Sad..

418 23 1
                                    

Mendengar penjelasan Digo mengenani Thea, ternyata benar-benar membuatku hancur. Mungkin rasa itu terselip keamarahan padanya, tapi apa yang harus ku perbuat jika semuanya telah terjadi. Suatu keadaan yang aku sendiri tak tahu harus berbuat apa. Aku kecewa dengan perbuatan buruk Thea padaku. Tapi di sisi lain aku juga merasa sedih. Aku tahu ia melakukan semua itu demi kebahagiaan dia. Tapi apa kebahagiaan dia harus mengorbankan kebahagiaan sahabatnya sendiri. Aku tak pernah menyangka jika seorang Thea tega melakukan itu padaku. Tapi aku juga nggak bisa menyalahkan Thea begitu saja, karena mungkin aku juga merasakan hal yang sama sepertinya. Merasakan hal yang orang lain tak pernah merasakannya. Menjadi orang yang berusaha untuk tetap tegar dalam melawan penyakitnya, bagiku adalah hal sulit. Bagiku itu tak mudah, tetap tersenyum saat benak ini terlintas akan kata kematian. Meski aku tahu jika manusia bagaimana pun itu caranya, pasti ia akan di hadapkan dengan kematian. Tapi, mati sempurna dihadapan Tuhan adalah suatu harapanku.
"Ya Tuhan, Sisi mohon selalu kuatkan Sisi!!" ucapku dalam hati. Aku yang saat itu masih terbalut dalam kesedihan, dan air mata ini pun masih setianya mengalir. Berkali-kali Digo memintaku untuk menghentikan tangisku, tapi semakin ia menenangkanku, tangis ini pun semakin derasnya mengalir. Karena hati ini masih terasa perih. Dan kepedihan itu terus membuatku merasa kecewa...
"Sisii..." ucap Digo memanggilku. Itu adalah kesekian kalinya Digo memanggilku. Tapi aku sedari tadi tak menghiraukan dia yang berada di sampingku, justru aku membuang muka darinya karena menyembunyikan tangisku. Tapi kali itu, saat aku mendengarnya memanggilku lagi, aku pun kemudian menatapnya karena sebenarnya aku menginginkan sesuatu.
"Siii..." ucapnya lirih.
"Bawa aku ke kamar Thea!!" pintaku pada Digo. Tanpa basa-basi, aku pun bangun dari tidurku tanpa harus meminta Digo untuk membantuku bangun. Bahkan ia belum sempat mengiyakan permintaanku. Tapi aku memaksakan kehendakku untuk itu.
"Sii,, tapi kamu belum pulih..." ucap Digo yang aku tahu jika ia mencoba untuk melarangku. Aku tahu jika ia mencegahku untuk itu, tapi aku yang terus memaksakan kehendakku tak sedikitpun mempedulikan Digo.
"Untuk apa rumah sakit nyediain kursi roda kalau pasiennya nggak butuh!?!!" jawabku kemudian dengan nada yang tiba-tiba meninggi. Dan kata-kataku itu ternyata membuat Digo tersentak. Tapi kata-kataku itu tak membuat Digo harus berpikir panjang. Ia mengerti maksudku dan seketika itu pun ia mengambil kursi roda untukku meski terlihat jika ia takut. Entah, mungkin ia takut dengan raut wajahku. Karena pasti ia tahu jika aku masih kecewa dengan semua kenyataan yang tiba-tiba terungkap ini.
Tak lama setelah itu Digo pun membawaku ke kamar Thea. Dan saat aku menuju kamar Thea, lagi-lagi aku terdiam. Tak satu kata pun keluar dari bibirku untuk memecahkan keheningan. Begitu pun Digo, dia diam seribu bahasa sembari mendorong kursi rodaku. Suasana itu bukan terasa canggung, melainkan suasana tegang yang ku rasa. Dan suasana tegang itu ternyata memang membuat Digo takut. Terlihat saat ia dengan hati-hatinya mendorong kursi rodaku menuju kamar Thea.
***
Sesampainya di kamar Thea, aku mendapati Ega di ruangan itu. Duduk di samping ranjang Thea dan dengan raut wajah yang terlihat lesu, Ega terus menemani Thea yang tak sadarkan diri dengan setianya.  Namun ia seketika terkejut saat ia menyadari jika aku berada di ruangan itu.
"Sisi,, lo ngapain ke sini?? Lo kan belum pulih!!" tanya Ega kemudian. Ia memperlihatkan jika ia khawatir dengan keadaanku. Namun, aku yang tak bisa dengan mudahnya menghilangkan rasa kecewaku, aku pun hanya terdiam tak merespon pertanyaan Ega. Dan melihatku bersikap seperti itu, aku tahu jika Digo memberi isyarat pada Ega agar ia tak banyak bicara. Sebegitu takutnya Digo akan sikap dinginku. Andai dari awal semua ia ceritakan, mungkin aku tak akan bersikap dingin.  Dan mereka-merekalah yang membuatku bersikap seperti itu.
"Bisa tinggalin gue disini sendiri??" pintaku kemudian pada mereka. Iya, aku menginginkan kesendirian di ruangan itu. Dan pahamnya mereka akan keinginanku kali itu, seketika itu pun mereka meninggalkanku di ruangan itu.
Sepeninggal mereka, aku yang kali itu tengah seorang diri, hanya bisa merasakan kesunyian di ruangan itu. Dan suara alat medis di ruangan itu tak membuat kesunyian itu terpecah. Aku yang saat itu melihat Thea dengan posisi tidurnya, merasa jika aku sendiri yang tengah dalam posisi itu. Terbaring lemah, tak berdaya, dan mungkin tak tahu lagi bagaimana rasanya tertidur. Aku pernah membayangkan jika nantinya aku berada dalam keadaan seperti itu. Apa yang aku rasa jika aku tak sadarkan diri. Bahkan aku pernah berpikir, bagaimana rasanya jika aku dihadapkan dengan detik-detik kematian. Semua itu sulit, dan semua itu sebenarnya menyiksaku. Berat untuk menjalani hidup yang selalu dibayangi dengan kematian.  Tapi bagaimana pun cara aku menyangkalnya, kematian akan tetap menjemputku suatu saat nanti.
"Thea, kenapa lo harus ngalamin ini??" ucapku lirih sembari menatap wajah pucatnya. Tangan yang terbalut selang infus itu pun perlahan ku sentuh dengan lembut. Dan air mata ini pun juga ikut mengalir saat hati ini menangis melihatnya. Suatu keadaan yang tak pernah sekali pun aku membayangkannya. Karena sebelumnya, aku tak pernah sedikit pun merasa curiga dengan kondisi Thea. Sedikit pun ia tak terlihat sakit olehku. Tapi kenapa saat aku tahu, Thea sudah dalam keadaan seperti itu.
"Thea,, bagaimana gue bisa marah sama lo saat lo dalam keadaan seperti ini?! Tapiii, gue nggak bisa nyembunyiin perasaan gue kalau gue kecewa sama lo!! Gue kecewa sama sikap lo! Asal lo tahu, gue juga sakit Thea. Dan apa yang lo rasain sekarang, pasti akan gue rasain juga nantinya. Gue tahu jika hidup gue nggak akan panjang, tapi gue berusaha ngebuat warna di kehidupan singkat gue. Dan indahnya warna itu bukan dari obsesi dan rasa ketakutan seperti lo. Hanya keikhlasan yang bisa membantu gue membuat warna itu sendiri..." ucapku panjang lebar. Dengan suara yang begitu parau, aku mencoba mengungkap rasa kecewaku padanya. Entah, ia bisa mendengarku atau tidak. Namun jika ia mendengarnya, aku harap ia mengerti. Bukan maksud untuk menjatuhkannya dengan perasaanku, tapi aku hanya ingin dia tahu kalau aku sebenarnya mengharapkan semuanya kembali seperti dulu. Tanpa ada rasa benci, tanpa ada rasa iri dan salah paham. Tapi saat ini yang masih tak ku mengerti adalah perasaannya terhadap Digo. Apakah benar ia mencintai Digo dengan tulus atau karena hal lain... Suatu perasaan yang sulit untuk ku pahami setelah tahu jika Thea memaksakan itu semua. Tapi setelah mendengar penjelasan Digo, aku merasa jika Thea memang mencintai Digo. Tapi kenapa ia memaksakan cinta Digo untuknya. Sementara ia tahu jika aku mencintai Digo, dan begitupun sebaliknya dengan Digo.
"Thea, bangun Thea!!,Buktiin sama gue kalo lo emang cinta sama Digo!!... Andai lo emang bener cinta sama Digo, gue rela Thea. Gue akan bener-bener ikhlas asalkan lo bangun!!" ucapku kemudian dengan sedikit menggoyangkan badannya.
"Bahkan gue rela ngasih hidup gue untuk hidup lo!!" lanjutku dalam hati. Aku rela memberikan hidupku demi Thea. Tapi aku berharap jika cintanya bisa membuat dia dan Digo bahagia. Bahagia tanpa ada rasa paksaan didalamnya..
"Karena gue sayang sama lo..." ucapku lirih. Dengan masih mengeluarkan air dari mataku, aku terus menatap wajah pucat Thea dengan rasa yang begitu sedih. Aku sedih saat melihat ia terbaring lemah seperti itu. Aku sedih karena bayangan ini lagi-lagi membawaku pada kematian. Entah rasa apa yang menyelimutiku saat itu. Rasa itu terasa hebat saat aku dibayangkan dengan kematian. Sampai-sampai tubuhku berkeringat dingin. Nafasku pun seketika terasa berat layaknya tertimpa beban yang begitu berat. Keadaan itu tiba-tiba membuat detak jantung ini serasa melemah. Rasa sakit didada juga ku rasa begitu menyiksa saat rasa sakit itu kembali. Tuhan, apa aku akan merasakan hal yang sama seperti Thea?
"Digoo..." ucapku memanggil Digo. Tapi, aku merasa jika suaraku tak akan terdengar dari luar ruangan itu. Nadanya begitu lirih karena sebenarnya aku merintih kesakitan. Aku yakin jika Digo dan Ega tak akan mendengar suaraku. Namun aku terus berusaha untuk bisa memanggilnya dengan suara keras. Tapi ternyata semua sia-sia. Belum sempat Digo dan Ega kembali masuk ke ruangan itu, ternyata aku telah tak sadarkan diri......

My Love. My Life [ Tuhan, kenapa harus aku!? ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang