Sesuai yang dikatakan Shilla, mereka makan siang bersama setelah Gabriel memutuskan untuk keluar dari rumah sakit. Berada di rumah sakit tidak membuatnya sembuh, bau-bau obat justru membuat kepalanya terasa semakin nyeri. Tapi setidaknya, keadaan Gabriel sudah membaik – juga perutnya.
"Jadi semalaman kamu ada di rumah sakit?" Tanya Gabriel, baru menyelesaikan setengah makan siangnya.
"Eum." Angguk Shilla
"Bibi kamu nggak khwatir?"
"Ah, Bibi dan Paman belum pulang. By the way, aku belum hubungi keluarga kamu tentang masalah rumah sakit." Ujar Shilla
Karena aku sama sekali nggak tahu apapun tentang keluarga kamu.
"Nggak apa-apa, aku juga nggak mau bikin mereka khawatir." Ujar Gabriel, "Ngomong-ngomong, kenapa semalam kamu tetap tinggal?"
Shilla meletakkan sendoknya dan meraih gelas untuk membasahi tenggorokannya yang terasa sarat sekaligus memberinya waktu sejenak untuk berpikir, "Nggak apa-apa, aku pengen aja."
Bohong.
Sejujurnya semalam Shilla sudah hampir pergi dan berniat untuk kembali pagi harinya. Namun lantaran tangan Gabriel yang terus menahannya semalaman, akhirnya pilihan terakhir Shilla adalah tinggal semalaman di rumah sakit.
"Khawatir?" Tanya Gabriel tersenyum
"Ya." Jawab Shilla mengangguk.
Tidak bohong, ia tahu benar semalam ia khawatir parah. Melihat Gabriel yang muntah bahkan tidak mengenalinya sebagai 'Shilla' membuat Shilla takut setengah mati. Sedikit kekanakan karena Shilla sempat berpikir Gabriel akan amnesia. Ia tahu, itu konyol.
"Jangan pernah mabuk lagi." Ujar Shilla merengut, "Kecuali kalau kamu memang mau bikin aku mati gara-gara khawatir."
Gabriel terkekeh, "Kamu pikir, karena siapa aku jadi kayak gitu?"
Bibir Shilla menipis, "Siapa?" Tanyanya pelan.
Gabriel mengibaskan tangannya dan tersenyum, "Lupain. Kamu mau tambah lagi?"
Sebenarnya Gabriel tidak berniat untuk datang semalam, acara pesta yang sama seperti acara-acara lainnya. Namun demi mengalihkan pikirannya, akhirnya dengan pertimbangan cukup lama, ia memutuskan untuk turut hadir.
Niatnya hanya bersenang-senang dengan temannya, namun ia justru terlibat permainan bodoh yang sering diadakan teman-temannya itu. Di tengah keadaan kepalanya yang nyaris pecah dan pikirannya yang tak fokus, ia tidak bermain cukup baik. Dua botol wine jadi sasaran hukuman untuknya, tandas dalam kurun waktu tak lebih dari lima menit.
Selanjutnya, ia benar-benar lupa semuanya. Ia tidak ingat apa yang membuat perasaannya begitu buruk, ia tidak ingat siapapun yang membebani pikirannya, ia tidak ingat setiap masalah yang ia hadapi.
"Aku mau angkat telepon sebentar." Shilla menunjukkan layar ponselnya yang berkedip tiba-tiba. Gabriel mengangguk, tak sempat membaca nama yang tertera di sana.
Shilla melangkah sedikit menjauh dari Gabriel dan menerima panggilan itu, "Hallo?"
"Shilla, apa kabar?"
"Baik, Bibi dan Paman apa kabar?"
"Bibi baik-baik aja, tapi Paman..."
Dahi Shilla berkerut, "Paman kenapa?"
"Dia sakit."
Kenapa Cakka tak pernah mengatakan apapun padanya? Atau Chelsea yang selama ini masih berhubungan baik dengannya pun tak pernah mengatapan apapun mengenai keadaan Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...