WARNING! Sepertinya aku harus memperingatkan beberapa dari kalian, daripada kalian udah capek-capek baca part ini dari awal dari akhir dan ujung-ujungnya cuma kecewa dengan apa yang kalian baca. Tidak ada Rio ataupun Ify di part ini, sama sekali. Jadi kalau yang kalau cari adalah mereka atau salah satu dari mereka, sepertinya part ini sebaiknya di-skip saja :))
Kenapa? Kurasa selama ini aku terlalu wasting time dan (beberapa dr kalian jg sudah mulai mengeluhkan) alurnya sangat amat lambat. Jadi aku mau fokus ke permasalahan utama dulu dan mengesampingkan konflik-konflik lainnya. Dan... um... selamat baca?
+++
"You thought you wanted her, but she is made of thunder and lighting, and you were afraid of a little rain." – Rancel Firmin
Shilla meringkuk di sudut kasurnya. Petir terus menggelegar dan tubuhnya menggigil kedinginan, ia sengaja tak menyalakan penghangat ruangan. Ia berharap dengan udara dingin itu, darah dari lengannya tidak terus-terusan mengalir.
Luka lamanya belum sepenuhnya mengering, dan kini ia jatuh lagi. Ia menyerah lagi. Shilla tak mengerti, kenapa ia selalu selemah ini?
Ia menatap kaca yang ada di depan kasur, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia melihat gadis itu, gadis lemah yang terus-terusan menahan air mata, namun terus tersenyum seolah tak ada hal di dunia yang mampu membuatnya sedih.
Bullshit. Ia bukan perempuan sekuat Mamanya.
+++
Shilla melangkah keluar dari kelasnya dengan beberapa buku di tangannya yang tak mampu ditampung oleh tas. Meski tersamar oleh make-up, namun hidungnya yang kemerahan itu tetap saja nampak. Ditambah ia sudah lebih dari sepuluh kali bersin selama tiga jam terakhir di dalam kelasnya. Hal itu membuat dosennya beberapa kali harus menatapnya, terganggu.
Mungkin Shilla akan ke klinik kampus setelah ini untuk menemui dokter di sana. Ia sedikit menyesal tak menyalakan pemanas ruangan semalam di tengah suhu yang begitu rendah.
"Lo bener-bener harus segera ke dokter." Glam tiba-tiba saja sudah berjalan di sampingnya.
"Habis ini." Jawab Shilla mengusap hidungnya yang gatal. Tiba-tiba langkah Shilla berhenti, tangannya bahkan belum berpindah dari ujung hidungnya yang memerah. Gadis itu berdiri tegap seperti patung. Hal itu membuat Glam mengikuti arah pandang Shilla, apa yang membuat gadis itu jadi seperti patung.
"Gabriel?" Gumam Glam
Shilla tersentak dan menoleh, "Apa?"
"Lo ngelihatin Gabriel sampai segitunya? Samperin." Glam mendorong bahu Shilla, "Dia pacar lo 'kan?"
Shilla mengusap pundaknya dan melangkah ragu-ragu menghampiri pria yang duduk bersama beberapa teman laki-lakinya itu, terkadang Gabriel nampak tertawa, berbicara atau serius. Ketika Shilla berhenti beberapa langkah dari tempat Gabriel duduk, lelaki itu tengah diam memperhatikan sesuatu yang dibicarakan oleh temannya.
"Ehm." Shilla membuat suara berisik, ragu-ragu.
Sekelompok laki-laki itu langsung menoleh padanya, semuanya. Shilla menelan ludah susah payah dan hanya menatap ke arah Gabriel yang memandangnya tanpa ekspresi apapun.
"Gab." Suaranya bergetar samar, tangannya sedari tadi bermain-main dengan pinggiran bukunya yang sudah tertekuk-tekuk.
Gabriel mengucapkan sesuatu pada teman-temannya kemudian melangkah menghampiri Shilla. Kemeja biru gelap yang dikenakan Gabriel menambah kesan mengintimidasi di mata Shilla. Lelaki itu berhenti tepat selangkah di depan Shilla, membuat gadis itu harus mendongak demi bisa memandang wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...