~~~
Para siswa tahun pertama berdiri di aula besar Hogwarts, menatap takjub ke arah meja panjang tempat para profesor duduk.
Di depan mereka, ada sebuah topi tua dan lusuh di atas bangku kecil. Meskipun terlihat usang, topi itu mulai bernyanyi, mengejutkan Amelia dan sebagian besar siswa baru.
Setelah nyanyiannya selesai, Profesor McGonagall berdiri di depan mereka dengan daftar nama di tangan.
"Ketika saya memanggil nama kalian, silakan duduk di bangku dan kenakan Topi Seleksi. Topi ini akan menentukan rumah kalian," katanya.
Penyortiran pun dimulai. Satu per satu nama dipanggil, dan setiap siswa maju ke depan untuk dipasangkan Topi Seleksi.
Nama-nama seperti Hermione Granger (yang masuk Gryffindor) dan Draco Malfoy (yang langsung masuk Slytherin tanpa ragu-ragu bahkan sebelum topi itu menyentuh rambut pirang platina nya) bergema di aula.
Ketika giliran Harry Potter dipanggil, aula menjadi sunyi.
Semua orang menahan napas, penasaran di mana The Boy Who Lived akan ditempatkan. Setelah percakapan singkat dengan Topi Seleksi, Harry akhirnya masuk Gryffindor, dan sorakan menggema dari meja merah-emas.
Amelia merasa jantungnya semakin berdebar saat melihat satu per satu siswa dipilih. Lalu tiba saatnya giliran terakhir:
"Brighton, Amelia," panggil Profesor McGonagall.
Amelia menarik napas dalam-dalam dan melangkah maju. Aula terasa hening saat ia duduk di bangku kecil.
Topi Seleksi diturunkan ke kepalanya, dan suara pelan langsung terdengar di telinganya.
"Hmm... menarik," gumam Topi Seleksi. "Aku melihat keberanian di dalam dirimu, tapi juga keraguan. Kau cerdas, tekun, dan memiliki garis keturunan yang rumit. Slytherin mungkin tempat yang cocok... tetapi..."
Amelia menggigit bibir, tidak yakin apa yang ia inginkan. Ia hanya tahu bahwa ia ingin merasa diterima.
"Ah, aku mengerti," kata Topi Seleksi dengan nada puas. "Gryffindor!"
Sorakan dari meja Gryffindor meledak, tapi Amelia tidak sempat menikmati itu.
Ia menangkap tatapan tajam dari Draco Malfoy yang duduk di meja Slytherin, matanya menyala penuh kemarahan.
Ketika Amelia berjalan ke meja Gryffindor dan duduk di dekat Harry dan Hermione, Draco berdiri dengan gerakan tiba-tiba, membuat beberapa orang di sekitarnya melirik.
“Pengkhianat!” serunya lantang, suaranya menggema di aula.
Aula mendadak terdiam. Semua mata kini tertuju pada Draco. Ia menunjuk Amelia dengan jari gemetar.
“Kau berani-beraninya mengotori nama keluarga Malfoy dengan masuk Gryffindor!” Draco melanjutkan dengan nada tajam. “Kau memang darah kotor! Mudblood menjijikkan!”
Wajah Amelia memerah, sebagian karena malu, sebagian karena marah. Ia merasa seluruh tubuhnya gemetar.
“Cukup, Tuan Malfoy!” Profesor McGonagall berkata tegas, berjalan cepat mendekati meja Slytherin. “Saya tidak akan mentolerir penghinaan seperti itu di Hogwarts!”
Draco mendengus, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia duduk dengan enggan, meskipun wajahnya tetap merah karena emosi.
Amelia menunduk, merasa semua orang masih menatapnya. Harry, yang duduk di sebelahnya, menyentuh lengannya.
“Jangan dengarkan dia,” kata Harry pelan. “Draco memang seperti itu. Kau tidak salah masuk Gryffindor.”
Hermione mengangguk mendukung. “Dia hanya marah karena kau tidak ikut dengannya ke Slytherin. Dia tidak berhak menghinamu.”
Amelia mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu malam ini hanyalah awal dari konflik yang lebih besar dengan sepupunya, Draco. Tapi ia juga merasa, untuk pertama kalinya, bahwa ia telah menemukan tempat yang benar-benar miliknya.
Saat pesta penyambutan dimulai dan meja-meja dipenuhi makanan, Amelia melirik ke arah Draco di meja Slytherin. Ia tahu ia telah mengambil keputusan yang benar, meskipun itu berarti ia harus menghadapi kemarahan sepupunya.
Baginya, keberanian untuk menjadi dirinya sendiri jauh lebih penting daripada mempertahankan tradisi keluarga yang keliru.
Di meja Gryffindor, Amelia merasa nyaman bersama Harry, Ron, dan Hermione. Mereka tertawa dan berbagi cerita, seolah-olah sudah lama menjadi teman.
“Selamat datang di Gryffindor,” kata Hermione dengan senyum tulus. Lengan Hermione mengusap lembut milik Amelia, mencoba memberikan Ketenangan.
“Terima kasih,” jawab Amelia pelan, akhirnya merasa lega. Di sini, ia tahu ia tidak sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forecast
FantasyHarry Potter x Reader Amelia Brighton. Seorang penyihir campuran. Ibunya adalah penyihir berdarah campuran, Membuat Amelia harus mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari sepupu nya tirinya. Draco Malfoy. Sering diolok Draco dengan sebutan pengkhia...