(*≧m≦*)

201 11 0
                                    

Aku pun kemudian keluar dengan perasaan yang kesal akan sikap mereka. Dengan sedikit membanting pintu mobil saat aku menutup pintunya adalah bentuk dari kekesalanku.
Tadinya aku berpikir jika semua ini adalah rencana mereka untuk menyambutku pulang dari rumah sakit, tapi sepertinya aku salah. Sepertinya dugaanku salah setelah aku mendapati raut wajah Digo yang ketakutan. Iya, begitupun Kribo yang berdiri tak jauh dari Digo, dia memperlihatkan raut wajah yang sama. Lalu, apa aku salah jika kekesalanku semakin memuncak karena mereka?!
"Harus aku tanya lagi sama kalian?? Harus aku tanya lagi kenapa kalian bersikap aneh seperti ini?? Dan apa harus aku tanya lagi sama kalian apa yang kalian sembunyiin dari aku??!" tanyaku kemudian dengan nada yang sedikit kutekankan. Semua itu agar mereka tahu jika aku benar-benar kesal.
Ya Tuhan, harus dengan cara apa agar aku bisa membuka mulut mereka?!
Digo tertunduk dalam kebisuannya. Entah apa karena tak berani menatap wajahku, atau karena hal lain. Melihat itu aku merasa geram yang sampai akhirnya aku mengepal tangan kananku dengan kuat. Tapi bukannya aku ingin memukulnya, tapi ini adalah tanda dari keamarahanku yang kian memuncak. Ugh!
"Si, kalau lo mau tahu, lo ikut gue!!" sahut Kribo kemudian. Sebenarnya aku sedikit tak mempedulikan kata-katanya, tapi perasaanku mengatakan jika aku harus mengikutinya.
Tanpa mempedulikan Digo yang masih berdiam diri di tempatnya, aku pun kemudian menghampiri Kribo. Dia perlahan melangkah saat langkah kakiku hampir mendekati tempat ia berdiri. Terlihat olehku jika langkah kakinya itu terlihat begitu berat untuk melangkah. Tapi aku tak mempedulikan itu yang sedari tadi mengikuti langkah kakinya.
Rumahku benar-benar ramai dipadati orang-orang sekitar. Dan mataku pun mengenali orang-orang itu meski tak semuanya aku tahu. Yang pasti aku mengenali jika mereka adalah tetangga-tetanggaku. Layaknya ada sebuah hajatan dirumahku, mereka saling membantu mempersiapkan jamuannya. Tapi aku merasa itu aneh, aneh karena aku melihat jika semua orang yang datang mengenakan baju hitam. Itu bagiku sangat terlihat aneh. Pasalnya, sebelumnya aku mengira jika keramaian ini adalah suatu rencana kebahagiaan yang dibuat Digo, Kribo atau pun yang lainnya. Dan mungkin ini rencana Mamaku. Tapi kenapa aku melihat keanehan yang jelas-jelas terlepas dari dugaanku. Berpakaian hitam layaknya mereka tengah berduka. Iya, berduka akan kematian seseorang.
Menyadari itu aku pun seketika menghentikan langkah kakiku dengan tiba-tiba tepat di tengah-tengah pintu gerbang rumahku. Aku memperjelas pandanganku dengan apa yang aku lihat. Lalu mata ini pun menemukan sebuah benda yang tak lain adalah tanda kematian. Bendera berwarna kuning itu tengah berkibar di antara pagar besi rumahku.
Seketika jantungku berdetak sangat kencang saat aku melihat bendera itu. Bahkan tubuh ini tiba-tiba merasa lemah karena pikiran-pikiran buruk terlintas dalam benakku. "Nggak akan mungkin bendera itu tanda kematian orang-orang yang bekerja sama Mama, sementara mereka punya keluarga sendiri. Jika bukan mereka lalu siapa?!" gerutuku dalam hati.
"Si..." dengan sedikit berteriak, Kribo memanggilku yang saat itu berjarak beberapa langkah di depanku. Mungkin ia menyadari jika aku menghentikan langkahku. Dan mungkin dia tahu jika aku mulai menyadari maksud kenapa ia dan Digo terdiam akan hal ini. Mendengar suara Kribo memanggilku, aku pun menatapnya dari jauh. Aku terdiam memasang raut wajah yang berbeda dari sebelumnya.
"Yakinin gue kalau firasat buruk ini hanya sekedar firasat!!" ucapku lirih. Dengan nada yang sedikit takut, aku mencoba menyangkal pikiran-pikiran buruk dalam benakku. Karena, pikiran buruk itu tertuju pada seseorang yang beberapa hari ini tak pernah kutemui.
Dan saat itu belum sempat Kribo menjawab ucapanku, tiba-tiba aku merasakan jika ada seseorang yang merangkulku dari belakang. Digo, dia seketika merangkulku saat dia tahu aku mulai menyadari akan keadaan ini.
"Jika kebenaran membuat kamu sakit nantinya, aku akan berusaha menyembuhkan sakit itu. Karena aku tak memungkiri, kalau aku juga membuat kamu sakit akan hal ini!!" ucap Digo kemudian sembari merangkulku. Sesegera mungkin aku menoleh dan mencari raut wajahnya. Dan ternyata raut wajah ketakutannya sebelumnya kini terlihat mulai tenang. Itu terlihat saat aku merasakan kehangatan dari kedua tangannya yang mendekapku.
Dan tanpa mempertanyakan apa maksudnya, aku pun kemudian mengikuti langkah kakinya yang kali itu membawaku masuk ke dalam rumah.
Seperti ada yang menahanku untuk masuk ke dalam rumah, karena kakiku tiba-tiba terasa berat untuk melangkah. Mungkin langkah ini memberi tanda jika sebenarnya aku tak sanggup untuk mengetahui kebenarannya. Sebab, saat aku melewati orang-orang yang tengah berada di rumahku, mereka saling bersahutan mengucap kata yang sebelumnya tak pernah aku mendengarnya.
"Sisi, yang tabah ya!!"  "Sisi, yang sabar!"  "Sisi harus kuat ya nak!!" ..
Hampir semua orang-orang yang ku lewati mengatakan hal itu. Dengan nada yang sedih, beberapa dari mereka ada yang menyempatkan untuk memelukku meski hanya sebentar. Lalu, apa aku bisa berbesar hati jika pada akhirnya yang ada dalam pikiranku itu benar adanya?!
Mama. Aku merasa jika bendera kuning itu menandakan jika orang tuaku telah tiada. Bagaimana tidak pikiranku menyebut namanya. Sedangkan aku hanya tinggal dengannya. Memikirkan hal itu, langkah kakiku semakin berat untuk melangkah.
"Bukannya aku bermaksud untuk nyembunyiin kenyataan ini dari kamu, hanya saja aku nggak punya keberanian untuk itu" ucap Digo kemudian. Mendengar itu seketika aku menatapnya. Dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca, aku menatap Digo dengan perasaan yang sedih. Sedih karena aku tahu maksud dari kata-katanya. Dan Digo, dia juga kemudian menatapku dengan tatapan yang sama.
"Dan hari ini adalah hari ketujuh Mama kamu meninggalkan dunia ini..." dengan nada yang terdengar begitu takut, Digo mencoba memberitahuku. Mendengar penjelasannya kali itu, seketika aku shok dengan kenyataan yang terjadi. Bagaimana tidak, orang tuaku meninggal dunia tujuh yang hari lalu. Sedangkan aku tak tahu dan tak ada seorang pun yang memberitahuku tentang itu. Sejahat itukah mereka padaku sampai hal seperti ini mereka tak memberitahuku?! Lalu, anak macam apa aku ini yang nggak punya rasa sedikitpun terhadap orang tuaku?!
"Kalau aku nggak pulang hari ini, apa kamu tetep diam, Digo!? Dan kalau aku nggak pulang hari ini, apa kamu akan terus nyebunyiin hal ini dari aku?! Apa kamu akan terus ngebiarin aku nggak tahu?! Hah!! Jawaaabb!!" tanyaku kemudian. Dengan nada yang terus meninggi, aku memberitahunya kalau aku merasa kesal. Mungkin bukan hanya kesal, bahkan aku emosi dengan sikapnya seperti itu. Karena aku yakin, nggak akan ada anak yang bersikap biasa jika orang tuanya meninggal tanpa dia tahu. Dan aku yakin, mereka-mereka yang mengalami hal sama sepertiku akan bersikap demikian. Hanya orang bodoh yang nggak punya perasaan jika dia bersikap biasa saat orang tuanya meninggal.
Meski aku tahu, seseorang meninggal bukan berarti ia benar-benar pergi dari dunia ini. Aku tahu mereka akan tetap hidup meski akhirnya kita tak bisa melihatnya dengan kedua mata kita. Tapi kali ini, kenyataan yang aku alami membuatku tak mengerti. Orang tuaku meninggal disaat aku terbaring tak sadarkan diri. Dan kenapa orang-orang disekitarku menyembunyikan kenyataan ini dariku?
Dan sejenak keadaan pun hening. Digo terdiam dengan menundukkan kepalanya. Dan orang-orang disekitarku pun tiba-tiba mengehentikan aktifitasnya masing-masing. Mereka memandangku meski tak mengucap kata apapun. Entah, apa yang ada dipikiran orang-orang itu padaku. Yang pasti aku tahu jika mereka sebenarnya takut dengan sikapku yang tiba-tiba membuat mereka tersentak.
Tapi aku tak mempedulikan itu, karena rasa sakit dan kecewa ini mampu membuatku melakukan itu. Dan air mata ini yang kemudian mengalir dengan derasnya membuatku semakin merasakan kekecewaan yang begitu mendalam.
"Si, kita emang salah, dan kita akuin itu. Tapi kita juga punya alasan kenapa kita harus nutupin ini dari lo. Gue harap lo ngerti.. Daann, gue mohon lo tenang, gue akan nunjukin sesuatu biar lo ngerti kenapa kita kayak gini..." sahut Kribo dari jauh. Dia berdiri tepat di depan pintu kamar Mamaku usai ia menutup pintunya. Dengan sedikit mengeraskan volume suaranya itu, dia mencoba menenangkan emosiku.
Aku pun terdiam meski sebenarnya aku marah terhadap semuanya. Tapi tanpa mempedulikan hal itu, kemudian Kribo berjalan mendekatiku dengan langkah yang pasti. Aku melihat jika tangan kanannya terselip sesuatu yang menyita pandanganku. Kertas putih seperti sebuah amplop. Apa itu untukku? Apa itu yang dia maksud?
Dan ternyata dugaanku benar, tak lama setelah itu ia menyodorkan amplop putih itu saat ia berdiri tepat dihadapanku. Sebenarnya aku tak mengerti apa maksudnya memberi surat itu. Dari siapa surat itu? Dan kenapa semua jawaban akan kenyataan ini ada di surat itu?
"Setidaknya lo akan ngerti kenapa kita semua bersikap gini setelah lo baca surat ini!!" ucap Kribo sembari memberikan surat itu padaku. Dengan perasaan yang tak karuan, aku pun kemudian menerima surat itu darinya.
Dan perlahan akupun membukanya. Dengan berjalan menuju kamarku, aku membaca surat itu. Surat yang tertulis oleh tangan seorang ibu untuk anaknya.
----

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang