Shilla terbangun oleh sinar matahari yang menyilaukan di sela-sela gorden jendela kamarnya. Matanya masih berkunang-kunang ketika ia merasakan tubuhnya menggigil karena kedinginan oleh suhu yang diturunkan dari pendingin ruangan. Ia belum sempat mencari-cari dimana selimutnya berada ketika kain tebal berwarna cokelat itu tiba-tiba membentang di atas tubuhnya hingga ke lehernya.
Merasakan kehangatan yang tiba-tiba, Shilla mendadak ingin tidur lagi. Tapi kemudian dia sadar bahwa ia seharsunya sendirian di kamar ini, lalu siapa yang_
"Ini gue." Cakka berdiri menjulang di depan kasur, menatap Shilla dengan wajah datar ketika gadis itu tiba-tiba terduduk dengan mata terbelalak karena terkejut. Ia sudah menduga gadis itu akan amnesia singkat saat bangun tidur.
"Oh..." Dahi Shilla mengernyit, pikirannya masih berawan dan mungkin sebagian nyawanya masih melayang-layang di Neverland.
"Kalau isi kepala lo udah normal, gue tunggu di luar buat sarapan." Cakka menaikkan suhu lantaran melihat Shilla menggigil kemudian meninggalkannya di kamar sendirian, membiarkan Shilla mengumpulkan sisa-sisa nyawa dan ingatannya.
"Ah..." Shilla mengetuk pelipisnya dengan kepalan tangan begitu pesta pernikahannya semalam terlintas dalam benaknya. Ingatannya sudah pulih dan nyawanya sudah penuh bersemayam dalam tubuhnya.
Shilla menurunkan kakinya dari kasur dan menyelubungi tubuhnya yang kedinginan dengan selimut cokelat itu lalu melangkah keluar di atas sandal hotel ini—ia juga baru ingat bahwa ini bukan kamarnya melainkan kamar hotel tempat semalam pesta pernikahannya berlangsung.
"Jadi pagi ini kita sarapan sebagai suami istri?" Gadis berbalut selimut yang menjuntai hingga lantai itu menghentikkan aktivitas Cakka menyesap espresso paginya seperti biasa. Ia tentu saja tak berniat menjawab pertanyaan menggelikan itu.
"Kamu bangun jam berapa? Hah, padahal aku mau bangun dan yang aku lihat pertama kali wajah kamu di sebelahku."
Sudah jelas, efek tontonan drama romantis itu mempengaruhi pemikiran Shilla yang kekanakan menjadi hopeless romantic. Sepertinya Cakka mulai harus membatasi apapun yang ditonton Shilla, berjaga supaya gadis itu tidak semakin menjadi-jadi khayalannya.
"Bukannya kamu semalam meluk aku?"
Pertanyaan itu membuat tenggorokan Cakka tercekat, ia harus berdehem beberapa kali untuk melegakan tenggorokannya. Ia menatap Shilla yang menatapnya sejak tadi, mata bulat itu masih sedikit berkabut dan nampak kelelahan.
"Habisin sarapannya, lo boleh istirahat lagi setelah sarapan." Cakka mendorong piring berisi menu sarapan Shilla dan menuangkan air putih ke dalam gelas kaca.
"Tapi tanganku pegang selimut." Shilla menunjukkan tangannya menahan selimut yang melingkupi tubuhnya. Sudah jelas apa maunya, bahkan sebelum gadis itu meminta.
"Di sini nggak dingin, lepasin selimut itu." Suara Cakka terdengar seperti perintah.
Tapi bukan Shilla namanya kalau patuh begitu saja pada perintah Cakka. Alih-alih melepaskan selimut yang melingkari tubuhnya, gadis itu justru menggeleng kuat-kuat dan membuka mulutnya lebar-lebar. Cakka mendesis melihat tingkah itu, ia benar-benar akan membuang koleksi kaset drama romantis milik Shilla setelah mereka tinggal bersama nanti.
Tunggu... tinggal bersama?
"Cakka... mulutku kering." Gadis itu mengeluh, Cakka tersadar dari pikiran konyolnya dan segera memasukkan sesendok penuh omelet buatan koki hotel ke dalam mulut Shilla hingga ketika gadis itu menutup mulut kuda nilnya, pipinya menggembung.
Ketika gadis itu sibuk mengunyah isi mulutnya, Cakka baru menyadari bahwa gadis itu cukup terlihat menggemaskan. Mungkin lain kali gadis itu harus makan hingga isi mulutnya penuh seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST SEASON (Book 2)
FanfictionSeandainya dulu ia tidak bertahan pada Gabriel, seandainya dulu ia menerima orang lain selain Gabriel, seandainya dulu ia memilih mendengarkan orang lain, dan... mungkin seharusnya memang Shilla menerima Cakka hari itu, Tapi kalau begitu kejadiannya...