Shilla ingin menyebutkan nama pemuda itu. Namun ia terlalu terkejut untuk bersuara, terlalu bingung untuk mengelak dan terlalu takut untuk menatap pemuda itu. Alhasil, ia hanya berdiri seperti manekin pucat di depan Gabriel sedangkan lelaki itu melangkah tenang mendekatinya, masih tersenyum dengan cara yang sama.
Tangan Shilla yang dingin, entah bagaimana, berkeringat. Bagian dalam bibirnya ia gigit, menerka-nerka apa yang akan dipertanyakan Gabriel.
"Nggak mau tau kenapa aku di sini?"
Shilla mengerjap lalu membuka mulutnya, berusaha untuk bersuara, "Kenapa... kamu di sini?" Suaranya tercekat, seperti habis dicekik hingga hampir mati
Gabriel terkekeh pelan – entah karena suara Shilla atau hal lain, "Aku juga nggak tau. Kamu?"
Shilla tersentak, "Aku... jenguk Ayah Cakka."
Gabriel mengangguk-angguk. Atmosfir dingin membekukan keduanya untuk sesaat, sampai tiba-tiba gerbang yang berada tak jauh dari mereka itu bergerak. Keduanya belum sempat menoleh saat terdengar suara lain menginterupsi.
"Kalian di sini." Entah itu pertanyaan atau pernyataan, tak jelas intonasinya.
Dan bagi Shilla, tak ada yang lebih buruk dari kejadian hari ini. Tidak juga semalam saat ia hampir diberi kalung oleh keluarga Gabriel.
"Kami di sini." Balas Gabriel, mengangkat bahu. Senyum kecilnya nampak asing di mata Shilla. Bukan seperti itu cara Gabriel tersenyum biasanya.
"Reuni di depan rumah gue?"
Shilla masih memunggungi pemuda itu, tak berani berbalik. Gabriel terkekeh, "What an unexpected rendezvous, eh?"
Ada jeda sesat sebelum Cakka bertanya, "Ngapain lo di sini?"
Pada siapa Cakka bertanya? Apa pemuda itu bertanya kepadanya? Kepada Shilla?
Gadis itu perlahan berbalik, ragu-ragu menatap tepat ke arah iris gelap Cakka yang dinaungi alisnya yang bertautan. Pemuda itu pun nampaknya tak berada dalam suasana yang baik siang ini.
"Aku mau jenguk Paman." Jawab Shilla, mencicit pelan.
"Lo ajak dia?" Dahi Cakka berkerut samar, meragukan.
Shilla mengusap lehernya dan memutuskan untuk mengangguk. Cakka diam sesaat, menatap lurus-lurus ke arah Shilla. Beberapa detik kemudian ia mengendikkan bahu lalu melangkah pergi – ia memutuskan tak mengendarai apapun karena jarak kampusnya tak terlalu jauh.
Shilla menatap Gabriel dan ragu-ragu bertanya, "Kamu... mau ikut?"
Gabriel mengendikkan bahu, "Kenapa nggak?"
Dan menawari Gabriel adalah keputusan terbodoh yang pernah Shilla buat dalam hidupnya.
+++
Ify meletakkan cangkir bekas cokelat panasnya ke dalam wastafel, kepalanya masih terasa pusing hingga sekarang dan suhu tubuhnya belum juga kembali normal.
Prangg...
Gadis itu terkesiap. Ia tidak tertidur sambil berdiri, ia juga tidak bermaksud, namun bagaimana cangkir itu bisa meleset dari wastafel? Apa ia melamun tadi?
"Sadar, Ify!" Desisnya sendiri, memunguti kepingan-kepingan keramik itu dari lantai.
Semuanya baik-baik saja sampai ujung runcing sebuah kepingan keramik menyayat telunjuknya, tak terlalu dalam namun menimbulkan aliran darah yang dengan cepat membasahi telapak tangan Ify. Gadis itu menghela nafas, bukannya berdiri dan membersihkan tangannya, ia justru duduk bersandar di atas lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...