"If I were rain that joins sky and earth that otherwise never touch,
could I join two hearts as well?" - Tite KuboCakka duduk menatap cairan kebiruan dalam gelas di tangannya, memutar gelas itu sejenak sebelum meneguk isinya dengan cepat, meloloskan cairan beraroma menyengat itu melalui tenggorokannya. Ia menoleh dan menatap Shilla yang sedang mengunyah makan malamnya di ruang tengah apartemen Cakka.
Mau tak mau walau malas, Cakka akhirnya membuat makanan seadanya dari bahan dapur yang tersisa setelah molpraktek yang dilakukan Shilla. Meskipun Shilla sudah menawarkan diri untuk memasak, Cakka tidak ingin apartemennya terbakar disaat ia bahkan belum sepenuhnya melunasi apartemen ini. Meski tabungannya cukup, tapi Cakka tidak ingin menghabiskan seluruh tabungannya sekaligus untuk apartemen ini.
"Kamu nggak makan?" Shilla menoleh, bertanya dengan mulut penuh makanan yang belum ia telan. Mie instan buatan Cakka.
"Telan makanan lo dulu, baru bicara." Ujar Cakka lalu memalingkan wajah, jantungnya berdegup ketika tatapannya jatuh pada bibir semerah darah itu.
Cakka tidak mampu menjamin bisa menghentikkan semuanya jika saja Shilla tidak secara tiba-tiba mengeluh perutnya kelaparan ketika Cakka hampir kehilangan kontrolnya dan kehabisan akal sehat. Tapi baguslah gadis itu kelaparan, Cakka akan gila jika mereka tidak berhenti.
"Nggak baik minum alkohol, perut kamu masih kosong. Heish! Kamu ini dokter, tapi kenapa..." Shilla mengerjap dan berhenti bicara melihat Cakka sudah membuka mulutnya tanpa mengatakan apapun.
Shilla mengernyit lalu menunjuk mie instan di depannya, "Kamu... mau ini?"
Cakka mengangguk, Shilla tersenyum kecil lalu memakai sumpit untuk menyuapkan mie instan miliknya pada Cakka. Pria itu mengunyah dengan tenang, dan Shilla senang melihatnya, "Gimana kamu bisa bikin mie instan enak kayak gini?"
"Sendirian di apartemen, sering terdesak bikin makanan instan." Jawab Cakka
"Sini, kita makan bareng-bareng." Shilla menunjuk tempat di sebelahnya.
Cakka sebenarnya ingin menolak, tapi sebelum ia sempat mengutarakan maksudnya, tangan Shilla sudah menyeretnya untuk turun dari sofa dan duduk di atas lantai di sebelah Shilla. Gadis itu memberinya sepasang sumpit. Semangkuk mie instan itu mereka nikmati berdua meski Shilla yang lebih banyak mengambil bagian.
"Aku mau tanya... tentang Ify." Ujar Shilla seakan meminta izin.
"Apa?"
Shilla mengamati sikap Cakka, kali ini pemuda itu tampak santai jika dulu ia selalu menjadi tegang dan gelisah jika mendengar nama itu. Shilla tidak tahu apa maksud sikap santai itu.
"Apa selama ini kamu masih berhubungan sama Ify?"
Cakka menoleh pada Shilla dan mengangguk, ia tidak bersuara karena mulutnya penuh makanan yang sedang ia kunyah. Shilla tersedak dan segera meminum air putih untuk melegakan tenggorokannya yang tercekat.
"Tempat dia kerja itu, gue yang rekomendasi dia ke sana. Gimanapun, dia milih buat pindah ke Jakarta karena..." Cakka menahan ucapannya, dan mengendikkan bahu tanpa melanjutkan
"Aku tahu." Shilla mengangguk, "Tapi, apa cuma karena itu kalian berhubungan?"
Cakka terkekeh, "Cemburu?"
Shilla hendak menyanggah dan mengelak, tapi alih-alih ia justru meletakkan sumpitnya dan bersedekap kesal, "Ya. Aku nggak tahu kenapa sejak dulu selalu cemburu setiap ada gadis-gadis lain di hidup kamu. Bahkan... sampai sekarang." Ujar Shilla, sedikit lega karena ia bisa menyuarakan perasaannya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
Fiksi PenggemarSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...