Akhirnya..

233 11 0
                                    

Di perjalanan. Kegelisahanku memuncak saat tahu jika jarum jam di tanganku semakin menunjukkan angka 9. (Sssttt,, masih setengah 9 kok ✌).
Bukbukbukbukbukkkk.......
"Cepetan dong nyetirnya!! Udah mepet nih jamnya!" tegasku sembari menepuk-nepuk dashboard mobil agar laju mobil Digo ia percepat.
Tetapi sikapku itu justru membuat Digo kelabakan. Iya aku tahu, jalanan ramai, tapi aku malah menyuruhnya mempercepat laju mobilnya. Dan aku tahu itu bahaya. Tapi, kayaknya dalam benakku lebih bahaya lagi kalau aku sampai nggak ketemu Thea untuk terakhir kalinya. Itu bisa membuat aku semakin bersalah.
"Ini gara-gara mbak-mbak di dapur chatering nih, kebanyakan nanya! Aku jadi ngurusin itu dulu!! Kamu juga sih, jemputnya kelamaan. Coba kalo cepetan dikit, nggak bakalan ditanya ini itu aku sama mbak-mbak di dapur!!" omelku.
Aku melihat pergerakan jika Digo sesekali menoleh ke arahku, tapi aku tak mempedulikan itu dan terus melihat jalan. "Ngapain ngeliatin aku gitu?! Nyetir tuh liat depan! Liat jalan! Bukan tolah-toleh kayak ayam lagi mau nyebrang!" tegasku ketus. Dan Digo pun kembali mengamati jalan. Bingung.
"Ayooo cepetan dooong!!"
"Aneh!"
"Apanya yang aneh?!" tanyaku bingung.
"Kamulah! Kamu yang aneh" jawab Digo. Aku menoleh dan kemudian menatapnya kesal.
"Nggak usah bawel! Nyetir aja yang bener!" perintahku padanya. Digo terdiam tak menanggapi kata-kataku. Tapi kemudian....
"Untung gue cinta sama lo, tuu kuttuu..!!" ucap Digo berbisik.
"Hhhmm,, gue denger rab araab!!" aku mengeram mengatakan jika aku mendengar kata-katanya. Mengetahui itu, aku juga mendengar jika Digo tersenyum geli karena kata-kataku.
------
"Astagaaaaa,, kenapa bisa macet begini sih??!" pikirku kesal. Bagaimana tidak, padahal sudah di loby bandara, tapi jalannya macet bangettttt... Baru juga ngelewatin terminal 1 , sementara Thea pemberangkatan terminal 3...
"Kayaknya aku harus turun deh!?"
"Heh, ngapain?? Sabar aja kali!" cegah Digo.
Bagaimana aku bisa tenang, sementara detik-detik di jam tanganku hampir mendekati angka 9. Ini tuh keadaan yang membuat aku frustasi dadakan. Mana bisa aku berdiam diri layaknya penumpang angkot yang lagi buru-buru, sedangkan sopir angkotnya lagi nunggu penumpang lain dan nggak bisa diajak kompromi. Astaga! Ini bukan situasi itu. Tapi ini lebih darurat dari kebakaran GEROBAK BAKSO sekalipun.
Tapi ternyata pergerakan Digo lebih cepat daripada aku. Dia menekan tombol central lock yang ada di pintu sebelahnya untuk mengunci semua pintu mobil.
"Digo!" sentakku saat mengetahui tindakannya.
"Kali ini kamu yang diem dan nurut sama aku!" tegas Digo.
Suatu perlakuan Digo yang membuat aku naik darah. Aku kesal, bahkan tingkat kekesalanku itu berubah menjadi MARAH. Alhasil, selama berada di dalam mobil, aku mengomel mengomel mengomel. Iya, aku nyerocos kayak kereta lagi jalan kenceng-kencengnya. Nggak pakai rem yang akhirnya...
BRAK!
"Aduh!"
Hhmm.. itu bukan tabrakan kereta tadi, tapi aku kesungkur ke dashboard. Gara-gara si Digo menginjak pedal remnya dengan tiba-tiba. Sedangkan aku, udah ngelepas safety belt sedari tadi. Akibatnya, ya gitu deh, nyusruk ke depan.
"An....... (sensor)" celetuk Digo dengan nada yang begitu geram. Dia nyebut salah satu penghuni kebun binatang dengan lantangnya.
"Digo, kira-kira dong kalau ngerem!!" lanjutku kesal.
Mengetahui jika aku kesungkur, Digo hanya melirik sejenak ke arahku. Dan setelah itu ia kembali melihat ke depan. Lebih tepatnya melihat sesuatu yang membuat dia menghentikan laju mobilnya dengan tiba-tiba.
"Syukur nggak sampai nabrak!" Digo menghela nafas lega.
"Kenapa?" pikirku dalm hati. Iya sih, aku yang sedari tadi ngomel sendiri, sampai nggak engeh jalanan di depan. Digo ngerem mendadak pun aku nggak tahu kenapa?
"Sisi sayaaaaang!! Mulutnya ditutup dulu ya! Lakinya lagi nyetir, butuh konsentrasi tingkat dewa! PAHAM!!" tegas Digo.
Dengan nada yang datar-datar tapi nggak enak didengar itu, seketika membuatku terdiam. Aku mengerti maksudnya. Dia terganggu dengan omelanku sampai-sampai dia nggak bisa konsentrasi saat nyetir. Alhasil, dia sampai nggak tahu kalau mobil di depannya berhenti. Tapi, aku memberontak dengan kata-katanya. Bukan malah nyerocos terus, tapi aku memanyunkan bibirku semanyun mungkin. Yaa ngasih tahu dia kalau aku kesal dia bilang gitu. PAHAM!
-----
Sesampainya di parkiran mobil, aku keluar dari mobil terlebih dahulu. Sementara Digo masih ribet melepas sabuk pengamannya dan mempersiapkan ini itu. Ngambil ponsel lah, menarik rem tangan dulu lah, ngaca dulu lah, apalah apalah. Aku tak mempedulikan itu. Aku membiarkan bawaanku tergeletak di dalam mobil dan meninggalkan Digo.
Aku berlari meninggalkan Digo yang tak kunjung usai dengan keribetannya itu. Jam 9 ini, udah jam 9......
Saat aku memasuki pintu masuk bandara, aku malah berdiri dan terdiam. Aku celingukan kesana kemari. Memutar-mutar badanku 360° untuk melihat sekeliling ruangan.
"Ya Tuhan, aku harus cari Thea dimana?" pikirku. Dengan nada yang bingung, aku menaruh keputusasaan didalamnya. Karena saat melihat jam yang menunjukkan angka dimana Thea benar-benar pergi, disitulah harapan kosong terlintas dalam benakku.
Bagaimana tidak, aku melihat jika di jam itu, ada satu dua pesawat yang mulai melayang di udara. Apa itu belum cukup memberi tahuku jika Thea berangkat ke Prancis saat itu juga.
Dag dig dug dag dig dug....
Jantungku tiba-tiba berdegup kecang. Orang-orang yang lalu lalang membuat pandanganku tak bisa terfokus akan tujuanku. Mencari Thea. Aku tak bisa menemukannya disudut mana pun meski akhirnya aku mencarinya kesana kemari.
Benar-benar putus asa. Tiba-tiba rasanya tubuhku melemah karena keputusasaanku. Berdiripun rasanya aku tak kuat. Kemudian aku melangkah ke tempat duduk yang tak jauh dariku. Aku duduk sembari menyesali perbuatanku.
Dan air mataku pun kemudian menetes perlahan. Aku sedih, namun sekaligus marah demgan diri aku sendiri. Karena aku semuanya menjadi buruk. Karena sikap angkuhnku, kebahagiaanku pergi meninggalkanku. Iya, kebahagiaan yang pergi bersama Thea.
"Maaf Ma! Sisi nggak bisa ngebahagiain Mama!" dengan nada yang lirih aku menyalahkan diri aku sendiri.
"Sisi!" panggil seseorang tiba-tiba.
Seketika aku mencari suara orang yang memanggilku saat itu. Karena suara itu tidaklah asing lagi ditelingaku. Ternyata ia berdiri tak jauh di sebelah kiriku. Berpakaian dengan style 'cool' khasnya sembari membawa sebuah cup coffee minumannya. Aku terbelalak mendapati keberadaannya. Wajah sedihku kali itu berubah sedikit lebih tegar saat melihatnya.
"Ega!"
Aku menatapnya dengan rasa begitu sedih. Kecewa akan diriku sendiri. Namun Ega menatapku dengan tatapan yang berbeda. Nampaknya, ia bingung.
"Gue terlambat, Ga!" ucapku parau. Karena kali itu aku berpikir jika tindakanku sia-sia. Semuanya terlambat.
"Terlambat? Maksud lo?"
"Gue terlambat buat bisa nge......." kata-kataku terpotong karena saat aku berusaha menjelaskan pada Ega, tiba-tiba aku mendengar suara hentakan kaki yang dibarengi suara keras.
"Egaaaa!! Ngeselin deh pakai ninggalin aku!" tegasnya sedikit dengan nada kesal.
Aku pun buru-buru menoleh ke arah suara itu. Dia berlari dari arah belakang Ega. Mendapati seseorang yang menghampiri Ega saat itu, seketika aku berdiri dari dudukku dan memperjelas lagi akan seseorang yang aku lihat.
"Thea!"
"Sisi... Lo?..."
Seketika kita saling pandang. Memberi tanda satu sama lain jika kita tak mempercayai ini. Bagaimana tidak, aku tak percaya jika yang berdiri dihadapanku saat itu adalah Thea. Sedangkan waktu yang memberitahuku saat ini, mustahil jika Thea masih berada di tempat ini. Dan Thea pun menunjukkan ekspresi yang sama, terlihat jelas jika ia tak mempercayai jika aku tengah berdiri dihadapannya saat itu. Aku mengerti jika kehadiranku akan membuat dia heran.
Aku melangkahkan kaki dan menghampirinya. Namun saat aku hampir mendekatinya, aku melihat jika Thea sedikit menyembunyikan badannya di balik Ega. Bahkan ia seketika menggenggam tangan Ega dengan erat. Takut? Apa iya dia takut padaku? Tapi aku berusaha untuk tetap bersikap biasa dan mengabaikan pikiran burukku ini.
"Gue bukan harimau yang setiap waktu mengaung dan menakuti orang. Gue juga bukan ular yang suka melilit orang dan membuat dia sesak. Tapi gue adalah orang yang terkadang takut dengan keadaan. Gue hanya orang-orang yang lemah saat berada di keadaan yang sulit bagi gue!" tuturku.
Thea nampak tertegun dengan penjelasanku. Namun kemudian ia sedikit menegarkan tubuhnya dari belakang Ega. Ia masih terdiam dan terlihat bingung. Itu wajar bagiku. Karena aku tahu jika sikapku membuat Thea seperti itu.
"Kalau gue minta maaf dengan tulus, apa lo mau maafin gue sebagai sahabat lo?!"
Mendengar pertanyaaku, Thea masih tertegun tak mengucap kata apapun. Demikian Ega, yang kali itu juga menampakan raut wajah yang sama.
"Sii... " kali itu Thea mulai bersuara. Meskipun ia masih tertegun, tapi aku melihat jika sebenarnya...
DUUAARRR....
Layaknya tersambar petir dengan tiba-tiba. Bagaimana tidak, aku yang masih menunggu jawaban dari Thea, tiba-tiba Thea memelukku tanpa berkata apapun. Iya, dia seketika memelukku dengan kuat. Pelukan yang pernah hilang. Pelukan yang telah lama tak pernah kurasakan dari seorang Thea. Dan memang, aku merindukan pelukan ini..
"Lo nggak pernah salah sama gue. Dan gue juga nggak pernah marah sama lo. Gue ngerti perasaan lo gimana saat..."
"Sssttt,, gue nggak mau denger apapun. Gue cuma pengin lo tahu, kalau gue nyesel udah bersikap jahat sama lo. Nggak seharusnya gue bersikap buruk kayak gitu!" aku memotong kata-kata Thea yang kali itu ia berusaha mengungkap perasaannya.
"Sisiiii...." ucapnya lirih di samping telingaku.
Ia semakin memelukku dengan erat seperti memberitahuku jika ia sangat bahagia. Begitu pun aku yang kali itu tak henti-hentinya meneteskan air mata kebahagiaan. Bahagia karena aku bisa membahagiakan dua orang sekaligus. Tidak tidak, lebih dari itu. Lebih dari dua orang sekaligus. Digo, Ega dan Kribo juga ikut merasa bahagia karenaku. Iya, meski aku tak mempedulikan keberadaan mereka kali itu, mereka terlihat haru melihatku dan Thea memulai hubungan baik itu lagi.
"Hhuuuaaaaa,,, gue terharu deh bro liatnya!" teriak Kribo. Iya itu suara dia yang saat itu berdiri tak jauh dariku. Dia ada bersama Digo yang terpaksa menerima pelukannya. Meski aku tahu kalau Digo sebenernya geli.
"Kebbooo! Apa-apaan sih lo! Geli guee... Aarrgh!" tegas Digo dengan nada kesalnya. Kelakuan Kribo sepertinya membuat semua orang kesal deh.
"Eh, tunggu-tunggu! Lo masih disini, The? Apa lo nggak jadi berangkat?? Iya?!" tanyaku. Aku menampakan wajah yang penuh dengan harapan akan itu.
"Hee.. Pesawat gue delay sampai jam 10 ntar. Gue nggak mungkin nggak berangkat, Si..." jawab Thea.
Aku pun seketika memasang wajah murung karena mendengar jawaban Thea.
"Udah dibilangin nggak usah buru-buru. Masih ada waktu kok buat ngomong sama Thea.." sahut Digo memberitahuku.
Digo. Dia tahu kalau pesawat Thea delay satu jam. Terus kenapa dia nggak bilang? Kenapa dia diam aja saat aku berusaha untuk mengejar waktu.
Mendengar itu, aku pun seketika menatapnya dengan penuh perasaan kesal.
"Lhaah kan tadi udah dibilangin nurut sama aku!✌"
"Resek!!"
"Udahlah nggak usah debat! Yang penting sekarang semua udah kelar, jadi gue bisa hidup tenang disana. Belajar juga tenang. Makan juga tenang. Tidurpun pasti tenang. Karena gue bahagia. Bahagia karena sahabat gue yang kayak kutu ini udah nerima gue balik". Sahut Thea bahagia.
Ok, aku tak mempedulikan Digo yang membuatku kesal. Karena kebahagiaan yang memuncak ini membuatku ingin terus memeluk Thea. Aku merindukan pelukan ini. Aku merindukan tawa ini. Dan pastinya aku merindukan kebahagiaan ini.
"Gue lega deh! Beban dihidup gue tiba-tiba sirna kebawa angin yang barusan lewat.. Dan pastinya gue nggak akan kepikiran lagi buat ninggalin lo disini, Si!" sahut Ega kemudian.
Seketika aku menoleh ke arah Ega, aku memerhatikannya dengan mimik yang tak mengerti akan maksudnya. Namun kemudian, mungkin Ega tahu maksud dari ekspresi wajahku, karena ia langsung melanjutkan kata-katanya itu.
"Dia adalah masa depan gue, Si. Bagaimana pun caranya dan sejauh apapun keberadaannya, gue harus ngelindungin dia. Karenaaa, gue nggak mau kehilangan dia apapun alasannya.." jelasnya.
JLEB! Rasanya tuh nancep banget kata-kata si Ega. Bagaimana tidak, dia memberiku 'kode' atas orang yang ia maksud. Sesekali matanya melirik ke arah Thea, karena 'DIA' adalah Thea. Lalu maksudnya, dia akan pergi juga? Ke Prancis?
"Egaa,, kenapa lo nggak bilang-bilang ke gue!!? Ngeselin lo!" tanyaku kesal.
Ega hanya tersenyum memberiku tanda jika ia tak merasa bersalah akan itu. Astagaaa,, seburuk itukah aku sampai-sampai Ega nggak mau memberitahuku keberangkatannya dan semua rencananya itu?! Ya Tuhan, padahal sebelumnya aku mengharapkan Thea untuk tetap tinggal, tapi sekarang justru sahabat kecilku juga akan meninggalkanku. Jika ini jalan mereka, aku ikhlas.
"Awas lo sampai ngebuat, Thea, nangis gara-gara lo!!" aku sedikit mengancamnya sembari mencubit perutnya dengan licik. Licik, karena itu semua hanya kesengajaan belaka.
"Aduh!" Ega terpekik. Kesakitan.
"Terusin aja lo nyubitin gue begini! Udah lama kan lo nggak nyubitin perut gue!?" Ega pun kesal.
Oh. Dengan senang hati aku akan melakukan hal itu. Tanpa dibayar pun aku mau ngelakuin hal itu 24 jam. Pasalnya, Ega paling nggak suka perutnya aku cubitin. Apalagi kalau sampai cubitanku ninggalin bekas tato diperutnya. Gosong. Itu sih amazing buat aku. Haha....

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang