Chapter 9: You always be mine

6.5K 410 9
                                    


Kelvin terlihat antusias saat memasuki sebuah rumah besar, dia langsung berlari meskipun seringkali terjatuh karena menabrak sesuatu. Sama seperti Irina yang teledor akan sesuatu. Sedangkan Irina berjalan menyusul Kelvin agar putranya lebih berhati-hati, bagaimanapun juga ini bukan rumah milik mereka.

“Sepertinya Kelvin menyukainya.” Sebuah senyuman terukir tipis di wajah pria yang berdiri di samping Irina dan mengikuti pandangan Irina melihat putranya yang asik bermain di kamarnya. “Ini rumah kalian, yang di Bogor sudah laku terjual.”

Irina terkejut menatapnya. “Kamu menjual rumahku?” tanyanya tak percaya menatap Mario yang malah menggaruk tengkuknya seraya terkekeh.

“Lebih baik di Jakarta Ir, semua kebutuhan tersedia. Dibandingkan di desa,” jawab Mario mengeles dari tatapan Irina.

“Tapi di desa lebih baik untuk perkembangan Kelvin yang masih kecil,” jawab Irina tak mau kalah. “Lalu gimana dengan pekerjaanku? Ih aku enggak paham deh,” lanjutnya dengan gemas.

Mario mengikuti langkah Irina yang masuk ke dalam kamar Kelvin, setelah lima hari bertemu dengan Irina mereka semakin dekat. Begitu pula dengan Kelvin yang sudah memanggil Mario dengan sebutan Om. “Kamu bisa kerja sama aku,” jawab Mario. Irina membalikkan tubuhnya, alisnya terangkat sebelah menatap Mario dengan seringai jahil menggodanya. “Di kantorku, Ir. Astaga pikiranmu itu terlalu ke mana-mana,” ujar Mario dengan mengusap wajahnya dengan kasar.

👨👨

Dilemparnya semua barang yang berada di meja kantornya, entah harus melakukan apa lagi agar Irina mau mempertemukannya dengan Kelvin. Dia hanya ingin melihat dan memeluk anaknya sendiri meskipun dalam hati ia pun berharap bisa memeluk Irina lagi, tapi itu tidak lebih besar dari keinginannya memeluk Kelvin. Bayangkan, empat tahun ia tidak pernah bertemu dan sekali bertemu hanya menatap barang semenit dengan darah dagingnya. Irina benar-benar menjauhkan Kelvin darinya.

“Wah...wah...wah... ada apa ini? Habis ada gempa?” suara yang tak asing mulai terdengar ketika pintu ruang kerjanya terbuka, ia melihat Luna yang menggelengkan kepala tak percaya dengan keadaan ruangan Al yang benar-benar kacau seperti daerah terkena bencana alam. Al langsung mengangkat kepalanya menatap wanita yang baru saja tiba di Jakarta.

“Ma...” ujar Al lirih. Luna yang mengerti langsung menghampiri anak sulungnya, dia tahu betapa stressnya putranya itu sejak Irina keluar dari hidupnya. “Maafin Al ya!” lanjutnya lagi, terdengar nada begitu menyesal di telinga Luna.

“Kamu baru sadar ya sekarang betapa pentingnya Irina di hidup  kamu? Padahal semua orang dapat melihat bagaimana bergantungnya kalian satu sama lain,” ujar Luna mengelus rambut Al dengan sayang. Meskipun sekarang Al sudah menjadi ayah bahkan di umurnya yang hampir 30tahun, Luna masih menganggap Al putra kecilnya.

Al mengangguk. “Ya! Sekarang Al baru sadar, saking pentingnya Irina dulu Al rela menyusulnya ke Bromo hanya karena Irina tidak bilang sama Al. Dan belum lagi Irina yang selalu ngintilin Al ke mana pun saat TK, Ma,” ujar Al dengan tersenyum mengingat masa lalunya. Luna juga ikut tersenyum mengingat bagaimana masa kecil mereka yang begitu dekat, bahkan dibandingkan kembarnya, Zhifa.

“Sekarang apa yang menjadi prioritasmu?” tanya Luna.

“Hmm...” Al tampak berfikir mencari jawaban. “Kelvin. Al cuma ingin Kelvin tahu kalau Al ayahnya.”

👨

👨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Forever Mine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang