Bab 21

66 0 0
                                    

"Yahhh!" ... Adalah kata pertama yang aku dengar ketika kesadaranku kembali meski mataku masih terpejam. Aku memicingkan mata karena merasa silau oleh cahaya lampu ruang tamu, disitu samar-samar aku melihat sosok yang membangunkanku. Meski tak dapat melihatnya dengan jelas tapi aku yakin itu adalah Astri karena hanya dia saja yang memanggilku ayah.

"Bangun yah udah siang!" ujar Astri.
"Jam berapa ini yang?" tanyaku.

"Setengah 6, ke air dulu gih!" saran Astri kemudian berlalu.

Aku bangkit dari sofa lalu menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur, aku melihat aktivitas pagi seperti biasanya namun kali ini ada personil baru yang turut membantu Viona dan Astri di dapur. "Pagi paa!" sapa Devia ketika melihatku. "Pagi juga" balasku disertai senyuman.

"Pelajari karakter papa kamu biar gak ngerasa kecewa, dia emang gitu orangnya!" ujar Viona kepada Devia yang sempat ku dengar ketika melewati keduanya. Viona berkata seperti itu karena khawatir Devia merasa kecewa dengan sikapku yang hanya membalas sapaan sambil tersenyum tapi aku langsung berlalu menuju kamar mandi tanpa berbasa-basi lebih lanjut.

"Iya mah, aku udah dikasih tau sama mama koq, kata mama karater dan sikap papa tuh gak beda jauh sama aku jadi aku pasti bisa ngertiin papa" jelas Devia.

Aku dapat mendengar percakapan diantara keduanya yang sedang membicarakanku karena aku tak menutup pintu kamar mandi ketika aku berkumur, menghirup air oleh hidung, mencuci wajah, mencuci kedua tangan sampai sikut, mengusap sebagian kepala, membasuh telinga, dan mencuci kaki. Usai melakukan itu semua aku keluar kamar mandi lalu pamit untuk melaksanakan ibadah yang seharusnya dilakukan 1 ½ jam sebelumnya, tapi gak apa lah dari pada nggak sama sekali.

Singkat cerita hari minggu itu aku lalui bersama keluarga untuk bercengkrama satu sama lain agar hubungan dan keakraban kami tetap terjaga dengan baik. Devia memanggil Astri dan Viona dengan sebutan mamah tapi kepada Sonia dia memanggil kakak. Sonia sendiri tak merasa keberatan dengan panggilan yang berbeda, mungkin karena usia mereka tak terlalu jauh jadi keduanya merasa lebih akrab dengan panggilan itu.

Menjelang malam sekitar jam 7 tibalah waktunya Devia untuk pulang mengingat esok hari dia harus kembali menjalani aktivitas hariannya sebagai seorang pelajar. Setelah berpamitan pada ketiga istriku dan juga adik-adiknya, aku mengantarkan Devia pulang ke rumah Nisa. Didalam mobil Devia kembali bermanja-manjaan padaku, dia menyenderkan kepalanya di bahuku sambil memegang tangan kiriku. Untunglah aku sudah terbiasa menyetir dengan sebelah tangan jika kecepatan mobil dibawah 100 Km/jam jadi aku tak merasa terganggu dengan apa yang dilakukan Devia.

"Dev, papa mau minta maaf untuk yang kemaren" ucapku membuka pembicaraan setelah mobil melaju sekitar 10 meter dari rumah.
"Yang mana paa?" tanya Devia manja.

"Yang di meja makan" jawabku spesifik namun Devia tak berkata apapun. ... "Koq diem?" tambahku.
"Kenapa harus minta maaf paa? Kan aku yang mulai!" tegas Devia.

"Papa khilaf, harusnya papa gak berbuat lebih sama kamu" sesalku.
"Jujur aja semalam aku gak bisa tidur karena keinget terus sama apa yang papa lakukan" ungkap Devia yang membuatku semakin merasa bersalah.

"Maaf ya Dev!" tegasku.
"Aku pengen lagi paa!" ujar Devia.

Sontak kaki kananku melepas pedal gas dan berpindah ke pedal rem bersamaan dengan kaki kiri menginjak pedal kopling lalu menetralkan perseneling. Aku benar-benar kaget mendengar pengakuan Devia, apa yang dia ucapkan mengingatkan aku pada Dania ketika aku mencium bibirnya untuk pertama kali. (Apa aku first kiss-nya Devia?) tanya batinku.

"Kamu gak pernah ciuman?" selidikku seraya menoleh ke arah kiri.
"Gak pernah paa, aku ciuman baru sama papa, yang pegang dada aku juga papa" ungkap Devia sambil mengangkat kepalanya perlahan.

Sonia Keponakan Istriku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang