"Fuck! Gue curiga tuh polisi udah dibungkam mulutnya pake duit yang lebih gila lagi. Bisa-bisanya ngasih laporan kayak tai gini. Biar apa? Sengaja ngerancang ini semua biar gue ngerasa ini semua emang murni kecelakaan gitu?" Keenan mengomel penuh emosi dari telefon genggamnya. Sedangkan Mikha yang duduk di sampingnya hanya terdiam gusar di dalam mobil.
Perlahan-lahan Mikha mengambil file berkas-berkas yang tengah diremas-remas Keenan."Sabar, Ken... Tenangin diri lo!" suara seseorang di seberang sana menimpali.
"Gue mau blak-blakan bilang gitu dan mau nawarin yang lebih, berapapun itu. Tapi nggak mungkin juga. Buntu gue mau gimana lagi, belom kepikiran. Anjing emang! Ada orang gila yang udah sabotase ini semua. Sampe udah prepare mau suap polisi-polisi situ." tambah Keenan geregetan. Tak menyangka situasi akan menjadi serumit ini sekarang.
"Menurut lo siapa? Lo kan biasanya analis cemerlang."
Keenan mendesah menyerah. "Ntah, gue lagi emosi banget dan buntu sekarang, Ga."
"Yaudah, sementara jangan bahas ini dulu. Kalo ada apa-apa telfon gue aja!" pungkas Rega, berusaha menenangkan emosi Keenan. Sedangkan Keenan hanya berdehem malas.
"Oh ya, hampir lupa. Kebetulan sebelumnya gue kan emang ada plan mau ke Bali sama Jundie bulan ini. Nanti gue sempetin lah mampir jenguk Rescha pas di Surabaya, sekalian nemuin lo."
"Ah, boleh juga tuh! Harus mampir lah, jenguk calon adik ipar lo di sini. Hehe..." ujar Keenan menimpali, sedikit terhibur.
"Amin, haha... Yaudah bro, ntar gue telfon lagi." pungkas Keenan.
"Yo, thanks, Ga!"
Mikha menepuk-nepuk bahu Keenan. "Sabar, gue juga emosi banget tadi. Cuman ya, yaudalah... Kita nggak bisa berbuat apa-apa dulu. Diem dulu aja, nenangin hati, pikiran, sambil mikirin ke depan bakal gimana."
"Thanks, Mik. Iya, gue ngerti.
Oh ya, bener lo mau dianter balik ke RS aja langsung?"Mikha mengangguk. "Langsung aja. Gue udah makan tadi sama anak-anak."
"Oke deh!"
Selang beberapa menit kemudian mobil tersebut berhenti di Siloam Hospital. Usai mengantar Mikha, Keenan berbalik arah menuju Hotel Tunjungan, tempatnya menginap. Ia bergegas menuju lift, menekan-nekan tombol tak sabaran, kemudian segera berlari menyusuri koridor begitu pintu lift terbuka, menuju kamar 320.
Bip... Bip... Bip...
Cklek...Keenan bergegas masuk menuju kamarnya. Ia mengambil ransel ukuran sedang dan segera mengisinya dengan beberapa potong pakaian. Kemudian mengambil beberapa berkas-berkas dinakas, buru-buru memasukkannya.
"Ehmmm..." terdengar lenguhan seseorang. Keenan menoleh sejenak, melupakan pria yang tengah tertidur nyenyak di belakangnya.
"Ken, kapan kamu balik?" tanya pria tersebut. Ia menguap sebentar, kemudian beringsut membuka selimut yang melilit tubuhnya, lalu memeluk Keenan dari belakang.
"Jangan ganggu dulu, aku lagi buru-buru!" tukas Keenan merasa terganggu.
Pria itu tak memperdulikannya. Ia malah mengecup-ngecup tengkuk Keenan. "Hmmm... Aku kangen kamu, my Puddin'. (Sayang)."
Keenan berusaha melepas pelukan pria itu perlahan. "Vin, denger nggak? Aku lagi buru-buru, lagi ribet sekarang. Lain kali aja ya!" seru Keenan memperingati sembari berpindah ruangan, mengambil barang-barang lain yang hendak dibawanya.
Sontak pria itu mengekor mengikutinya, "Kamu mau kemana sih, ke rumah sakit lagi? Ngapain pake bawa ransel segala?"
Keenan mendesah. "Aduh, minggir dulu!"
YOU ARE READING
TIMBER SPACE II
Romance"Sweet true love or any fuckin' things else... Sorry, I don't believe it! All those fairy tale were full of shit." ujar seorang Mahasiswa Desgraf di bilangan Ibukota, Rescha, apabila ia ditanyai perihal percintaan. Ia terbiasa menjalani hidup tanpa...