Lagi??

113 9 9
                                    

-----
Tanganku mengepal bermaksud untuk mengetuk pintu rumah Digo. Namun kemudian aku mengurungkan niat itu.
Aku masuk begitu saja ke dalam rumahnya. Sedikit mengendap-endap karena aku ingin mengejutkannya dengan kedatanganku. Celingukan kesana kemari. Mengamati setiap pergerakan di rumah Digo, namum aku tak merasakan ada kehidupan di rumah itu. Sepi.
Andai tidak ada siapapun di rumah itu, kenapa pintu rumah terbuka? Pasti Digo di rumah!
Aku terus mencari Digo disetiap sudut rumahnya. Sampai akhirnya aku mendengar sesuatu yang terdengar 'berisik' ditelingaku saat aku mendekati kamar Digo.
Rasa penasaranku semakin meninggi saat aku mendengar kegaduhan di kamar Digo. Pintu kamarnya sedikit terbuka yang membuatku bisa mencari jawabanya lewat cela pintu.
BRAK! Dengan kasar akhirnya aku membuka pintu kamar Digo. Raut wajahku pun berubah seketika. Dengan mudah, Digo mampu merubah-ubah moodku secepat ini.
Ada Dira di kamar Digo. Lebih tepatnya hanya ada mereka berdua di tempat yang terbilang privasi itu. Lalu, apa yang sedang mereka perbuat?
Aku yakin, saat itu wajah dan mataku memerah karena marah. Dan saat itu pula, rasanya denyut jantungku berhenti sesaat karena menyaksikan Dira dan Digo berada di tempat itu.

"Kalian..?" pekikku pelan.

Ok. Mereka tidak berbuat senonoh. Mereka tidak berbuat lebih dari seorang perempuan dan laki-laki yang belum menikah. Tapi untuk apa Dira sampai tidur dipangkuan Digo? Aku tahu mereka hanya sama-sama memegang stick game. Tapi kenapa mereka becanda sampai seperti itu?

"Sisi.." Digo pun gelagapan mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Begitupun Dira yang terlihat sama paniknya.

"Sii, kamu kapan datang?" Dira pun bersuara.

Tapi aku diam tak bergeming. Mataku seketika berkaca-kaca merasakan kekecawaan yang mendalam karena Digo. Sampai akhirnya air mata ini tak bisa tertahan. Aku pergi dari hadapan mereka berdua saat itu juga. Seperti telinga ini tidak mau mendengar penjelasan yang akan di utarakan mereka. Mata ini terlalu meyakinkan aku jika Digo dan Dira bersikap lebih dari sekedar sahabat.

"Sii... Sisiii...." teriak Digo memanggilku.

Aku tak sedikit pun punya niat untuk berhenti dan mendengar penjelasan darinya. Aku terus berlari menghindar dari kejaran Digo.

"SISIII... TUNGGU!" kali ini Digo benar-benar mengejarku. Tapi aku tetap saja tak menghiraukan dia. Sampai akhirnya dia berhasil mencegahku saat aku hendak membuka pintu mobil.

"Apa? Mau jelasin ke aku kalau apa yang aku lihat itu salah? Kalau yang aku lihat itu nggak sama sekali apa yang ada dipikiran burukku? Ok. Kalau emang begitu aku yang minta maaf, karena aku udah berpikiran buruk sama kamu dan teman kecil kamu itu!"

"Tapi emang kenyataannya begitu. Aku mohon sama kamu, jangan berpikir yang nggak-nggak tentang aku sama Dira. Please!"

"Ok. Aku hilangin pikiran itu dan nggak akan lagi berpikir buruk tentang kalian. Tapi satu hal, biarin aku pergi!" tegasku.

"Tapi, Si..." Digo berusaha mencegah.

"BIARIN AKU PERGI!!" tegasku sekali lagi.

Aku melepas paksa genggaman Digo. Dan kemudian masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikannya. Aku meninggalkannya begitu saja tanpa memberi dia kesempatan untuk memintaku tetap tinggal.

Air mata ini tak bisa ku bendung lagi setelah aku benar-benar jauh dari hadapannya.

Luka lama, meski sembuh tapi sampai kapan pun akan tetap membekas meski aku tak mengingatnya. Dan kini rasanya hati ini terluka lagi dengan goresan baru. Dan yang lebih menyakitkan, orang yang sama yang melakukan itu.

--------------

Aaaa... baper nggak sih? Aku yg nulis sih baper #lhoh .. 😆

Btw btw btw btwwww,,,, tengok new story ku ya. Love is(not) Blind. Menceritakan sebuah cinta dan kesetiaannya... 💜💜
Happy reading 🙌🙌

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang