whaaatt

161 10 0
                                    

Seiring berjalannya waktu, aku memang benar-benar bisa menerima Thea. Lebih tepatnya menerima keadaan. Aku bisa menerima kenyataan karena itu adalah pilihan orang tuaku. Aku akui itu sulit tapi orang-orang di sekitarku selalu meyakinkanku untuk itu. Jika mengingat masa itu, saat Thea yang tak pernah menyerah untuk membuatku menerimanya kembali. Bahkan dia berusaha untuk membuatku sekedar melihat dan menatap wajahnya. Dalam hitungan bulan aku tak sekalipun melakukan itu. Bodohnya aku jika aku tak sadar jika dalam satu nafas ada dua orang yang hidup dalam nafas itu. Dan itu adalah Mama dan Thea. Dan lebih durhakanya aku terhadap Mama jika aku tak memperbaiki hubunganku dengan Thea. Kebahagiaan Mama adalah melihat hubunganku dengan Thea membaik. Menjalani hidup dengan rasa suka seperti dulu. Mungkin itu adalah hal kecil, tapi aku tahu bagi seorang ibu, melihat anaknya bahagia adalah hal terbesar dalam hidupnya.
----
"Hallo. Kribo, lo dimana?"
"Lagi di jalan. Lagi nyetiiirr!!" jawab Kribo setengah berteriak.
"Kemana?! Lo ke rumah deh, Bo, bentar! Ada tugas negara buat lo!"
"Iyaa, iyaaa, gue ke sana!!"
Klik. Aku menutup ponselku seusai menghubungi Kribo.
Kribo. Dia sahabat yang selalu ada ketika Thea dan Ega pergi. Jika mengingat masa sekolah, aku sering menghina dia "bercanda" , tapi dia menerimnya. Aku sering kesal padanya, tapi dia justru senang membuatku kesal seperti itu. Dari situlah persahabatan terjalin dengan hangatnya. Meski dulu sempat aku tak mau mengenal sosok lelaki yang memiliki rambut yang paling aku nggak suka. Kribo. Tapi ternyata aku salah, itu hanyalah hal fisik yang orang lain maupun aku sendiri tak tahu jika kebijaksanaan orang tak pandang fisik atau penampilan. ✌
Dan berjalannya kedewasaan ini membuatku dituntut untuk benar-benar bersikap bijaksana. Bukan hanya dalam persahabatan atau asmara, tapi juga jalan dalam masa depanku. Kalian tahu, bukan hal yang mudah mengurus semua kebutuhan 'chatering' seorang diri. Iya, chatering. Setelah kepergian Mama, sebagai anak satu-satunya, aku diharuskan mengurus itu. Yang akhirnya membuat kuliahku amburadul nggak karuan dan bisa dibilang 'putus' sekolah. Mungkin memang udah jalan kalau aku harus mengurus usaha orang tuaku disaat aku masih belum genap 20 tahun.
Tapi bersyukurnya aku yang sampai detik ini dibantu dengan kerja keras Kribo. Iyaa, itu si Kribo. Dia banting tulangnya membantuku sampai-sampai kerja keras itu membuahkan hasil yang bisa dibilang memuaskan.
Ditahun ke 6 aku menggeluti usaha warisan orang tuaku ini, ada 3 cabang chatering yang akhirnya berjalan dibeberapa kota. Dan itu nggak lain juga dari usaha Kribo. Dulu, dia juga memutuskan untuk menghentikan kuliahnya dan lebih memilih bekerja dan membantuku. Karena alasan ekonomi akhirnya dia menghentikan sekolahnya. Aku tahu, semua yang terjadi sekarang ini atas kehendak Tuhan, aku, Kribo menghentikan sekolah bukan tanpa alasan. Dan alasan itu tanpa kita sadari mampu membuat kita lebih cerdas. ✌
Dan sore itu hampir pukul 5 sore, dan aku tengah seorang diri di ruang kerjaku. Merasa tubuh ini lelah, aku merebahkannya dikursi kerjaku. Gemercik suara air mancur di halaman dekat ruangan itu membuatku merasakan ketenangan. Ditambah silir angin yang berhembus lembut ke dalam ruanganku, membuatku semakin ingin merasakan ketenangan ini lebih lama.
Namun ternyata, keinginan itu sirna seketika saat aku mendengar suara aneh dari luar ruangan.
Sreekk sreekk sreekk....
Suara itu seperti langkah kaki yang sepertinya ia sedang mengendap-endap. Beberapa langkahnya ku dengar dengan tidak sengaja menginjak daun kering yang berserakan di halaman. Aku curiga ada orang yang akan berbuat buruk di luar sana. Tapi kecurigaan itu juga bercampur rasa takut yang luar biasa. Pasalnya, aku tak pernah merasakan hal yang aneh seperti ini. Dan ini untuk pertama kalinya.
"Jangan-jangan ada orang jahat?! Atauuu jangan-jangan ada hantu sore-sore gini?! Kan kata orang hantu itu keluar saat matahari mulai terbenam. Tapi sekarang, jam 5 aja belum, matahari juga masih seneng-seneng aja tuh nangkring di atas. Ya belum jam die tidur.. " pikirku dalam hati.
Tapi perasaan ini nggak bisa bohong. Mendadak jantungku bergedup kencang karena ketakutan. Aku pun kemudian ikut mengendap-endap ke arah cendela bermaksud untuk mencari tahu.
Ya Tuhan, semoga tidak terjadi hal buruk padaku. Amin.
Untuk berjaga-jaga, bermaksud untuk melindungi diriku sendiri, entah benda apa yang sempat aku raih dari rak yang tak jauh dari cendela. 'Cuma buku'
Sesampainya di cendela, aku meneropong kepenjuru halaman. Ternyata aku tak menemukan seorang pun di luar sana. Tak ada pergerakan yang mencurigakan seperti saat aku mendengar suara aneh sebelumnya. Dan menyadari itu, tiba-tiba tubuhku keluar keringat dingin. Bagaimana tidak, pikiranku terfokus akan hantu yang terlintas dalam benakku. Bulu kudukku pun juga berdiri dengan tegasnya. Iya, di era yang udah modern ini, aku masih takut dengan hal yang berbau mistis. Nyaliku ciut meski hanya sekedar mendengar cerita orang tentang hal-hal seperti itu.
MAMMAAA....
Dalam hati tiba-tiba aku menjerit. Ketakutan. Serasa nggak punya tenaga untuk berdiri. Dan bahkan darah yang mengalir di tubuhku ini rasanya berhenti mengalir. Tenggorokanku rasanya kering. Nafas ini juga ngos-ngosan layaknya orang lagi lari 2km. Tapi nafas ngos-ngosan ini bukan karena hal itu, tapi...
"Tangann.. Tangaann...." aku terpekik.
Entah seberapa keras suara yang keluar dari bibirku saat itu. Rasanya aku tengah berteriak, tapi kenyataannya hanya semut yang bisa mendengar suraku. Kecciiilll banget.
Aku melihat ada sebelah tangan yang tiba-tiba muncul dari balik cendela. Tangan itu terlihat lusuh, kering layaknya nggak ada darah mengalir di tubuhnya. Dan tangan itu juga bergerak-gerak lambat mengerikan. Serasa melihat film horor. Bukan. Bukan sekedar film, tapi ini nyata. Aku melihat sosok tangan dari hantu. Iya, itu tangan hantu.
"Hhuuaa, nggak bisa gerak! Nggak bisa gerak!!! Aaarrggg!!! Nggak bisa gerak...." teriakku.
Rasanya tuh kaki terkena lem yang rekat banget, sampai-sampai aku nggak bisa gerak meski sekedar menggesernya, apalagi lari maraton.
Untuk pertama kalinya aku melihat makhluk gaib. Meski tak nampak muka, tapi baru ngelihat tangannya aja aku udah kayak gini. Gimana kalau sampai tatap muka sama si muka jelek itu. Mungkin pingsan.
"Ya Tuhan, aku nggak pernah pengin tahu makhlukMu yang nggak kasat mata itu...  Beda wajah, beda jenis, beda dunia, makan, minum, beda semuaa Tuhan.. Please please please... Jauhkanlah aku dari mereka... Amin amin amin amin amin...."
Dengan sedikit menutup mata, ngintip-ngintip dikit juga sih, bibirku komat-kamit, berdo'a agar aku dijauhkan dari makhluk-makhluk itu. Karena tubuh ini benar-benar nggak bisa digerakin sedikitpun. Bahkan sampai aku nangis karena ketakutan, kaki ini nggak bisa diajak kompromi buat kabur.
Keadaan pun hening mencekam, dan kemudian...
RRAAAAARRRRRWWWW ...
AAARRRGGHH !!!!!!
Aku berteriak hebat saat makhluk itu meraung layaknya singa. Tapi lebih menakutkan dia dari pada singa. Suaranya begitu berat, mengerikan di telinga.
"Eehhh...." tiba-tiba suara seseorang terdengar aneh ditelingaku.
Suara itu muncul bebarengan saat aku jatuh tersungkur ke belakang saat aku histeris mendengar raungan itu.
Aku mengelus-elus pantatku yang kurasa amat sakit saat terjatuh.
"Sooorryyy!"
Suara itu terdengar lagi. Dan kali itu aku mengenal betul suaranya.
"DIGGOOOOO......"
Aku berteriak kencang. Kesal. Suara itu adalah suara Digo. Dan artinyaaaa,, semua yang terjadi saat ini adalah kelakuan Digo.
PLAK!
Buku yang ku bawa tadi mendarat sukses di perutnya saat aku melemparkannya ke arah Digo.
"Aduh!" Digo terpekik.
Aku sangat tahu kalau itu akan menyakitkan bagi dia. Dilempari buku yang nggak jauh tebalnya sama novel Harry Potter yang ratusan halaman itu.
Sakit mana coba sama aku yang deg-degan, sesak, takut, trus jatuh, abis itu kaget pula sama kelakuannya. Itu klimaks banget.
"Sakit tauuu..." ucap Digo sembari mengelus-elus perutnya.
"Bodo amat!!"
Aku pun berdiri yang kemudian meraih kursi dan duduk.
"Nggak disuruh masuk nih?!" tanya Digo berhati-hati.
"ENGGAK!!"
"Kok gitu??"
"Emang harus dijelasin kenapa???"
Digo terdiam yang aku tahu dia masih mengelus-elus perutnya kesakitan.
"Kenapa?"
"Astaga Digoo! Kamu lihat kan nggak ada pintu di sini?! Yang ada cuma cendela!! Kalau mau masuk lewat pintu. Bukan lewat cendela! Nggak sopan lewat cendela!! Isshhh..." jelasku dengan gemas.
"Eh iya.." dengan gelagat blo'onnya itu, dia pun mengerti dan kemudian pergi.
"Ya Tuhan, pacar gue.. Apa salah mengajak Kribo masuk dikehidupan gue?! Karena semenjak Digo dekat dengan Kribo, dia jadi ketularan blo'on. Ya amsyooong. Pacar gue pacar guee..." aku pun nyerocor sepeninggal Digo. Tapi ya emang itu bener. Semenjak mereka dekat, Digo semakin hari semakin NGOK! Tapi syukur, itu nggak nurunin porsi kegantengannya. Tetep, Digo paling ganteng dari semuanya. Pacar guee..
----

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang