Thea?

273 12 0
                                    

Digo benar-benar tak menjawab pertanyaanku. Dia masih tertunduk dan terdiam. Suaraku yang masih terdengar lemah itu tak membuatnya merubah sikap anehnya. Bahkan air mata yang mengalir karena keamarahan ini juga tak membuatnya sedikit melihatku. Iya, disaat aku masih merasa daya tegarku masih lemah, aku telah dibuat Digo marah hanya karena hal kecil seperti ini. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibirku hanyalah hal kecil. Hal kecil yang seharusnya mudah untuk dijawab. Tapi kenapa Digo bersikap seperti itu? Kenapa ia tak menjawab pertanyaanku?
"Ok, diam aja selama mungkin yang kamu mau! Kamu nggak perlu menjawab satu pun dari pertanyaanku. Dan aku nggak akan mempertanyakan apapun lagi ke kamu. Cukup kamu membuatku marah hanya karena hal seperti ini.." ucapku kemudian. Aku mengakhiri kekesalanku karenanya. Dan ternyata kata-kataku itu membuat Digo menatapku.
"Siii..." ucapnya dengan nada terkejutnya. Ia memperlihatkan padaku jika ia tersentak dengan kata-kataku. Karena kepalanya yang tertunduk, tiba-tiba pandangannya menatapku kebingungan. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Sampai-sampai aku sendiri tak mengontrol emosiku. Padahal aku baru saja menjalani transplantasi jantung beberapa waktu lalu. Tapi Digo, dengan mudahnya membuatku marah seperti ini.
"Aku nggak mau ngelihat orang yang ngebuat aku marah! Aku nggak mau ngelihat orang yang udah ngebuat aku kecewa!" lanjutku. Mendengar itu Digo pun kebingungan. Sikap bingungnya memberitahuku jika ia tak tahu harus berbuat apa agar aku tetap membiarkannya di ruangan itu. Mungkin dia mengerti jika aku kecewa karenanya. Dan mungkin ia juga mengerti jika aku mengusirnya dari
"Tapi, Si.."...
"Lebih baik kamu pergi, Digo!!" dengan cepat aku memotong pembicaraannya. Aku menyuruhnya untuk pergi dari kamarku, karena kekesalan ini membuatku tak mau melihatnya hanya tertunduk dan tak menghiraukanku. Dan tanpa memberi waktu untuk Digo membela diri, aku pun membuang mukaku darinya. Semua itu memberinya tanda jika aku tak mau lagi mendengar kata-katanya. Dan menurutku sikapku seperti itu padanya membuatnya takut.
Namun ternyata sikap dinginku itu tak membuat Digo segera melangkahkan kakinya keluar dari kamarku. Aku tahu jika ia  memandang wajah kesalku meski aku tak menatap wajahnya. Dan aku tahu jika ia berusaha meraih tanganku meski aku tak melihatnya. Aku bisa merasakan itu. Karena aku tahu jika Digo akan merasa bersalah jika ia telah membuatku kecewa seperti ini.
Namun disaat yang bersamaan saat aku mengusir Digo, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Sreeekkk.. Yang kemudian dibarengi dengan suara hentakan kaki yang terdengar tergesa-gesa. Aku tak tahu siapa yang akan masuk ke dalam kamarku, karena tubuhku yang masih dalam keadaan tidur menghalangi pandanganku ke arah pintu. Tapi tak lama kemudian....
"Sisiiii... Ya Tuhaaann!!! Terima kasih..." . Aku mendengar dengan lantang suara itu. Sembari berjalan menghampiriku, Kribo berteriak mengucap syukur saat ia mengetahuiku telah tersadar. Ya Tuhan, heboh, dia selalu heboh.. (・_・ヾ
"Sissiii... Syukurlah lo udah sadar!!" ucap Kribo yang kali itu telah berada di dekatku. Dia menampakan wajah bahagianya saat melihatku telah membuka mata. Aku senang melihatnya dengan wajah bahagianya itu. Dan terlebih lagi saat melihat rambutnya yang masih bertahan di ukuran satu senti.
Menyambut kedatangan Kribo, aku hanya tersenyum melihatnya. Bukannya aku tak senang karena kedatangannya, tapi karena moodku masih ngedroooop karena Digo, jadi rasa bahagia karena kedatangan Kribo membuatku sedikit kaku.
"Si, lo kenapa? Nggak suka gue datang?" tanya Kribo kemudian. Mungkin ia tahu jika aku terlihat berbeda.
"Enggak kok, gue seneng lihat lo disini. Seneng banget malah! Tapi gue ngerasa ngap banget kalau ngelihat orang yang nggak jujur sama gue. Padahal udah gue usir, tapi dia nggak pergi-pergi.. Rese kan?!" jawabku sinis sembari sesekali mataku melirik ke arah Digo. Sebenarnya aku mengisyaratkan pada Kribo jika orang yang aku maksud adalah Digo. Dan kata-kataku itu seketika membuat Digo menundukkan kepalanya lagi. Aku tahu dia akan mencerna dengan cerdas siapa orang yang aku maksud. Karena tidak ada orang lain lagi selain dia sebelum Kribo datang. Tapi ternyata kata-kataku itu tak secepat kilat dimengerti oleh Kribo. Dia mengernyit memberi tahuku jika ia tak mengerti. Dan itu membuatku semakin marah karena aku harus menjelaskan kata-kataku lagi.
"Menurut lo siapa lagi orang disini selain lo? Dan menurut lo gue ngusir siapa sebelum lo datang ke kamar gue?" tanyaku tegas pada Kribo. Suatu pertanyaan yang tidak mungkin tidak untuk dia mengerti. Karena seusai aku melontarlan pertanyaan itu, Kribo langsung menoleh dan kemudian memandang Digo yang masih menundukkan kepalanya itu.
"Lhoh, emang dia udah ngapain lo?" tanya Kribo bingung.
"Apa salah kalau gue tanya siapa yang udah donorin jantung ini buat gue? Dia bilang dia nggak tahu. Trus gue tanya nyokap gue kemana? Dia malah diem aja! Dan sampe' sekarang dia juga nggak ngejawab itu! Trus salah kalau gue marah yang sampai akhirnya gue ngusir dia!!?" jelasku dengan nada sedikit meninggi. Tapi kali ini nada itu membuatku merasa jika dadaku sakit kembali. Ya Tuhan aku melupakan kondisiku.. (´・_・')
Digo dan Kribo yang melihatku tiba-tiba kesakitan, spontan mereka berteriak memanggil namaku dengan bersamaan. "Sisiii...." teriak mereka khawatir. Mereka juga memperlihatkan jika mereka takut akan kondisiku.
"Aku nggak apa-apa!!" ucapku mencoba menenangkan mereka. Aku juga menghela nafas panjang berulang kali agar kondisiku kembali seperti semula. Dan bagiku itu cukup untuk mengembalikan kondisiku, tapi ternyata tidak bagi Digo dan Kribo. Mereka masih terlihat panik saat mengetahuiku belum membaik.
"Sii.." ucap Digo khawatir. Tapi aku tak menghiraukannya, justru aku memandang wajah Kribo dengan kesakitan.
"Mama kemana? Apa lo juga nggak mau ngejawab pertanyaan gue?!" tanyaku pada Kribo. Aku meyakinkannya jika aku butuh jawaban itu. Karena pikiran buruk akan sikap aneh Digo membuatku takut.
Dan mendengar itu, Kribo menundukkan kepalanya sejenak yang kemudian dengan cepat ia mengembalikan pandangannya kearahku. "Nyokap lo baik-baik aja, Si!" jawabnya dengan nada yang tenang. "Tapi, gue nggak tahu dia dimana. Karena saat gue datang kesini, gue nggak ketemu sama dia. Mungkin makan, atau nebus obat buat lo, atau nggak dia pulang buat ganti baju mungkin. Kasihan juga, Si, nyokap lo nungguin lo bangun.." lanjut Kribo menjelaskan. Mendengar itu aku lega, tapi aku masih nggak suka kalau Digo bersikap seperti itu.
"Trus kenapa dia nggak jawab saat gue tanya?!" tanyaku pada Kribo sembari memberi isyarat jika dia yang aku maksud adalah Digo. Digo pun gugup kembali saat aku memandang wajahnya dengan raut wajah kesal.
"Aaaku aku takut kalau kamu lebih kecewa saat tahu Mama kamu pulang. Saat kamu sadar ternyata Mama kamu nggak ada disamping kamu, dan dia malah pulang buat ganti baju kayak yang dikata Kribo.." jelas Digo kemudian dengan nada yang terdengar begitu hati-hati.
Aku menatapnya dengan mimik yang seketika berubah menjadi sendu. Bahkan mata ini juga serasa ingin mengeluarkan air matanya. "Kalau emang itu alasannya, kenapa kamu harus diam seolah-olah ada yang tengah terjadi sama Mama?! Mungkin kamu benar kalau aku akan kecewa saat tahu orang tuaku nggak ada disamping aku saat aku tersadar. Tapi bagiku melihat kamu ada dihadapanku saat aku membuka mata, itu adalah suatu hal yang sangat cukup bagiku. Karena sebelumnya aku nggak pernah tahu, apa aku bisa melihat kamu lagi atau tidak. Itu cukup Digo, itu cukup!!" dengan penjelasan yang panjang lebar dan dengan suara yang begitu terdengar haru, aku pun menangis dihadapan Digo dan Kribo. Aku menangis memberi mereka penjelasan jika aku teramat bahagia. Bahagia karena Tuhan benar-benar mengabulkan doaku selama ini. Aku bisa melihat senyum bahagia dari orang-orang yang aku sayang.
"Sisi..." ucap Digo terharu. Ia kemudian mendekatiku yang sebelumnya ia berdiri dengan posisi yang berjarak jauh dariku. Sementara Kribo, ia juga memasang wajah harunya karenaku.
"Kalian berdua adalah selimut disaat aku kedinginan. Kalian berdua adalah pundak disaat aku merasa lelah. Kalian berdua adalah hidupku. Dan kalian adalah alasan dimana aku tersenyum disetiap harinya. Aku berharap kebersamaan ini nggak akan pernah berhenti sampai kita benar-benar menutup mata kita untuk selamanya..." lanjutku. Mendengar kata-kata yang keluar dari bibirku kali itu, entah bagaimana ceritanya secara bersamaan tangan Digo dan Kribo menyentuh tangan kananku. Dan aku juga tak mengerti hal yang kebetulan itu tak membuat mereka merasa aneh atau bahkan melepas tangan mereka masing-masing. Justru mereka dengan hangatnya memegang tanganku dengan hangat.
Namun kejadian itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba aku mendengar jika pintu kamarku terbuka. Dan hal itu membuat mereka melepas genggamannya dari tanganku. Suatu siatuasi yang ternyata membuatku terkejut akan kehadiran seseorang ke ruang kamarku. Tapi kemudian terselip harapan jika seseorang yang hadir itu adalah Mama. Iya, aku mengharapkan ia ada....
---
"Jadi cuma Digo sama Kribo doang yang jadi orang terpenting dalam hidup lo?!" sembari berjalan masuk ia melontarkan kata-kata itu untukku. Meski dia belum menampakan wajahnya, tapi aku mendengar jelas suara dari balik pintu itu. Dan aku yakin dia adalah Ega. Tapi anehnya ia tak segera masuk ke kamarku. Bahkan ia yang sedari tadi telah membuka pintu kamarku terdengar sibuk di luar sana melakukan hal yang aku sendiri tak tahu.
Digo dan Kribo juga memperlihatkan raut wajah yang demikian, tak tahu kenapa Ega tak segera masuk ke dalam. Namun tak lama kemudian aku mendengar jika langkah kakinya enggan melewati pintu. Tapi aku yang sedari tadi memandang pintu kemudian dikejutkan dengan roda kecil yang berputar masuk ke kamarku. Roda itu layaknya roda yang terpasang di kursi roda. Aku pun mengernyit saat mengetahui itu, dan dalam benakku juga terlintas suatu hal buruk yang tiba-tiba membuatku gelisah. Apa yang terjadi pada Ega sampai-sampai ia mengenakan kursi roda seperti itu? Mengetahui itu, aku pun menata posisi tidurku untuk lebih tegak menghadap pintu.
Namun saat ia benar-benar masuk ke dalam kamarku, seketika rasa gelisah itu berubah saat aku melihat seseorang yang duduk di kursi roda itu bukanlah Ega. Kegelisahan yang ternyata berubah menjadi rasa yang tak karuan. Aku sendiri tak mengerti rasa apa yang tengah aku rasakan saat aku melihat dengan jelasnya sosok orang yang tengah duduk di kursi roda itu. Sosok orang yang beberapa hari  ini hilang dari pandanganku.
"Thea...!!" teriakku mengucap namanya. Iya, orang yang tengah duduk di kursi roda itu adalah Thea. Dia terlihat lebih sehat dari beberapa hari lalu saat aku masih melihatnya tertidur dengan berbagai alat medis yang menancap di tubuhnya. Tapi kali ini ia terlihat berbeda. Ia nampak lebih sehat, bahkan ia nampak lebih cantik dari sebelumnya. Tapi apa artinya Thea mampu melewati masa kritisnya?
"Hhmm kalau gue, bisa jadi orang terpenting dihidup lo lagi??" sahut Thea. Suatu pertanyaan yang ia lontarkan untukku. Meski aku mendengar jika ia sebenarnya sangat berhati-hati, tapi aku tahu jika ia mencoba mengajakku berbicara.
Aku pun terdiam sejenak sembari memandang Thea dengan rasa yang tiba-tiba haru. Sebab, dari sekian hari aku menemuinya dalam keadaan tak berdaya, kini aku bisa melihatnya lagi dengan keadaan yang berbeda. "Gue adalah orang yang bodoh kalau gue menyianyiakan sahabat kayak lo!!"  ucapku kemudian. Aku tersenyum kecil saat tahu jika ia melempar senyum padaku.
"Tapi orang bodoh itu adalah gue. Gue yang menyianyiakan sahabat baik kayak lo. Sahabat yang nggak akan pernah bisa gue beli dengan uang. Sahabat yang nggak pernah bisa gue temui meski gue cari yang lain di ujung dunia mana pun.. Maafin gue, Si, yang udah nyakitin lo!! Gue pantes nerima hukuman berat dari lo. Karena gue tahu dimana letak kesalahan gue.." sahut Thea. Aku mendengar kata demi kata itu keluar dari bibir Thea dengan nada yang tak pernah ku dengar. Ada nada penyesalan yang sebelumnya tak pernah ku dengar darinya. Dan itu tulus, aku bisa merasakan itu.
Mendengar itu, aku pun kemudian mencoba meraihnya dengan tanganku. Meski jauh, aku berusaha memberitahunya agar ia lebih mendekatkan posisinya denganku. Dan tak butuh waktu lama, Thea mengerti dengan apa yang aku maksud. Ia memutar sendiri roda kursi yang ia kenakan dengan tangannya. Yang kemudian ia membalas tanganku dengan melakukan hal yang sama. Ia meraih tanganku lalu memelukku meski aku masih dalam keadaan tidur.
"Jika janji masih bisa teringkar, maka gue nggak akan pernah menjanjikan apapun buat lo. Tapi gue akan berusaha untuk mempertahankan persahabatan kita. Mempertahankan kehangatan tanpa memberi ruang untuk angin mendinginkannya. Maafin gue, Si! Gue sayang sama lo..." ucap Thea berbisik di telingaku. Dan mendengar kata-kata Thea, air mataku pun tak bisa terbendung yang akhirnya mengalir dari mataku. Namun air mata ini bukanlah air mata kesedihan, melakinkan air mata kebahagiaan. Dengan cara Tuhan, Ia mengembalikan sahabat yang sangat aku sayangi seperti Thea. Dengan jalan Tuhan, aku bisa merasakan kehangatan dalam persahabatan. Terima kasih Tuhan karena aku percaya jika janjimu tak akan pernah ingkar.

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang