"Maybe there's something you afraid to say, or someone you're afraid to love, or somewhere you're afraid to go. It's gonna hurt. It's gonna hurt because it matters." – John Green
Ify mematut penampilannya di depan cermin setelah mengenakan blazer resmi untuk mengikuti seminar hari ini. Setengah jam lagi ia harus sudah berada di sana, duduk dan siap mendengarkan apapun materi yang diberikan. Bukan hal yang cocok untuk mood Ify hari ini. Tapi sudah jadi tanggung jawabnya, dan ia tidak mungkin meninggalkan tugasnya begitu saja.
Gadis itu menatap ponselnya yang mati kehabisan daya beberapa saat lalu, bahkan sebelum ia sempat menerima panggilan dari seseorang – dan ia tidak tahu siapa.
"Sudah siap, Fy?"
"Sebentar lagi, Mbak." Sahut Ify meraih ponselnya, melepas benda itu dari pengisi daya dan mengaktifkannya.
"Oke, Mbak tunggu di ruang depan ya."
Ify hanya menggumam kecil. Tangannya sibuk membenarkan letak rambutnya yang mencuat kesana-kemari. Jika bukan karena acara resmi ini, ia tidak akan mau repot-repot mengurus rambutnya di 'Bad hair day' hari ini.
Layar ponselnya suah menyala, menampilkan sebuah panggilan tak terjawab dari nomor Indonesia. Dahi Ify berkerut, mengingat-ingat nomor ponsel siapa itu. Tak menemukan jawaban, Ify memilih menghubungi nomor itu lebih dahulu. Nada sambung terdengar melalui ponsel yang ia apit di antara pundak dan telinga, sedang tangannya sibuk mengikat rambutnya menjadi satu. Pilihan sederhana yang terbaik.
"Ify, ada temanmu di depan."
Ify terperangah, menatap Rani yang berdiri di ambang pintunya, "Serius?"
"Iya, masa Mbak bohong sih. Cepetan turun. Dia ada di luar, nggak mau masuk."
Ify mengangguk cepat, tangannya bergerak berusaha menyamai kilat. Memulas bedak dan lipstik yang terdekat dengan jangkauannya, memberikan sentuhan terakhir pada kedua matanya dengan maskara.
"Hallo?"
"Hallo." Ify menggunakan tangan kiri untuk memegang ponselnya.
"Ini Ify?"
"Ya, ini siapa?" Ify mengambil sepatu dengan hak setinggi 5 sentimeter dengan tangan kanannya kemudian melangkah keluar kamar setelah berkali-kali memeriksa penampilannya sudah cukup bagus untuk muncul di depan temannya.
"Ini aku, Sabila."
"Sabil!" Pekik Ify tanpa sadar menyebut nama seorang gadis yang tinggal tepat di depan rumahnya. Umurnya tak beda jauh dengan Ify, kadang mereka lari sore bersama atau Sabila menghabiskan hari yang membosankan di rumah Ify.
"Ya, aku... aku mau bicara sesuatu."
"Ya, apa?" Seulas senyum di bibir Ify ketika ia mengintip dari balik celah pintu, dan melihat Rio duduk bersandar pada tembok di sana. Persis seperti pengemis, hanya saja... lebih tampan dan keren.
Ify memutar kunci kamarnya, kemudian membuka pintu itu perlahan. Rio mendongak, kedua mata mereka bertemu sedetik kemudian. Ify membuka mulut, hendak mencerca wajah Rio yang nampak tua dan kuyu hari ini.
"Ayah kamu... meninggal."
Dan suaranya pergi bersama angin, disusul kesadarannya.
+++
Bagaimana jadinya kalau nanti ia akan menikah dengan Cakka?
Dahi Shilla berkerut sedikit, menunjukkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja hadir. Mungkin menyenangkan... atau justru malah hidupnya jadi mengenaskan? Bagaimana rasanya jika hidup bersama-sama dengan Cakka?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...