Break??

186 7 8
                                    

Sepeninggal Kribo dari rumahku, dan saat aku hendak masuk ke dalam rumah, sepertinya aku mendengar suara motor berhenti di depan gerbang.

Motor sport berwarna hitam itu begitu asing bagiku. Pasalnya, tidak ada satu pun teman atau kerabat yang sepertinya mempunyai motor jenis itu.

Aku pun mengurungkan niat untuk masuk ke dalam rumah dan memilih untuk tetap berdiri di teras menunggu si prngendara motor menghampiriku.

Aku mengamati setiap pergerakan si pengendara itu. Seperti sedang tergesa-gesa, ia pun akhirnya melepas helm hitam yang dikenakannya.

“DIGO!” aku berseru mendapati sosok dibalik pengendara motor itu adalah Digo.

Dari pintu gerbang, ia berlari ke arahku dengan cepat. Sepertinya ia takut jika aku tak mau menemuinya.

Ok. Aku menungunya sampai ia memberanikan diri untuk berbicara padaku.

“Sii..” sapanya.

Aku tak bersuara. Hanya saja aku mengangkat kedua alisku untuk menjawabnya ‘apa?’.

“Akuuu...” kata Digo dengan nada takutnya.

Aku masih tak bersuara. Aku hanya memandangnya dengan rasa bosan.

“Akuu.. Aku mau bilang, untuk sementara waktu kita break aja.”

Aku mengernyit mendengar kata-kata Digo barusan. Break?

“Iya, sementara ini kita break dulu aja. Maaf aku nggak bisa basa-basi! Karena....”

“Break?” aku memotong pembicaraannya.

“Kamu mau kita break?” tanyaku lagi menegaskan.

Rait wajah Digo terlihat tak karuan. Antara bingung dan takut terlihat jelas dari wajahnya. Sementara aku, untuk kali ini aku bersikap santai. Tanpa beban memikirkan kata-kata yang dikatakan Digo. Asal dia tahu, aku sudah mempersiapkan batin untuk keadaan ini.

“Maaf, Si, sepertinya itu yang terbaik!”

“Terbaik? Buat siapa? Buat aku atau terbaik buat kamu?”

“Terbaik buat kita berdua, Si. Karena hanya ini jalan buat kita...”

“Kata break itu cuma terbaik buat kamu, Digo, enggak buat aku!” aku memotong kembali pembicaraan Digo.

Digo tak bergeming. Mulutnya masih menganga karena ia belum usai berbicara.

“Sekarang aku tanya sama kamu. Kalau pun hanya karena masalah aku cemburu sama Dira, kenapa kamu sampai ngajakin aku break kaya gini?”

Digo gelagapan mendengar pertanyaanku. Dan dari sikapnya, sepertinya aku tahu apa yang akan dikatakan Digo padaku.

“Kamu suka sama, Dira? Atau malah, kamu cinta sama dia? Iya?” tanyaku to the point.

“Sii..”

Digo terkejut mendengar pertanyaaku yang pasti membuat dia membisu. Tapi bola matanya tak bisa berhenti berputar, berpikir bagaimana cara untuk menjawab pertanyaanku.

“Ok. Nggak usah kamu jawabpun aku udah tahu. Tapi aku nggak mau kalau kita sampai break kaya gini!!”

“Sii...” Digo mencoba menyangkal.

“Ok-ok, aku minta maaf sama kamu! Aku minta maaf karena aku punya perasaan yang salah. Nggak seharusnya aku punya perasaan ini. Aku suka sama Dira. Dan jujur, Dira adalah perempuan pertama yang aku suka sejak aku kecil. Tapi aku cinta sama kamu, Si. Dan aku bingung, aku dilema saat tahu kedatangan Dira kesini karena kita berdua itu ternyata dijodohin sama orang tua kita.”

JLEB. Rasanya ada tombak tajam mengenai jantungku barusan. Sampai-sampai aku tak bisa merasakan nafasku sendiri. Apa aku akan mati? Jauh diluar dugaanku. Ternyata ada perjodohan dibalik kedekatan mereka.

Digo mendekatiku. Ia meraih kedua tanganku dan kemudian memandangku lekat-lekat.

“Aku bener-bener minta maaf sama kamu! Karena aku nggak mau semuanya semakin panjang. Aku tahu kamu sakit karena aku. Tapi aku nggak bisa bohong. Kasih aku waktu untuk berpikir. Kasih aku waktu untuk bener-bener bisa ngejauhin perasaan bersalah aku.”

“Aku mau kita putus, Digo!” ucapku lirih.
Digo mendelik. Ia terkejut mendengar kata-kataku barusan.

“Si, kamu apa-apaan minta putus? Aku cuma mau kita break, bukan putus!” Digo tetap bersikuku dengan pendapatnya.

Aku melepas genggaman Digo dan kemudian melangkah mundur menjauhinya.

“Ini nggak adil buat aku, Digo. Kamu membuat pilihan untuk break, tapi kamu ngegantungin perasaan aku dengan keegoisan kamu. Kamu nggak adil!”

“Tapi, Si..”

“Aku mau kita putus. Dengan putus, kamu lebih leluasa untuk berpikir. Antara aku atau Dira...”

Aku perlahan meninggalkan Digo di teras rumah.

“Si...” Digo pun mencoba mencegah.

Tapi aku tetap berjalan meninggalkan dia tanpa berniat untuk berhenti dan memandangnya. Rasanya aku ingin menangis lagi. Karena hati ini terlalu perih untuk menerima sebuah kenyataan yang sama sekali nggak pernah aku menduganya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang