WARNING!
Apa yang aku tulis di sini semuanya murni dari imajinasi (liar)ku, jadi kalau ada beberapa hal yang nyeleneh dari kenyataan atau fakta yang ada, mohon dimaklumi. Saya nggak memaksa kalian untuk baca, jadi... nikmati saja apa yang saya tulis :) Spread love!
I think the saddest people always try their hardest to make people happy
Because they know what it's like to feel absolutely worthless
And they don't want anybody else to feel like that. - Anonymous***
Aku beberapa kali mengabadikan potret penari-penari tradisional yang berada di tengah-tengah kerumunan mahasiswa. Tubuh mereka melenggok indah beriringan dengan musik tradisional yang memenuhi tempat itu. Glam bahkan tidak mengalihkan tatapannya dari pertunjukan itu, aku tahu Glam menyukai tarian. Tari kontemporer, bahkan sampai tarian tradisional negara lain seperti yang dimiliki Indonesia.Untuk aku sendiri... yah, jujur saja beberapa kali aku sempat menoleh kesana-kemari. Bukan apa-apa, hanya untuk memastikan sesuatu. Sudah cukup jelas, sepertinya pemuda itu tidak ikut kegiatan hari ini - mungkin berjaga di pos kesehatan? Atau dia ikut, hanya saja bergabung dengan panitia yang lain hingga aku tidak melihat batang hidung mancungnya itu sedetikpun hingga siang ini.
"Minum?"
Aku mendongak, bibirku melengkung dan kedua mataku membentuk pelangi melihat siapa yang duduk di sebelahku. Sang ketua panitia, Alvin.
"Thanks." Aku meminum air mineral yang diberikan Alvin, hingga tandas separuh botol, "Pertunjukkan ini hebat."
"Ya, I know." Alvin mengangguk setuju, "Tapi... mau jalan-jalan sebentar?"
Kutoleh Alvin dan mengernyit, "Kemana?"
"Cuma berkeliling, di sini gerah terlalu banyak orang." Ujar Alvin, dua kancing kemejanya yang paling sudah terbuka - aku yakin ia bukan bermaksud menggoda, ia memang benar-benar gerah di sini. Udara malam dan siang terpaut sangat jauh.
"Ayo." Aku mengucapkan pamit pada Glam sebelum mengikuti Alvin pergi dari barisan penonton pertunjukkan itu.
"Gue dengar kemarin Rio kecelakaan?"
"Ya, kecelakaan waktu main bola. Begitulah."
Alvin mengulurkan tangan padaku, menawarkan bantuan saat aku akan menuruni berbatuan di sana. Aku menerima bantuannya dan melompat turun dengan tangan Alvin yang menggenggam tanganku.
"Apa lo ketemu Cakka?"
"Ya." Jawabku, sempat kehilangan suara, namun aku berhasil bersikap santai.
"Apa kalian bicara?"
Aku menggeleng dan tersenyum pada Alvin dengan alis terangkat, "Mau bicarain apa?"
Alvin terkekeh mendengar pertanyaanku, "Mungkin sesuatu tentang... hubungan kalian?"
Hey... pembicaraan apa ini? Kemana arah pembicaraan Alvin kali ini? Aku mengibaskan tangan dan tertawa mendengar ucapannya, "Hubungan apa, Alvin? Ngaco."
"Cakka mau bicara sama lo di sana." Seseorang menepuk pundak Alvin, kami menoleh ke arah yang ditunjuk salah seorang panitia itu. Cakka tampak berdiri bersama beberapa anggota tim medis lainnya, sepertinya tengah memberi intruksi.
"Gue sedang sama seseorang, suruh dia ke sini aja." Ujar Alvin dengan santainya, tampak tidak begitu mempedulikan aku yang tercekik mendengar ucapannya
"Oke." Panitia itu melangkah pergi untuk menghampiri Cakka. Aku tahu aku seharusnya mengalihkan wajah dari sana dan kemudian melangkah pergi. Tapi aku tidak bisa, tatapanku terus mengikuti gerak-gerik pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...