Back to 7 years ago...
Gadis kecil berbalut mantel merah muda itu berjalan dengan langkah tungkainya yang pendek. Tangan kanannya berada dalam genggaman sang Ayah, dan satu cone es krim rasa permen karet ada di tangan kirinya.
Ia tidak tahu kemana Ayahnya akan membawanya, yang ia tahu hari itu langit mendung tapi tidak membuatnya kehilangan selera untuk es krim. Mereka baru saja mengunjungi makam wanita kesayangan mereka, pemilik nama belakang yang sama dengan mereka. Ibunya. Gadis itu senang meletakkan bunga Lily of the Valley di depan batu nisan Ibunya, lalu berceloteh bersama sang Ayah seolah wanita yang terbaring di bawah tanah itu mendengar ucapan mereka.
Biasanya setelah itu mereka atau pulang atau pergi jalan-jalan ke taman bermain, tapi kata Ayahnya tidak untuk hari ini. Mereka akan punya acara yang lebih spesial. Gadis itu tidak begitu peduli, selama Ayahnya mau memberi persediaan es krim selama perjalanan mereka.
"Papa..."
"Ya, sayang?"
"Es krimnya jatuh." Bibir mungilnya melengkung ke bawah, genangan air di pelupuk matanya sudah siap menganak sungai kapanpun.
Pria yang dipanggilnya 'Papa' itu berlutut di depannya dan tersenyum hangat, mengalahkan kehangatan sinar matahari di pertengahan musim panas sekalipun.
"Jangan nangis, Shilla. Es krim bisa kamu dapat darimana aja, tapi jangan sia-siakan air mata kamu, sayang." Ibu jarinya mengusap setitik air mata yang menetes dari mata bening putrinya yang kini memerah, "Papa nggak mau kamu nangis, juga Mama."
"Apa Mama pernah nangis?" Gadis itu kembali tersenyum, kedua matanya kembali berbinar seperti pelangi. Ayahnya mengeratkan mantel yang dikenakan putrinya untuk menghalau angin yang kian kencang, kemudian mengangkat gadis kecil itu dalam gendongannya
"Mama itu... seperti musim panas yang nggak pernah berakhir. Dia wanita yang kuat dan hebat, dan Papa nggak pernah lihat Mama menangis."
"Jadi Mama nggak pernah nangis, walau saat es krimnya jatuh?"
Pria itu tersenyum dan menggeleng, "Karena itu, Mama juga mau kamu jadi anak yang kuat. Jangan nangis karena apapun, air mata kamu terlalu berharga itu semua itu, sayang."
"Flint!"
Keduanya menoleh begitu mendengar nama pria itu dipanggil, Shilla tidak mengenal siapa pria yang tengah tersenyum lebar padanya itu, atau bocah laki-laki yang melangkah di sebelah pria itu.
"Ini pasti anakmu."
Shilla mendengar Ayahnya bersuara, tapi hal itu tidak membuatnya mengalihkan tatapan dari bocah laki-laki yang jelas lebih tinggi darinya tersebut. Kaki kecil Shilla kembali menjejak di tanah, membuatnya berdiri berhadapan langsung dengan bocah itu.
Percakapan dua orang dewasa di sebelahnya tidak ia pedulikan. Ia lebih tertarik untuk membalas tatapan kedua iris kelabu bocah itu.
Shilla tersenyum menunjukkan sederet gigi kecilnya yang rapi, tapi bocah laki-laki itu tak bergeming menatapnya tanpa mengatakan apapun. Bahkan saat Shilla mengulurkan tangannya, bocah itu hanya memandangnya. Membuat Shilla menciut seketika.
"Ada yang mau kenalan ternyata." Pria dewasa yang membawa bocah laki-laki itu tertawa melihat tingkah putri dari sahabatnya. Tangannya menyentuh pundak putranya, lalu membisikkan sesuatu.
Shilla tidak pernah tahu apa yang diucapkan Ayah dari bocah itu, tapi beberapa detik selanjutnya, sebuah telapak tangan terulur. Ketika ia mendongak, bocah laki-laki itu tersenyum tipis padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...