yang ia cintai.

Namun, jika kau berdiri di tepi karang di malam tanpa bulan, kau mungkin mendengar sebuah nyanyian samar yang melintasi angin. Sebuah nyanyian yang tidak berasal dari ombak atau burung laut, tetapi dari kedalaman yang tak terlihat. Nyanyian itu adalah Adikara, yang kini menjadi bagian dari laut—sebuah jiwa yang abadi di palung tanpa akhir.

Dan laut, seperti biasa, tetap menyimpan rahasianya.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang