"Hei, bangun!" seru Gale, sembari mengguncang-guncang punggung pria yang sedari tadi duduk di salah satu meja Cafe. Cafe itu tampak gelap dan sudah sangat sepi, hanya ada Gale dan pria itu.
"Malah tidur disini sih!"
Pria itu menggeliat di tempatnya bersandar, lalu merentangkan kedua tangannya dan berusaha membuka mata. "Lo pikir gue udah berapa lama nunggu, hmm? Dua jam!" timpalnya sewot.
"Siapa suruh nunggu? Lagian ngajak jalan maksa."
Pria itu dengan malas bangkit dan langsung menarik paksa Gale pergi. "Yaudah, ayok! Keburu makin malem."
"Aku bisa jalan sendiri." pungkas Gale, melepaskan cengkeraman tangan pria itu dan berjalan di depan. Sedangkan pria itu hanya menatapnya sebal dan mengekor dari belakang.
Seusai menutup dan mengunci Cafe tersebut, mereka berdua berjalan menuju area parkir mall.
"Mau kemana kita?" tanya Gale curiga, ragu-ragu untuk naik di atas motor hitam besar milik pria itu.
"Udah, naik aja. Lo bawel banget sih jadi cowok? Gue perkosa disini juga baru tahu rasa lo!"
Gale malah mendelik dan mundur selangkah dari tempatnya berdiri.
Pria itu mendesah jengah, "Cepetan, jangan bikin gue emosi! Gue udah nunggu dua jam lebih ya tadi. Lo mau nggak mau harus ikut!" bentak pria berjaket kulit hitam tersebut.
Akhirnya Gale naik, walau masih ragu dan sangat curiga. Pikirannya campur aduk, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi bila ia menuruti apa mau pria itu. Bisa saja pria itu mengajaknya ke tempatnya, lalu berbuat macam-macam. Apa yang bisa Gale lakukan kalau sudah begitu?
Sejenak kemudian pria itu menoleh ke belakang, "Lo nggak bawa jaket?"
Gale menggeleng, "Biasanya sih bawa, ya lagi ketinggalan aja."
Pria itu mendesah, lalu melepas jaket kulitnya dan memaksa Gale memakainya.
"Nggak usah, pakai aja. Kamu kan cuman pakai singlet." tolak Gale ketus.
"Udah, pake aja! Bisa nggak sih lo nurut aja sama gue sekali?" bentak pria itu, kemudian mulai menyalakan mesin motornya dan melaju kencang meninggalkan basement parkir tersebut.
"Terakhir aku nurutin kamu tuh, yang ada malah celaka." dengus Gale kemudian. Dan masih mengingat dengan jelas, ketika ia mencari Rescha dan pria itu menyuruhnya menunggu di kosan saja bersamanya. Dan akhirnya pria mesum itu memaksa untuk dilayani.
"Apa lo bilang?" teriak pria itu.
"Nggak ada... Pelan-pelan aja nyetirnya, Hans!" bentak Gale.
"Pegangan makanya!"
Langit malam terlihat dipenuhi gumpalan awan mendung. Mereka berdua menyusuri jalanan Jakarta yang nampak mulai renggang kendaraan. Melewati gedung-gedung, lampu-lampu kota yang sebagian mulai dipadamkan, dan beberapa menit kemudian berakhir di parkiran sebuah warung kopi yang bisa dibilang cukup besar untuk sebuah warung kopi.
Desain bangunannya serba kayu, dengan ukiran-ukiran khas jawa. Ada meja, kursi kayu di kiri dan kanan luar ruangan tersebut, sedangkan di dalam ruangan didesain sebagai tempat lesehan.Walaupun sudah mendekati tengah malam, namun tempat itu masih tampak begitu ramai. Ada yang berdua bersama pasangannya, ada yang ramai-ramai bermain kartu di sudut ruangan, ada pula yang bermain game melalui gadget yang mereka bawa masing-masing.
Mereka berdua berjalan menuju meja panjang yang dipenuhi dengan jajanan dan cemilan yang ditata apik di sepanjang meja. Memesan dua cangkir kopi, memilih jajanan dan cemilan, lalu duduk di salah satu meja lesehan di dekat dinding.

YOU ARE READING
TIMBER SPACE II
Romance"Sweet true love or any fuckin' things else... Sorry, I don't believe it! All those fairy tale were full of shit." ujar seorang Mahasiswa Desgraf di bilangan Ibukota, Rescha, apabila ia ditanyai perihal percintaan. Ia terbiasa menjalani hidup tanpa...