"Res, itu siapa? Kecengan lo yang baru atau cuman temen?
Kalo cuman temen, kenalin dong! Ganteng banget!" cecar Gale heboh, Terus memperhatikan seorang pria berjaket kulit hitam dan jeans pencil ketat, dengan sobekan yang tampak sengaja dibuat dipaha dan lututnya.
Ia sedang duduk dimeja pojok, dekat dengan jendela. Hanya ditemani Caffe Mocha.
Oke, aku highlight ya, hanya mengenakan jaket kulit. Jadi kalian bisa bayangkan ada pria di Cafe yang hanya mengenakan jaket kulit tanpa menutup resletingnya, dengan celana sobek-sobek seperti preman? Seperti itulah style Hans. Benar-benar bodoh!"Enak aja, amit-amit gue sama dia!" tukasku sinis. "Itu Hans, yang gue pernah cerita dulu."
"What?! Jadi itu Hans, kakak lo di Bandung yang dulu lo pernah cerita?"
Aku mengangguk malas menimpali.
"Yaampun, ganteng banget ya ternyata? Seksi juga! Gue dari tadi nyolong-nyolong buat lihatin badannya dia. Dada bidangnya yang sedikit berbulu, perut sixpack-nya. Ugh! Kenalin, please!" rengek Gale. "Lo kenapa sih nggak pernah bilang kalo Hans seganteng ini? Tahu gitu kan gue nggak usah jauh-jauh cari kecengan."
"Males ah, kenalan aja sana sendiri, mumpung dia lagi duduk sendirian di pojok noh!" tolakku sewot.
"Yah, Res... Gue bukan Mikha yang blangsak dan nggak tahu malu. Sekali ada yang hot dikit bisa langsung disamperin diajak kenalan. Gue nggak berani ah!"
Aku tertawa geli, "Hans ganteng? Hahaha... Amit-amit!
Lo bahas dia lagi gue siram espresso panas!"Gale memprotes, "Kenapa sih lo segitunya, hah? Kayak nggak suka banget sama dia. Kakak sendiri juga,"
Aku menepuk kedua tanganku, lalu melambai, "Hans! Hei, sini! Temen gue pengen kenalan sama lo!" tawaku seketika meledak.
Ia mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya dan melihatku. Lalu segera beranjak menuju kemari.
"Res, lo tega banget sih! Dia beneran kesini kan jadinya." bisik Gale panik. Aku hanya tertawa cekikikan melihat mimik polos dan tingkah kikuknya.
"Hans, kenalin temen gue, Galih. Panggil aja Gale, biar enak manggilnya. Namanya ribet soalnya, haha... Gue sama Mikha biasa manggil gitu kok."
"Gale, ini Hans, kakak tiri gue!" ledekku. Berganti memperkenalkan Hans pada Gale.
"Setan... Kakak tiri, katanya!" protes Hans cepat.
"Ha-hai, Hans!" sapa Gale kikuk, lalu mengulurkan tangannya.
"Hai!" Hans segera menyambut tegas tangan Gale.
Ia beralih menatapku sekarang. "Masih lama? Gue boring banget nih!" protesnya sebal. Sebelumnya sudah berulang kali memaksaku segera pulang atau memberikan saja kunci kosku padanya saat ia baru saja tiba disini.
"Males ya gue ngasihin kunci gitu aja! Entar lo macem-macem. Gimana-gimana itu sama aja kamar gue, privasi gue, dan gue paling nggak suka kalo ada orang siapapun yang masuk gitu aja, apalagi sendirian disana. Kalo nggak mau nunggu gue sampe' pulang kerja yaudah! Balik aja lagi ke Bandung!"
Ia menggebrak meja penuh emosi. "Astaga! Lo nggak usah lebay deh ya! Siniin sekarang juga nggak?! Gue ngantuk, capek banget... Gue lagi mumet sekarang!"
Aku terus berusaha tampak dingin dan sinis. Menahan untuk tak tertawa sedari tadi. Aku memang sengaja mengerjainya. Menikmati wajah bosan dan kesalnya.
"Nggak, enak aja! Nggak usah ngatur dan maksa gue ya, itu kos juga kosan gue, bukan kosan lo!" tukasku tegas.
"Terserah lah!" ia berlalu. Berjalan malas kembali ke mejanya. Bibirnya komat-kamit, mengumpat dari tempatnya bersandar. Kemudian ia menyesap kopinya.
YOU ARE READING
TIMBER SPACE II
Romance"Sweet true love or any fuckin' things else... Sorry, I don't believe it! All those fairy tale were full of shit." ujar seorang Mahasiswa Desgraf di bilangan Ibukota, Rescha, apabila ia ditanyai perihal percintaan. Ia terbiasa menjalani hidup tanpa...