Epilog

11.2K 665 66
                                    

Thankyou for 100k views!^^  *bow*

__o0o__

Cakka melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan wajah letih, bajunya tak serapi pagi tadi ketika ia pergi ke kampus untuk mengurus beberapa hal lalu ke rumah sakit. Ini sudah pukul duabelas malam lewat dan ia baru pulang. Belum lagi besok pagi-pagi ia masih harus mengejar pesawat yang akan take-off pukul enam pagi.

Jika mengeluh itu boleh, mungkin Cakka sudah mengeluhkan tulangnya yang nyaris rontok. Cakka meletakkan sepatunya di rak sebelah pintu dan melangkah masuk dengan kaki telanjang, tak berniat menimbulkan suara dengan memakai sepatu di dalam rumah.

"Cakka?"

Cakka terkejut setengah mati dengan suara itu, terlebih dengan kepala yang tiba-tiba menyembul dari sofa di depan televisi. Gadis itu sudah membunuhnya jika saja ia punya riwayat penyakit jantung. Cakka mengurungkan niat naik ke lantai dua dan menunggu Shilla menyusulnya.

"Kenapa baru pulang?"

"Ada hal yang perlu diurus." Cakka membuka pintu kamarnya dan membiarkan Shilla masuk lebih dulu. "Lo harus istirahat, gue mau mandi."

Shilla hanya merangkak ke atas kasur, dari wajahnya saja Cakka sudah tahu kalau gadis itu mengantuk. Ia tak mengerti kenapa gadis itu menunggunya sampai pulang, bahkan selarut ini-walaupun sepertinya sempat tertidur karena wajahnya sedikit sembab, khas orang baru tidur.

Cakka melangkah ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya untuk beberapa menit lalu melangkah keluar dengan celana pendek. Tak begitu terkejut ketika melihat Shilla bukannya tidur, justru duduk bersandar pada sandaran kasur.

Gadis itu memang nyaris selalu menentang ucapannya, mengajaknya berdebat dan berargumen. Sekalipun Shilla menatapnya dengan mata mengantuk.

"Tidurlah, lo besok kuliah." Cakka mengambil kaus dari lemari pakaiannya dan memakai kaus itu.

"Kamu juga."

Cakka menggeleng. "Masih ada yang harus dikerjakan. Lo tidur duluan."

"Cakka..."

Cakka tahu gadis itu tak akan berhenti mendebatnya sampai ia yang akhirnya menyerah-ia tak ingin membuang energinya yang tersisa dengan perdebatan panjang bersama Shilla.

Cakka mengalah, batal mengambil laptop dari tasnya dan naik ke atas kasur, lagipula ia memang sudah sangat lelah dengan segala hal yang diurusnya hari ini. Belum lagi besok dan seminggu ke depan. Fisiknya harus ia siapkan benar-benar, ia tak ingin jatuh sakit di saat seperti ini.

"Apa sepenting itu?" Shilla menatap Cakka yang sudah rebah di sisi kanan kasur, sedang ia sendiri sudah tidur di sisi kiri.

"Hm." Cakka menutup matanya dan mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur.

Shilla menatap Cakka yang terpejam, tampaknya tak akan butuh waktu lama untuk terlelap. Gadis itu akan menunggu sampai Cakka tertidur, menatap wajah Cakka yang begitu tenang membuatnya turut merasa tenang.

Mereka memang tidur di atas satu kasur yang sama, tapi sama sekali jarang ia melihat Cakka tidur di sebelahnya. Biasanya Cakka naik ke atas kasur ketika ia sudah tidur, dan keesokan paginya ketika ia bangun, ternyata Cakka sudah lebih dulu bangun.

Bukan Shilla yang malas bangun atau tidur terlalu dini. Tapi memang pola tidur Cakka yang sangat minim dan ia baru tahu akan hal itu. Cakka sering menghabiskan waktu dengan buku-bukunya dan laptop hingga larut. Kebiasaan katanya. Shilla tak suka itu, ia tak suka melihat raut wajah Cakka yang kelelahan meski tak menurunkan energi pemuda itu. Cakka selalu nampak baik-baik saja di hari-harinya..

THE LOST SEASON (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang