Bab 1 Diagon Alley

3 1 0
                                    

~~~

Angin musim panas berhembus lembut di London, namun bagi seorang gadis berambut coklat terang bergelombang yang berdiri di depan sebuah pub tua bernama The Leaky Cauldron, hari ini terasa jauh dari biasa.

Gadis itu, Amelia Brighton, baru saja menerima surat misterius yang mengubah hidupnya: dia diterima di Sekolah Sihir Hogwarts. Amelia adalah seorang gadis berdarah campuran Muggle, Hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang dunia sihir. Semua ini terasa seperti mimpi.

"Ini benar-benar ada, Bu," gumam Amelia pada ibunya yang berdiri di sebelahnya, terlihat sama gugupnya. Ibunya adalah mantan murid Hogwarts sebelum memilih hidup bersama muggle, Ibunya tidak memiliki sihir yang kuat hingga akhirnya Ibunya memilih mengubur segala hal tentang sihir dalam dirinya.

"Yah, Amelia... kurasa kita harus masuk," jawab ibunya dengan ragu, sambil melirik pintu kayu tua yang tampak rapuh.

Amelia membuka pintu, dan aroma rempah-rempah serta suara percakapan aneh segera menyambut mereka.

Pub itu penuh dengan orang-orang berpakaian aneh—jubah panjang, topi runcing, dan beberapa di antaranya membawa tongkat sihir di tangan.

"Mama, ini luar biasa..." bisik Amelia dengan mata berbinar.

"Permisi, Anda Amelia Brighton?" tanya seorang pria paruh baya dengan jubah cokelat yang berdiri di dekat mereka.

"Uh, iya, saya," jawab Amelia, masih terpesona dengan sekelilingnya.

"Nama saya Dedalus Diggle. Saya diperintahkan oleh pihak Hogwarts untuk membantu Anda mendapatkan perlengkapan sekolah. Ikuti saya, ya?" Pria itu tersenyum lebar, tampak antusias.

(Dedalus hanya karakter buatan untuk kepentingan cerita! Jadi peran dia hanya untuk membukakan Pintu rahasia menuju Diagon Alley dan menuntun Amelia ke sana, karena Ibunya Amelia sudah bukan seorang penyihir, jadi ibunya tidak memiliki izin untuk membuka sendiri.)

Amelia dan ibunya mengikuti Dedalus keluar dari pub menuju dinding batu di halaman belakang.

Pria itu mengeluarkan tongkatnya, mengetukkan beberapa kali di dinding, dan... dinding itu terbuka! Lorong menuju dunia yang sama sekali baru: Diagon Alley.

“Ini dia, tempat di mana para penyihir belanja!” seru Dedalus penuh semangat.

Amelia terpaku melihat lorong panjang penuh toko-toko aneh. Ada toko yang menjual tongkat sihir, ramuan, burung hantu, dan segala macam benda yang tak pernah ia bayangkan.

Ketika mereka berjalan, Amelia mendengar suara anak laki-laki seusianya berbicara dengan seseorang. Dia menghentikan langkahnya.

"Aku hanya butuh kuali dan beberapa buku lagi," kata anak laki-laki itu dengan nada ramah.

Amelia menoleh dan melihat seorang anak berambut hitam berantakan, mengenakan kacamata bulat. Ada sesuatu yang mencolok di dahinya: bekas luka berbentuk kilat. Amelia mendekat, merasa penasaran.

“Hai,” sapanya pelan.

Anak laki-laki itu menoleh dan tersenyum. “Oh, hai. Kau juga siswa baru Hogwarts?”

“Iya,” jawab Amelia, mencoba tersenyum balik. “Aku Amelia. Amelia Brighton.”

“Senang bertemu denganmu, Amelia. Aku Harry. Harry Potter.”

Amelia mengernyit. Nama itu terasa familiar, seperti pernah ia dengar sebelumnya. “Harry Potter? Maksudmu... kau yang ada di buku sejarah?”

Harry tampak sedikit canggung. “Uh, kurasa begitu. Semua orang terus bilang begitu.”

Sebelum Amelia sempat bertanya lebih lanjut, seorang pria tinggi dengan jenggot lebat menghampiri mereka.

“Harry, ayo, kita harus beli tongkatmu di Ollivanders!” seru pria itu dengan suara berat.

“Baik, Hagrid!” Harry melambaikan tangan pada pria berjubah hitam itu. “Sampai jumpa lagi, Amelia.”

“Ya, sampai jumpa,” jawab Amelia dengan kikuk, menatap punggung Harry yang berjalan menjauh.

Ibunya mendekat. “Dia teman Seangkatan mu, Amelia?”

“Mungkin,” gumam Amelia. “Dia... menarik.”

Dedalus memberikan sebuah daftar isi mengenai apa yang harus Amelia beli dan perlukan, dan sekantung penuh Galleon.

"Ini daftar hal hal yang perlu kamu beli dan perlukan untuk tahun pertama! Dan ini adalah biaya bantuan dari Hogwarts."

Amelia menerima itu dengan senang hati, Dedalus langsung pamit dan langsung menghilang dalam kedipan mata.

Dia menatap Ibunya, Ibunya menatapnya. Waktunya berbelanja!

"Ayo habiskan Uang!"

ForecastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang