Bab 22 Pengorbanan Ron

1 1 0
                                    


~~~

Mereka memasuki ruangan besar dengan papan catur raksasa di tengahnya. Bidak-bidak besar berdiri kokoh, masing-masing setinggi manusia. Ruangan itu dingin, dan suasananya begitu mencekam.

“Catur penyihir,” gumam Ron dengan penuh keyakinan. “Kita harus bermain untuk bisa melewati ini.”

Hermione melihat ke sekeliling. “Tapi siapa yang akan menjadi pemain?”

Ron maju selangkah, menyeringai. “Aku tahu cara bermain ini. Percayalah padaku.”

Setelah menentukan posisi mereka di papan catur, mereka mulai bergerak sesuai instruksi Ron.

Harry menjadi salah satu bidak kuda, Hermione bidak benteng, dan Amelia bidak menteri. Ron, sebagai kuda, memberi arahan.

Pertarungan berlangsung sengit. Bidak lawan menyerang dengan ganas, dan setiap langkah yang salah akan berakibat fatal.

Namun, Ron bermain dengan strategi yang tajam, memimpin mereka mendekati kemenangan.

“Aku harus mengorbankan diriku,” kata Ron tiba-tiba, nadanya tegas namun penuh kesadaran.

“Apa maksudmu?” tanya Harry panik.

“Ini satu-satunya cara kita bisa menang,” jawab Ron. Dia menatap Harry dan Amelia dengan sorot mata serius. “Kalian harus melanjutkan."

Sebelum ada yang bisa membantah, Ron maju ke depan. Bidak ratu lawan menghantamnya keras, membuatnya terjatuh ke lantai dan pingsan. Dengan langkah terakhir yang Ron rencanakan, bidak raja lawan hancur, dan permainan selesai.

“Ron!” seru Hermione, berlari ke arahnya.

“Dia akan baik-baik saja,” katanya sambil menahan air mata. “Kalian harus pergi, cepat!”

Harry dan Amelia saling bertukar pandang. Dengan berat hati, mereka meninggalkan Hermione dan Ron, melangkah ke ruangan berikutnya.

~~~

Ruangan Terakhir

Di tengah ruangan berdiri cermin besar—Cermin Tarsah. Di hadapannya ada sosok yang tak asing lagi bagi Harry dan Amelia.

"Quirrell?!" seru Harry.

Quirrell berbalik perlahan, serban yang melilit kepalanya tampak mencurigakan. “Ah, Potter, akhirnya kau tiba,” katanya dengan suara halus namun penuh ancaman.

“Jadi itu kau, bukannya Snape?” kata Harry, menatap tajam.

“Snape?” Quirrell tertawa dingin. “Si bodoh itu? Dia mencoba melindungi batu itu, Potter. Bahkan dialah yang menyelamatkanmu di pertandingan Quidditch itu, Haha Andai dia tak membakar jubahnya dan membuat kontak mataku padamu buyar, Dia Bukan menyerangmu. Kau salah menilai dia.”

Harry melangkah mundur, menggenggam tongkatnya erat. “Apa yang kau inginkan?”

Quirrell tersenyum licik. “Kau tahu apa yang aku inginkan. Batu Bertuah. Cermin ini… menyembunyikannya. Namun, aku tidak bisa mengambilnya. Hanya seseorang dengan niat murni yang bisa mendapatkannya.”

Dia menatap Harry dengan penuh intensitas. “Kau, Potter. Kau yang akan mengambilnya untukku. Berdirilah di depan cermin itu.”

Harry menelan ludah, menatap cermin itu dengan ragu. Amelia berdiri di belakang, tampak tegang namun diam, matanya melirik sekeliling ruangan dengan cermat.

Dengan langkah hati-hati, Harry berdiri di depan cermin. Pantulan di dalam cermin menunjukkan Harry memegang Batu Bertuah, lalu dimasukkan ke dalam sakunya dan tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat di sakunya. Batu itu kini ada di tangannya, meskipun Quirrell tidak mengetahuinya.

“Apa yang kau lihat?” tanya Quirrell penuh semangat.

Harry berpikir cepat. “Aku… aku hanya melihat diriku berdiri di sini. Tidak ada apa-apa.”

Quirrell memicingkan matanya, curiga. Saat itulah sebuah suara serak bergema di ruangan.

“Dia berbohong.”

Quirrell membuka lilitan serbannya, dan Harry serta Amelia tersentak mundur. Di belakang kepala Quirrell, ada wajah lain. Wajah Voldemort.

“Potter… berikan aku batu itu,” suara Voldemort penuh racun.

“Tidak!” balas Harry, mundur dengan langkah cepat.

“Kalau begitu, aku akan mengambilnya dengan paksa!” Voldemort menggeram, dan Quirrell Menghempaskan lengannya.

Api muncul, membentuk dinding yang mengurung mereka. Quirrell melangkah maju, mencoba merebut batu itu dari tangan Harry. Namun, ketika dia menyentuh lengan Harry, kulitnya terbakar hebat.

“Argh!” Quirrell berteriak kesakitan.

Harry menyadari apa yang terjadi. Dia menangkupkan tangannya di wajah Quirrell, dan Quirrell menjerit kesakitan, tubuhnya mulai terbakar hingga menjadi debu.

Namun, sebelum semuanya berakhir, roh Voldemort melayang keluar dari tubuh Quirrell. Mata merahnya yang menyala-nyala melirik Harry dengan benci. Tapi, sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada Amelia yang berdiri mematung di sudut ruangan.

Seer…” bisiknya dengan nada penuh ancaman.

"Penerus Slyteryn..." Ucap Amelia ketakutan, Matanya melihat, menembus jauh ke lautan Takdir, Melihat masa depan secepat kilat lalu kembali lagi. Membuat matanya mengalirkan darah.

Amelia tidak bergerak, matanya terbelalak ketakutan. Voldemort mendekatinya, namun saat itu juga, dia melayang pergi.

Amelia terjatuh ke lantai, terengah-engah, sementara Harry pingsan karena Roh Voldemort terbang kabur melewati tubuhnya. Ruangan itu kini sunyi, hanya menyisakan Amelia dan Harry yang pingsan.

ForecastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang