15| I SHOULD'VE LOVE YOU

5.8K 353 22
                                    

Aku tengah menonton DVD di ruang tengah bersama Levy, dengan kepalaku yang bersandar nyaman dibahunya, setelah ia secara lembut memindahkan kepalaku yang sebelumnya bersandar di kepala sofa.
Ia membelai kepalaku lembut, sembari fokus menonton film horror yang sama sekali tak membuat kami berdua bergidik ngeri ataupun takut.
Hal yang baru kutahu adalah, kami sama-sama penggila film horror dan thriller. Dan lucunya, kami sama-sama tak bergidik ngeri sedikitpun, waalau katanya film ini amat menyeramkan dan mendapat banyak penghargaan.
Who knows? It's not working on us.

Levy sih kelihatannya memang begitu, tapi aku? Aku sebenarnya tak terlalu menontonnya. Pikiranku masih tertinggal di meja makan sejam yang lalu, saat aku memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan dengan Levy.

Apa aku plin-plan, tolol atau menyalahi prinsipku? Apa karna khotbah Mikha dua jam yang lalu, aku jadi berubah sekarang? Apa seorang Rescha semudah ini berbalik 180 derajat menjadi pria menyedihkan yang membutuhkan cinta dan mencoba untuk percaya menjalani hubungan dengan seorang pria?

Aku nggak mau secepat itu. Aku masih memegang kuat prinsipku, walau mulai sedikit kendor. Walau memang harus kuakui bahwa aku sedikit merindukan bagaimana rasanya jatuh cinta, pacaran, menjalin rajut demi rajut romansa.
Merasakan bahagia, hati bergejolak tak karuan, cemburu, galau, dan hal-hal yang sudah lama kumusiumkan lainnya.

Oke, aku hanya mencoba menjalani hubungan dengan Levy. Dan ketika ia membuatku kecewa, aku akan lari ke dalam pelukan K. Begitulah seharusnya, bukan? Sounds so selfish and sad, but, I have to.
Disisi lain Mikha ada benarnya. Traumaku sudah sangat berlebihan. Aku bukan Rescha yang ringkih dan lemah. Aku Rescha yang bahkan kuat menerima fuck dengan double dick, bahkan di gangbang ramai-ramai dengan kesebelasan pria seksi dan aku menjadi gawang bola cantik mereka yang siap menerima shoot demi shoot panas.
Aku tahu, seks dan romansa percintaan memang berbeda, tapi entah kenapa sekarang aku tak takut disakiti atau dikecewakan. I'm stronger than a few years a go. Bahkan aku sudah sejauh ini bertahan tinggal satu rumah dengan Ayah gila seperti Chandra, disodomi oleh Kakak kandungku sendiri dan pernah berpacaran dengannya tiga tahun lamanya.

Jadi sekarang aku adalah BF Levy? Milik Levy, dan kami pacaran?
Aku siap menerimanya. Aku akan menjalankan peranku dengan baik dan membawanya naik ke levelku.
Soal K? Entahlah... Aku tak mau memikirkan hal-hal berat saat ini. Yang pasti aku juga menyukainya sebenarnya. Tapi untuk menjadi 'suami', bisa dibilang begitu, kan? Lalu tinggal berdua dan membesarkan Darren bersama-sama?
C'mon! Berpacaran dengan Levy saja sudah menjadi perubahan dan ke-plin-planan besar bagiku, hanya karna 5 menit khotbah Pastor Mikha.

"Lev," bisikku lembut.

"Ah... Iya, Sayang?"

"Jangan pulang, tidur sini ya! Aku masih pengen ngehabisin waktu berdua sama kamu." pintaku dengan nada pura-pura memohon menggelikan. Bukan aku banget.
Karna memang ia tadi sudah hendak pulang, tapi aku menahannya untuk tinggal beberapa menit lagi.

"Tapi Mamaku dirumah sendirian, Sayang... Kasihan."

Oh iya, Levy itu anak yatim. Aku lupa... Dan ibunya adalah wanita karir yang sibuk dan belum menikah lagi. Levy dan ibunya hanya tinggal berdua.

Kedua tanganku membelai pipinya lembut. "Ayolaaah... Telfon nyokap deh, bilang alesan apa kek?
Kan ini hari jadi kita. Aku pengen lebih lama lagi sama kamu. Sekali ini aja, please!"

"Aduh, gimana ya..." Levy menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia nampak gelisah harus bagaimana.

Aku terus menatapnya, dengan memainkan kedua alisku naik turun. Menunggu jawabannya.
Ia terkekeh melihat tingkahku, lalu mencubit pipiku gemas. "Yaudah, aku telfon nyokap dulu ya!"

TIMBER SPACE IIWhere stories live. Discover now