Usai sarapan aku dan Nisa nganter anak kita ke sekolah, selama sarapan dan perjalanan menuju sekolah Devia nampak belum bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah ayah kandungnya. Hal itu aku anggap wajar karena untuk anak remaja seusia Devia yang sudah menginjak akil baligh pasti sulit menerima orang asing yang tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayahnya. Mungkin hal ini tak akan terjadi jika aku datang 5 tahun lalu dimana sifat kekanak-kanakan yang tak mau ambil pusing dengan kehidupan masih melekat erat pada dirinya.
Sikap sulit menerima kehadiranku Devia tunjukan juga saat kita sampai di sekolahnya, sesaat sebelum turun dari mobil Devia mencium tangan Nisa tapi dia mengabaikanku walau aku sudah menyodorkan tangan kepadanya bahkan Devia tak melirikku sama sekali. Pedih rasanya hati ini mendapat perlakuan seperti itu dari darah dagingku sendiri tapi lagi-lagi aku memakluminya.
"Maaf ya Ka atas sikap Devia!" ucap Nisa meredakan kegundahan hatiku sambil memegang tangan kiriku.
"Gak apa Nis, aku maklum koq" sambutku.
"Kita mau kemana nih?"
"Lahhh bukannya kamu mau ke kantor?"
"Oh iya hahahaha gara-gara kamu aku jadi lupa tujuanku"
"Eemmhhh jadi curiga pengen dibikin lecet lagi ini mah"
"Emang masih sanggup?"
"Nantangin nih? Istri aku 3 loh, kita sering main barengan!"
"Oh ya! Gak risih apa?"
"Kan udah aku bilang mereka jadi bisex"
"Oh iya. ... Ya udah ke kantor aja Ka!" ucap Nisa dan aku pun mulai menginjak gas memandu mobil sebaik mungkin agar kita selamat sampai tujuan.
"Oh iya Nis, kalo Devia beneran nanya sama mama papa dan adik kamu gimana?" tanyaku akan kekhawatiranku.
"Mama sama ade masih bisa aku omongin biar mereka ngebenerin apa yang kita bilang ke Devia tadi pagi"
"Trus papa kamu gimana?"
"Papa udah gak ada Ka"
"Hah! Kapan?"
"Udah lama, hampir mau 10 tahun"
"Oohh maaf ya aku gak tau"
"Iya gak apa-apa. ... Sejak papa gak ada dia jadi sering berbuat kasar sama aku, mulai dari ngebentak sampai main fisik dan hal itu sering dia lakukan di depan Devia" keluh Nisa menceritakan perlakuan mantan suaminya.
"Anjing tuh cowo beraninya sama cewe" geramku mendengar pernyataan Nisa. "Dia sekarang dimana? Gw gorok sekalian lehernya. Tuman pisan anjing jelema teh!" tambahku penuh amarah.
"Udah lah Ka, toh semua udah berakhir" ucap Nisa meredakan amarahku.
"Aku gak enak Nis, sejak aku kenal kamu kapan aku bentak kamu? Lagian sekesal-kesalnya aku, semarah-marahnya aku sama kamu gak pernah kan nyampe ngebentak apalagi main fisik. Bukan cuma sama kamu, sama ketiga istriku juga aku gak pernah"
"Iya Ka aku percaya, aku juga ngerasa selama kita pacaran kamu gak pernah bentak aku"
"Pacaran? Emang kapan kita pacaran?"
"Iihhhh maksud aku ..."
"Wkwkwkw ... Masih inget berapa kali aku minta kamu jadi pacar aku? Jadian aja gak pernah pake bilang pacaran wkwkwkwkwk" ledekku bercanda.
"Udah ah, bete aku!" ucapnya ketus seraya memalingkan muka.
"Ciieee marah nih?" Godaku.
"Tau ah" kesal Nisa dengan wajah cemberut.
"Nis, kamu tau kan aku suka sange kalo liat kamu cemberut gitu"
"Ah kamu ini gak cemberut juga sama aja sangean mulu"
"Hehehe" aku cengengesan menanggapi ucapan ketusnya karena aku tau pasti kalo itu gak benar-benar dari hatinya.
Singkat cerita tiba di depan kantor aku buka kaca jendela untuk menyapa pak satpam, kebetulan yang bertugas hari itu adalah pak Amin dan Reno. Dia cukup terkejut kagum sampai menggelengkan kepala ketika melihat ku menggunakan mobil Nisa dan ada Nisa disampingku. Usai pak Amin membukakan portal aku berlalu menuju pelataran parkir untuk menyimpan mobil ditempat parkir khusus mobil Nisa. Setelah turun dari mobil aku mengatakan akan menunggunya sampai Nisa pulang kerja kebetulan hari Jum'at ini dia kerja setengah hari.
