Levy berlarian mencari kekasihnya yang beberapa menit lalu telah pergi begitu saja meninggalkannya.
Ia merasa bersalah, dan berkali-kali hanya bisa menyalahkan dirinya. Pikirnya, sebagai pria yang jauh lebih dewasa, harusnya ia lebih mengerti. Mungkin Rescha memang sedang dilanda masalah dan tidak dalam mood yang bagus.Levy berlarian mencari Rescha ditengah keramaian mall malam itu. Orang-orang hilir mudik, yang demikian cukup menghambatnya. Ia terus mengedarkan pandang ke setiap sudut, namun tak kunjung menemukan sosok yang dicarinya.
Disaku celananya masih terselip tiket bioskop yang akan ia tonton. Harusnya sekarang mereka tengah asyik menonton fillm tersebut, ditemani popcorn karamel ukuran besar dan dua cup cola.
Ini hari pertama mereka jalan keluar layaknya pasangan pada umumnya. Walau pada akhirnya tak berjalan sesuai rencana.Levy berkali-kali berusaha menghubungi Rescha, namun nomornya tak bisa dihubungi. Ia semakin cemas. Terlebih lagi kekasihnya itu pergi begitu saja.
Bagaimana ia pulang? Apa ia masih di halte busway terdekat?
Bukan... Bukan itu yang tepatnya Levy cemaskan. Ia merasa Rescha akhir-akhir ini sedemikian berubah. Levy juga merasa seakan ada sesuatu yang disembunyikan kekasihnya tersebut.
Masalahnya, Rescha tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Dan Levy lagi-lagi hanya bisa terus mengisi otaknya dengan kemungkinan-kemungkinan baik.
Lantas ia menuju pintu keluar mall. Berjalan cepat menembus keramaian pejalan kaki di trotoar hingga tiba di jembatan penyebrangan terdekat yang mengarah ke halte busway.Sesaat setelah ia menaiki jembatan dan sampai di halte tujuan, namun tak ada sosok pria 20an dengan rambut cokelat yang ia cari di tengah kerumunan orang-orang didalamnya.
Ia semakin cemas, sedangkan nomor Rescha masih saja tak bisa dihubungi.
Levy memutar otak, berfikir untuk mengambil saja mobilnya dan mencoba mencari Rescha di sepanjang jalanan ini. Atau mungkin saja ia sudah menaiki bus sebelumnya dan sedang dalam perjalanan pulang.Hingga beberapa saat kemudian, dari jendela halte tersebut Levy menangkap sosok yang sepertinya adalah Rescha. Seorang pria yang nampak sibuk berkutat dengan ponselnya di trotoar seberang jalan. Melayangkan ponselnya itu sesekali seakan mencari-cari sinyal ditengah ramainya jalan raya.
Levy segera menghampiri pria tersebut, menarik tangannya kemudian. "Aku cari kamu kemana-mana ternyata disini. Kamu kenapa pergi gitu aja sih? Aku khawatir!"
Rescha tersentak kaget, namun ia tak mengucapkan sepatah katapun. Tak tahu harus berkata atau menjelaskan apalagi. Ia tak ingin Levy tahu bahwa sejak sesorean tadi ia terus memikirkan Keenan dan sekarang malah ingin menemuinya.
Levy berusaha menyimpan rasa ingin tahunya. Kedua alisnya yang tebal bertemu, "Trus ngapain kamu disini, Sayang?"
Rescha menelan ludah. Berusaha melegakan kerongkongannya yang tiba-tiba saja tercekat. "Ngg... Nunggu taksi,"
"Ayok, aku anter ajalah kayak biasanya." Levy menarik tangan Rescha dan mengajaknya menyusuri trotoar tersebut. Sontak Rescha mengekor mengikuti langkah kaki cepat Levy.
"Nggak usah," tolak Rescha halus. Ia berusaha tersenyum dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Ia menghentikan langkahnya, dengan lembut melepas genggaman tangan Levy.
"Kenapa?" tanya Levy tak mengerti.
"Aku pulang sendiri aja, nggak papa. Bentar lagi juga pasti taksinya dateng."
"Ada apa sih? Kamu nggak biasanya gini," Levy makin tak mengerti. Ia semakin merasa ada sesuatu yang ditutupi Rescha atau ada suatu hal yang telah terjadi.
"Nggak kok, beneran nggak papa, aku pulang sendiri aja."
Levy seakan mengerti sesuatu. Ia mengiyakan, lalu pamit untuk pulang duluan. Namun sebenarnya ia hanya mengambil mobil di parkiran. Dan seperti dugaannya, Rescha masih berdiri mematung di tempatnya semula.
YOU ARE READING
TIMBER SPACE II
Dragoste"Sweet true love or any fuckin' things else... Sorry, I don't believe it! All those fairy tale were full of shit." ujar seorang Mahasiswa Desgraf di bilangan Ibukota, Rescha, apabila ia ditanyai perihal percintaan. Ia terbiasa menjalani hidup tanpa...