Bab 17 Cermin?

1 1 0
                                    


~~~

Pagi Natal tiba dengan salju yang lebat menutupi Hogwarts. Aula Besar penuh dengan sukacita, murid-murid yang tinggal di kastil selama liburan membuka hadiah mereka dengan penuh semangat.

Di ruang rekreasi Gryffindor, Ron memegang sebuah sweater rajutan dengan huruf "R" besar di dadanya.

“Lihat ini!” seru Ron sambil memamerkannya kepada Harry dan Amelia. “Ibuku selalu memberiku sweater setiap Natal. Warna hijau tahun ini. Bagus, kan?”

Harry tersenyum kecil sambil memandangi hadiahnya sendiri—sebuah kotak kecil yang berisi jubah tak terlihat. “Tidak percaya aku mendapat ini,” gumamnya kagum.

Ron melirik jubah itu dengan rasa iri yang bercampur heran. “Itu... luar biasa. Apa kau tahu siapa yang mengirimkannya?”

Harry hanya menggeleng, membaca catatan kecil yang menyertainya:sudah waktunya benda ini dikembalikan pada yang bersangkutan, Gunakan dengan baik.

Sementara itu, Amelia membuka sebuah kotak kecil dari ibunya. Di dalamnya ada kalung dengan bandul berbentuk bintang yang bersinar lembut.

Ia tersenyum, merasakan kehangatan dari pemberian itu. Di bagian belakang bandul itu, terukir kata-kata kecil: Jangan pernah kehilangan arah.

"Indah sekali," kata Amelia sambil mengalungkan hadiah itu di lehernya.

Hari itu berlalu dengan penuh canda tawa, tetapi malamnya membawa rasa penasaran yang tak terhindarkan bagi Harry. Ia tak bisa melupakan percakapan mereka sebelumnya tentang Fluffy, anjing berkepala tiga yang menjaga sesuatu di lantai tiga—sesuatu yang sepertinya penting, bahkan berbahaya.


Harry menunggu hingga semua orang di asrama tertidur sebelum mengenakan jubah tak terlihatnya. Ia keluar dengan langkah hati-hati, memastikan tidak ada yang melihatnya. Jantungnya berdebar cepat saat ia menyusuri lorong kastil yang gelap dan sunyi.

Harry akhirnya sampai di Perpustakaan, tepat di area terlarang seperti yang pernah disebutkan Hermione. Buku-buku di sana tampak tua dan menyeramkan, dengan beberapa di antaranya bahkan terkunci dengan rantai tebal. Ia menemukan sebuah buku yang menarik perhatian, berjudul Rahasia Batu Bertuah.

Membuka halaman pertamanya, Harry membaca dengan cepat, mencoba mencari petunjuk tentang Fluffy dan apa yang dijaganya. Namun, sebelum ia bisa membaca lebih jauh, suara langkah kaki membuatnya tertegun.

"Filch!" gumamnya pelan, jantungnya berdetak cepat.

Ia buru-buru menutup buku itu dan menyelinap keluar dari perpustakaan, berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Saat melewati sebuah lorong, ia mendengar sesuatu yang lain—suara dua orang berbicara dengan tegang.

Snape dan Quirrel

Harry mendekati suara itu dengan hati-hati, menyembunyikan dirinya di balik patung besar. Dari sana, ia bisa melihat Profesor Snape berdiri dekat dengan Profesor Quirrel.

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” kata Snape dengan nada rendah dan mengancam. “Jangan coba-coba menghindarinya, Quirrell.”

Quirrell tampak gemetar, suaranya hampir tak terdengar. “A-aku tidak tahu apa yang kau b-bicarakan.”

“Jangan berpura-pura bodoh denganku,” Snape menyindir. “Kita tahu apa yang ada di sana, dan aku akan memastikan bahwa kau tidak membuat kesalahan.”

Harry merasa tubuhnya kaku. Ada sesuatu yang aneh dalam percakapan itu, sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Namun, sebelum ia sempat mendengar lebih banyak, Snape tiba-tiba berbalik, matanya menyipit curiga ke arah lorong tempat Harry bersembunyi. Harry menahan napas, jantungnya hampir berhenti.

Snape mulai berjalan mendekat, tetapi sebelum ia bisa mencapai tempat Harry, suara langkah kaki lain terdengar di ujung lorong. Dengan cepat, Harry memanfaatkan gangguan itu untuk melarikan diri.

Dalam pelariannya, Harry tak sadar memasuki sebuah ruangan besar yang kosong. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah cermin besar dengan ukiran megah di bingkainya. Rasa penasaran menguasainya, dan ia mendekat untuk melihat ke dalam cermin.

Yang ia lihat di dalamnya membuatnya tertegun. Orang tuanya—James dan Lily Potter—berdiri di sana, tersenyum padanya. Harry merasakan matanya panas, dadanya sesak dengan emosi.

Ia mengulurkan tangannya, seolah-olah bisa menyentuh mereka, tetapi tentu saja, itu hanya bayangan. "Ayah... Ibu..." bisiknya.

Harry tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana, hanya menatap cermin itu. Perasaan bahagia sekaligus sedih bercampur menjadi satu. Namun, langkah kaki dari lorong mengingatkannya bahwa ia tidak bisa tinggal di sana selamanya.

Dengan berat hati, Harry meninggalkan ruangan itu, berjanji dalam hati untuk kembali lagi. Ia tahu bahwa cermin itu bukan sekadar cermin biasa—ada sesuatu yang istimewa, sesuatu yang sangat penting di baliknya.

Namun, apa itu? Harry belum tahu. Tapi, Cermin itu sepertinya penting, ayo kunjungi lagi besok malam.


~untuk pertemuan Harry dan Dumbledore di ruangan cermin itu bakal aku skip ya! Dan kedepannya juga bakal banyak kejadian yang gak mirip karena aku gak terlalu inget jadi bakal aku usahakan improvisasi.

ForecastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang